“Naren, tumben kamu pulang ke rumah sini.”“Kakek!” Naren terkesiap saat melihat kakeknya berjalan memasuki ruang makan.Aditama Candra—pemegang saham terbesar Candra Group—yang sudah beberapa tahun mengundurkan diri dari dunia usaha dan memilih mengasingkan diri ke daerah dataran tinggi Dieng. Ia sudah menyerahkan semua urusan perusahaan ke anak sulungnya, Adityo Candra. Meskipun ia merasa jengah dengan kelakuan Adityo yang sering berganti wanita, tapi harus ia akui anak sulungnya itu bertangan dingin dalam mengurus bisnisnya.Ibaratnya, kalau orang-orang menyebut Naren sebagai boss, Adityo yang juga papanya Naren adalah big boss, maka Aditama beyond above big boss.Naren menghampiri kakek yang sangat ia hormati itu, meraih punggung tangan kakeknya dan mengarahkan ke keningnya, kemudian memeluknya. “Kakek kok nggak bilang kalo ke Jakarta?”“Baru sampe tadi pagi kok. Rencananya besok mau ke kantor nengokin papamu sama kamu, eh nggak disangka kamu pulang ke sini.”Naren mengernyit bing
Narendra: RheNarendra: Aku nggak bisa bareng kamu ya pagi iniNarendra: Diminta nemenin Kakek sarapanRhea yang baru selesai mandi dan sedang bersiap di depan meja riasnya mendengkus kesal membaca pesan singkat dari Naren. ‘Apa maksudnya coba? Siapa yang mau bareng sama dia? Gue bisa berangkat sendiri.’Karena kesal, ia mengabaikan saja pesan dari Naren.Narendra: Rhe, kamu nggak kesiangan kan?Narendra: Rhe?“Astaga ... harus banget ya dibales?”Rhea: IyaRhea: Nggak ada yang pengen bareng kamu juga sihNarendra: Nah, gitu dong, nyolot, baru aku tenangMulut Rhea kini menganga sempurnya, tidak percaya melihat balasan pesan dari Naren. “Udah dibales, malah dibilang nyolot.”Narendra: Kakekku seneng warna navy. Tapi pake apa pun kamu cantik kok.Rhea: Shut up!***Narendra: Mau aku samperin atau ketemu di parkiran?Naren tahu kalau Rhea tidak nyaman terlihat sering bersamanya di area kantor. Karena itu dia memilih menanyakan pendapat Rhea terlebih dulu.Rhea: Di parkiran aja.Narendra
Wanita itu terlihat tersenyum lebar dan mengikuti Naren.“Kamu nggak terganggu, Rhe?” tanya Aditama.Rhea mengernyit bingung. “Terganggu kenapa ya, Pak?”Aditama menatap ke arah perginya Naren sambil mengangkat dagu.“Saya sama Pak Naren cuma berteman, Pak. Jadi, nggak mungkin saya terganggu dengan hal seperti itu.”Aditama mengangguk-angguk. “Rhea, saya boleh minta satu hal nggak ke kamu?”‘Ok, mungkin ini saatnya.’ batin Rhea. Setelah dari tadi hanya tercipta obrolan ringan di antara mereka, mungkin ini saatnya obrolan serius itu. Entah apa yang akan diminta lelaki lanjut usia di depannya itu, yang pasti Rhea tidak akan mudah menolaknya.“Panggil saya Kakek aja. Saya nggak punya cucu perempuan. Lagipula kita di luar kantor, dan kamu sepertinya temen spesial buat Naren.”Rhea termangu sesaat, mencoba menelaah permintaan lelaki itu. Bukan hal yang mudah tentu saja, memanggil seseorang yang tidak ada hubungan darah dengannya dengan sebutan ‘Kakek’. Ditambah dengan posisi Aditama sebaga
“Maaf ya, Rhe. Tadi aku bohong, biar dia cepet pergi,” ucap Naren sambil membagi fokusnya dengan menyetir.Makan siang itu bisa saja berakhir berantakan seandainya tidak ada Aditama. Kedatangan Intan yang tiba-tiba, mengharuskan Aditama turun tangan dan mengusirnya secara halus. Belum lagi kecanggungan antara Naren dan Rhea setelah Intan pergi, untung saja Aditama bisa mencairan suasana.“Kasih kode dulu dong, biar orang nggak kaget. Lagian ide dari mana sih ngaku-ngaku tunangan?”Naren mengedikkan bahu. “Ya aku juga nggak nyangka kalo dia bakal balik lagi cuma demi mastiin ke kamu.”“Kakek juga bisa-bisanya ngikutin permainanmu.”“Udah luwes manggil Kakek.”“Pak Aditama yang minta ya, bukan karena kamu,” jawab Rhea.“Wajar sih, kakek emang nggak punya cucu cewek. Aku cuma punya dua orang sepupu cowok. Yang satu meninggal waktu kecil, dan yang satunya masih kuliah di Singapura.”“Kenapa kamu cerita ke aku?”“Biar kamu tau aja, kalo kakekku mungkin memang pengen banget cucu cewek.”Rhe
-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-“Kak, kita mau pacaran tiga puluh harinya itu … hari sekolah apa hari kalender?”Pertanyaan polos Jingga membuat Naren terbahak. “Hari kalender lah, kan kadang sabtu atau minggu kita jalan juga berdua.”“Oh iya ya, kirain gitu Kak Naren khilaf trus jawabnya hari sekolah.”“Kamu denger dari mana istilah ‘hari sekolah’ sama ‘hari kalender’?”“Dari Papa. Papa ngomongin ‘hari kerja’ sih, cuma kuubah jadi ‘hari sekolah’.”Naren mengacak rambut Jingga. Hanya ketika mereka sudah tidak di wilayah sekolah, Jingga tidak akan melarang Naren mengacak rambutnya. Kalau di lingkungan sekolah, Jingga dengan tangkas menepis tangan Naren. Rambutnya sudah terlalu panjang dan merepotkan kalau harus merapikannya setiap Naren mengacaknya.“Ngga, mau nonton apa?” Naren mencari-cari film dari tumpukan DVD di rak bagian bawah televisi.“Males ah, Kak Naren tidur melulu kalo lagi nonton.”“Kalo filmnya nggak seru ya tidur.”“Apaan. Kak Naren tidur terus ya kalo lagi non
Rahang Naren seketika mengeras. Ia menyambut uluran tangan Fondra dengan tatapan siaga.“Fondra,” ucap laki-laki itu yang kini mengulurkan tangan kepada Rhea.“Rhea.”Ingin rasanya Naren menarik Rhea untuk seketika pergi dari tempat itu. Tapi bukankah ia akan terlihat childish jka benar-benar melakukan hal itu.“Kursinya cuma empat,” ucap Naren dingin.“Tinggal narik kursi kali, Ren.” Dio memberikan kode kepada Fondra untuk menarik kursi kosong.Naren berdecak kesal dan menggeser posisinya agar lebih dekat dengan Rhea. Jangan kira tingkah Naren hanya selesai sampai di situ. Ia bahkan memberikan tatapan awas kepada Fondra, tapi sepertinya Fondra sama sekali tidak menyadarinya karena terlalu fokus memandangi Rhea.“Ren, weekend dateng nggak ke nikahan Dimas?”“Hmm ... lo dateng?”“Dateng lah, mau bareng?” Diam-diam sebenarnya niat Dio adalah mencari teman untuk datang bersama.“Kamu bisa nemenin aku nggak, Rhe?”Pertanyaan Naren yang tiba-tiba dan diucapkan di depan orang banyak, membua
Toska Kopi, coffee shop yang berada di dalam Stasiun Gambir, yang juga menyajikan beberapa jenis makanan berat seperti nasi goreng rawon dan soto betawi, akhirnya mereka pilih sebagai tempat untuk bertukar cerita.Rhea dan Leny duduk di pojok setelah memesan menu untuk mereka bertiga, sambil menunggu Amee yang sedang check in sekaligus print tiket kereta."Kenapa kalian main rahasia-rahasia sih, Len?"Leny mengedikkan bahu. "Nggak rahasia sih sebenernya. Cuma ya ceritanya panjang, dan lagi beberapa minggu setelah itu, dia udah dapet pacar lagi. Jadi ya gue pikir dia cuma shock doang karena ditinggal sama cewek, which is itu lo, biasanya kan dia yang ninggalin cewek."Tidak lama kemudian, Amee datang tergopoh karena merasa bertanggung jawab untuk menceritakan apa yang tanpa sengaja keluar dari mulutnya.***-Jingga kelas 1 SMA & Naren kelas 3 SMA-Rabu, hari yang akan diingat Jingga selalu karena itu adalah hari saat ia berpamitan kepada teman-teman sekelasnya. Hari yang biasanya sanga
"Bener kan Ngga, emang Kak Naren tu absurd banget. Itu dia kan?"Rhea memicingkan mata untuk melihat lebih jelas ke arah yang ditunjuk Leny. Kondisi mata minus dan tanpa kacamata sedikit menyulitkan Rhea untuk mengenali sosok itu."Masa sih? Nggak kelihatan gue. Males mau ambil kacamata.""Gue berani taruhan deh kalo itu dia. Lagian kalo bukan dia, ngeri juga kali, Ngga, ada cowok nongkrong di depan gerbang rumah lo gitu."Keduanya terbahak sampai pandangan Rhea benar-benar bisa menangkap sosok Naren. "Iya, itu dia. Ngapain sih?"Tepat saat Leny menghentikan mobilnya, Rhea turun untuk membukakan pintu pagar."Rhe, malem banget sih pulangnya?" sapa Naren yang bergegas berdiri saat melihat Rhea turun."Baru jam sembilan perasaan.""Ya kan udah malem.""Posesif," ledek Leny masih dari dalam mobil dan hanya membuka jendela mobilnya."Siapa?" Naren mencoba melihat sosok di balik kemudi Honda Civic di depannya, namun tidak terlihat."Temen," jawab Rhea sambil mendorong pagar rumahnya."Ck!