Share

Ch. 6: Trip to the Sanatorium

Musim gugur datang seperti semilir angin yang tiba-tiba merubah warna daun-daun perlahan-lahan jadi jingga dan kecoklatan. Rasa gerah dan keringat yang bercucuran hanya karena bernapas diganti dengan baju hangat. Beberapa gerai kopi mulai menjual kopi dan kue-kue dengan rasa dan hiasan labu kuning dan rempah kayu manis dan kapulaga.

Akhirnya ayahku mengetahui dari Stacey kalau hari itu rumahku hampir kebakaran. Ayahku jadi lebih jarang mampir ke sanatorium di hari kerja dan memilih kesana hari Jumat dan akhir pekan bersamaku meski seringkali aku hanya menunggu. Rasanya merindukan seseorang tetapi sulit bertemu mereka adalah nyeri yang tidak bisa diungkapkan. Seperti lebam yang tidak selalu berdenyut ngilu hingga kau lupa ada luka disitu. Suatu saat luka itu akan terantuk dan membuatmu menjerit, dan tahu-tahu lebam itu menjadi ungu lagi. Begitulah rasanya.

Suatu hari saat mengunjungi Ibu, seperti biasa aku duduk di satu sudut taman. Dari sini aku bisa melihat air mancur di tengah. Tamannya sangat cantik dan menenangkan, dipenuhi pohon-pohon bougenville berbagai warna dan semak bunga peony yang mulai mengering. Dari tempatku duduk aku bisa melihat ayahku bersama Ibu duduk di bangku taman di sisi lain. Kami terhalang air mancur dan aku sangat berhati-hati hanya untuk memandangi mereka dari jauh.

Aku membuatnya jadi kebiasaan, sejak dua tahun lalu aku belajar membuat kue kering dari Stacey. Aku membuatkan ibuku biskuit badam dan menitipkannya pada Ayah. Kadang aku melihat langsung ibuku memakan biskuit-biskuit itu dengan lahap. Kadang, biskuit itu harus disimpan perawat untuk dikonsumsi dalam pengawasan. Kadang kalau aku tidak ikut, ayahku kembali dengan tempat makan kosong.

Aku sedang menatap mereka yang seperti sedang kembali ke masa pacaran, sungguh ironis. Lalu tiba-tiba sebuah rambut hitam pekat menghalangi pandanganku. Aku kaget bukan main.

Rambut itu lalu terurai, menyingkapkan sebuah wajah yang sedang melirik kebawahku. Kusadari, wanita itu sedang menunduk dari belakang memandangiku. Seorang pasien kah? Atau halusinasiku lagi?

"Kau cuma akan menatap dari jauh?" bisiknya. 

"Tolong permisi," gumamku. Manusia atau setan, aku tidak mau diganggu seperti ini.

Ia buru-buru berdiri dan merapikan diri, gaun pasien.

"Aku sering melihatmu disini. Memandang kedua orangtuamu dengan tatapan memelas. Kenapa kau tidak disana? Apa kamu yang sudah menyakiti Ibumu?"

Aku menghela napas. Pertanyaannya tiba-tiba membuatku kesal dan lemas.

"Apa aku harus menjawab itu? Kita tidak saling kenal."

"Aku pasien disini. Sudah hampir satu tahun. Tidak ada yang menjengukku lagi." katanya sambil tersenyum simpul. Ia juga memerhatikan Ayah dan ibuku. "Ah, tapi kelihatannya Ibumu ya yang menyakitimu, ya?

"Ibumu kelihatannya lebih baik disini. Lebih baik kalau dia tidak pulang. Tak ada gunanya juga kau kesini. Kalian hanya akan membuat satu sama lain sakit."

Aku tersentak dan berdiri, merasa tersinggung dengan komentar seorang asing.

"Maksudmu apa bilang begitu?"

Dia nampak benar-benar bingung dan ikut berdiri, "Tentu. Dunia di luar sana lebih pelik. Kau tidak tahu siapa musuhmu. Bayanganmu sendiripun bisa jadi hantu. Tidak ada yang tahu niat ibumu." katanya sambil menepuk bahuku, seperti mau berlalu.

"Kau siapa?"

"Aku pasien disini, sudah hampir satu tahun" katanya. Lalu wajahnya seperti linglung dan ia menggaruk belakang telinganya. Ada tanda Pemburu di atas nadinya.

Seorang pasien laki-laki separuh baya, datang dan menepuk bahuku juga. "Sudah, tidak usah ladeni dia. Dia suka berbicara dan membuat kerabat pasien yang datang kebingungan. Ayo sini, Jade, yang lain sudah menunggumu di ruang rekreasi." ia menggiring perempuan itu pergi dan memberiku senyuman lelah, meninggalkanku yang beku akibat racauan perempuan bernama Jade.

                                                                                              ***

"Ibumu sangat responsif tadi!" seru ayahku semangat saat kami berjalan ke parkiran mobil. "Hampir seperti saat ia sehat dulu. Ia mengingat ulang tahunmu sebentar lagi dan titip salam untukmu, Kat." katanya sambil tersenyum lega.  

"Aku ikut senang, Yah. Apakah Ibu menghabiskan biskuit badamnya kali ini?"

"Sampai remah-remahnya! Dia bilang dia bangga padamu. Dia tampak sedikit sendu, sepertinya kecewa karena mesti melewatkan banyak sekali tahapan hidupmu."

Tanpa bisa dipungkiri, hatiku pun terasa nyeri mendengar itu.

Ayahku mulai menyetir, menuruni jalan karena Sanatorium ini terletak di atas bukit. Dahulu saat dibangun, pendirinya percaya tempat yang tenang dan udara bersih akan membantu pemulihan kondisi mental pasiennya. Aku menyetujui itu, perjalanan dari dan ke Sanatorium memang sangat menenangkan. Jalan tol kesini tidak terlalu ramai dan di dekat daerah sini banyak sekali pohon-pohon rimbun dan anginnya sangat sejuk. Saat mau masuk ke daerah yang lebih padat, aku baru mau menutup jendela ketika aku melihat sesuatu di kaca spion. 

Awalnya aku melihat bayangan di kursi belakang yang seolah ditutupi tirai renda. Lama kelamaan saat mataku terbiasa, yang nampak adalah perempuan berbaju renda putih yang kusam dengan wajah penuh luka itu. Aku bisa merasakan mataku membelalak dan nafasku jadi tersengal-sengal. Senyum jahat terukir di bibirnya dan tangannya yang lentik, penuh noda tanah dan sesuatu yang nampak kehitaman datang dari perlahan dengan sarat ancaman, seolah akan mencekikku.

Aku berusaha mengelak, terpaku rasa takut seakan-akan aku akan menjalani lagi mimpi terburukku hampir tiga tahun lalu. Tiba-tiba aku terbangun.

"Kau bermimpi?" tanya ayahku, wajahnya terlihat kuatir.

"Apakah aku tidur dari tadi, Yah?"

Ayahku mengangkat bahu, "Ya. Tak lama setelah Ayah menyetir. Kita hampir sampai."

Aku terbengong. Perjalanan menghabiskan hampir 1,5 jam satu arah. Alangkah ganjilnya, bermimpi sesingkat dan semenyeramkan itu ternyata menghabiskan waktu lama di realita. Meski tak ingin, pikiranku reflek memutar ulang mimpiku berkali-kali.

"Katrina?" panggil ayahku.

"Iya, Yah? Maaf aku masih sedikit mengantuk." ujarku berpura-pura menggeliat. Sejujurnya aku bahkan tidak ingat aku tertidur.

Kulirik ayahku, Ayah tersenyum mengerti. Kulihat di depan kami akan memasuki exit jalan tol yang baru kami lalui 15 menit yang lalu.

Aku menegakkan badan sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Apakah otakku benar-benar sedang korslet karena baru tidur?

"Kau bermimpi?" tanya ayahku lagi, wajahnya terlihat kuatir.

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, memandangnya bingung. "Apakah aku salah dengar?"

Ayahku mengangkat bahu, "Kita hampir sampai."

Aku memandang ke luar jendela dengan heran. Kami memasuki lagi exit jalan tol yang baru kami lalui tadi. Seketika aku merinding. Ini jelas bukan efek baru bangun.

"Kenapa, Kat?" katanya dengan suara terhibur yang samar-samar.

"Tidak, Yah." Entah kenapa enggan menatap wajahnya. "Aku pikir kita baru lewat sini tadi, mungkin aku masih sedikit pusing."

"Kau bermimpi?" tanya ayahku.

Seketika aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya.

Tiba-tiba, Ayah tertawa. Tawa yang bergemuruh dari dalam. Tawa yang dingin dan sangat puas. Aku melihat kami melewati exit tol yang sama lagi dan aku baru menyadari sepanjang jalan tidak ada apa-apa. Tidak ada manusia maupun kendaraan lain. Aku merasa perutku tegang.

"Ayah?" tanyaku takut-takut.

"Apalah hidup ini kalau bukan labirin, Kat? Kita semua tersesat di dalamnya dan Tuhan cuma tertawa." ucap Ayah seolah-olah benar-benar terhibur dengan pikirannya.

Aku berusaha memerhatikan Ayah baik-baik, selain dari ini tidak ada hal lain yang aneh darinya. Apakah ini halusinasi? Mimpi?

"Oh, Kat!" seru ayahku. "Jangan terlalu serius, sebentar lagi kau ulang tahun kan? Bersenang-senanglah sedikit." katanya, masih terbahak-bahak meskipun tidak ada yang lucu. Sementara itu, Ayah menginjak pedal gas semakin kuat, kami melaju seperti angin.

"Ayah tolong, pelankan laju mobilnya. Aku takut."

"Bagaimana perasaanmu, Nak? How would you feel if the whole world is your birthday cake?" Tawa itu terganti dengan senyum sinis yang sangat lebar.

"Tolong..." pintaku lirih.

"Don't frown." pungkas Ayah, menoleh padaku dari arah setir meskipun kami melaju semakin kencang. Senyumnya semakin lebar "You should be very happy now." suaranya bercampur suara perempuan yang sumbang. Lalu sebuah guncangan hebat terjadi dan aku bisa merasakan sekelilingku seperti meledak.

"Tidaaaaaaaaaak!!" teriakku.

Mobil kami terguncang dan berguling beberapa kali. Saat aku sadar, Ayah sudah dikelilingi api, dari balik jilatan api masih ada suara tawa yang janggal. Mobil kami seketika dilahap api, yang kurasakan adalah rasa panas paling murni berbeda dari panas apapun yang pernah aku rasakan. Tidak ada hawa sepanas dibakar hidup-hidup.

Aku tersedak nafasku sendiri.

"Kat?"

Aku terbatuk-batuk, lidahku tergigit. Kupandangi sekeliling. Ayahku masih menyetir, kecepatan 80km/jam, langit biru dengan kemacetan sedang. Baru kali ini aku sangat lega melihat jalanan ramai.

"Kau tak apa? Kau kelihatan butuh minum." ujar Ayah sambil mengambil botol minum untukku.

Kupandangi botol minum itu di tangannya.

"Cepat, Ayah sedang menyetir."

"Terima kasih, Yah." gumamku.

"Kau yakin tidak apa-apa?"

"Tidak apa, Yah. Cuma mimpi buruk."

Skellington June

Terima kasih untuk pembaca yang sudah mampir ke Chain of Destiny!

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status