"Hei, kita mau liburan loh, malah ngelamun." Leny melambaikan tangannya tepat di depan muka Rhea yang hanya diam dengan tatapan kosong.Rhea, Leny, dan Amee, kini tengah berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, menanti saat boarding dengan menikmati kopi dan camilan di salah satu coffee shop."Iya nih, kita kan mau ngobatin sakit hati lo, Ngga. Lo yang ikhlas dong, lepaskan semua beban, biar totalitas liburannya."Rhea tersenyum nanar. Bagaimana dia bisa menikmati liburan itu kalau ia selalu membayangkan apa yang akan dihadapinya setelah ia kembali masuk kerja nanti.***-Beberapa hari sebelumnya-“Katanya aku nggak boleh deketin kamu, tapi sekarang malah kamu yang datang sendiri ke sini.” Naren terkekeh menatap reaksi Rhea yang semakin terlihat kesal karena ucapannya.Rhea memicingkan mata dengan kesal saat Naren terkekeh. "Permisi, Pak," ucapnya demi membangun dinding pembatas tak kasat mata."Duduk." Naren bangkit dari kursi kerjanya dan menggiring Rhea ke sofa. Kalau Rhea beru
“Mbak, pada mau naik bukit nggak, Mbak? View-nya bagus banget loh, sayang kalo nggak ke sana.""Mauuu!" teriak ketiganya nyaris bersamaan.Agus tersenyum melihat antusias ketiga wanita yang menjadi tamunya itu. "Kalo gitu kita ke Bukit Marese dulu ya, Mbak. Deket kok dari sini."Benar saja, tidak sampai sepuluh menit, Agus menepikan kendaraannya di dekat sebuah warung.Di tengah teriknya cuaca siang itu, Rhea, Amee, dan Leny disibukkan dengan mengoles sunscreen ke seluruh permukaan kulit yang akan terpapar matahari. Baru setelahnya mereka memulai perjalanan mendaki bukit. Well, entah lah itu bisa disebut mendaki atau tidak, karena pada kenyataannya, dalam waktu lima menit mereka sudah tiba di puncak bukit, dengan view hamparan perbukitan di sekitarnya dan bentangan laut berwarna biru jernih. Untungnya lagi, sedang tidak ada seorang pun di atas bukit itu selain mereka. Siapa pula wisatawan yang mau naik ke atas bukit siang bolong, kecuali mereka tentunya."Saya fotoin yuk, Mbak." Agus
“Rhe.”“Terlalu kebetulan nggak sih kamu ada di sini juga?”“Jingga ... lama banget sih, buruan taro barangnya, kan mau snorkeling kita.” Leny berjalan tergesa keluar dari villa demi menyusul Rhea yang tak kunjung masuk.Seperti Rhea, matanya juga membulat sempurna saat melihat Naren di hadapannya.Kecanggungan yang terjadi di antara mereka benar-benar membuat tidak nyaman.'Mampus gue! Kenapa dia di sini?' batin Leny.“Pak Naren!” seru Agus yang tiba-tiba muncul di belakang Leny.“Kok Mas Agus kenal sama dia?” tanya Rhea penuh selidik.“Pak Naren setiap liburan ke Lombok selalu make jasa saya, Mbak,” terang Agus. “Tapi kok ini tumben bapaknya tiba-tiba udah ada di sini?"Rhea mengernyit bingung."Udah udah, masukin dulu barang lo ke dalam. Kecuali lo mau berduaan di sini."Ucapan Leny seakan menyadarkan Rhea. Ia menyeret kopernya ke dalam villa dan meninggalkan Naren.Leny memastikan Rhea tidak lagi berada di sekitarnya ketika ia berkata pelan kepada Naren, "Berlaku normal aja. Mas A
“Kalian udah makan?”Naren menghampiri villa yang ditempati Rhea dan kedua temannya demi memastikan keadaan mereka.“Belum. Jingga udah tidur. Kita ragu mau bangunin atau gimana,” jawab Amee.“Kalian nggak berminat ikutan night party di sini kan?”Leny menggeleng tegas.“Ya udah kalian nggak usah ke mana-mana. Gue beliin makanan dulu. Siapa tau nanti Rhea bangun pas laper.”Amee dan Leny membiarkan saja Naren pergi dari hadapan mereka.Setengah jam kemudian baru Naren kembali dengan membawa dua kantung kresek berisi penuh makanan.“Malam ini jangan ke mana-mana, isinya juga cuma bule party doang. Kalo mau jalan-jalan besok pagi aja. Biar disiapin sepeda sama Mas Agus,” perintah Naren.Keduanya tidak bisa berkutik, Naren memang luwes dan ramah dalam pergaulan, tapi ada saat-saat ia mengeluarkan aura intimidatifnya. Seperti saat ini dan saat mereka ingin memaki-maki Naren di depan rumah Rhea, yang berakhir gagal total.***-Beberapa hari sebelumnya, yang terjadi ketika Leny dan Amee ber
Rhea masih berusaha menahan dirinya agar tetap berdiri tegak, meskipun rasanya ia kini butuh penopang karena lututnya seperti tak bertulang.Lelaki itu—Brama—masih beramah tamah dengan Naren yang diyakininya bisa membuat hidupnya jauh lebih baik dari saat ini. Ia terus berusaha memberikan kesan baik agar Naren bisa mempercayainya, dan lebih bagus lagi kalau bisa mengajaknya ke Candra Group.Berusaha tidak terlihat, itu lah yang kini sedang diusahakan Rhea. Ia lantas melirik sekitar dan bergeser ke belakang Rafli. Sosok Rafli yang tinggi dan sedikit berisi setidaknya bisa menutupinya dari pandangan Brama, kalau-kalau fokus Brama sudah tidak hanya kepada Naren lagi.Sialnya, Rusdi memercayakan Brama—yang paling muda di antara mereka—untuk menunjukkan tempat yang akan digunakan Naren beserta timnya, sekaligus untuk berkeliling.“Mari, Pak,” ajak Brama kepada Naren.Sebelumnya, Brama hanya melirik sekilas dan mengangguk singkat kepada anggota tim Naren. Hal itu membuat Rhea menghembuskan
“Rhea!” seru Hani lumayan kencang sambil menepuk lengan atas Rhea agar wanita itu tersadar dari lamunannya.‘Ck! Ngehayal aja Rhe,’ rutuknya dalam hati.Teh hangat yang tadi disodorkan Brama masih ada di tangannya. Ia meletakkannya di atas meja tanpa berniat sedikit pun untuk menyentuhnya.Brama menatap Rhea yang tidak berani menyentuh minuman darinya. “Teh buatan saya nggak dicobain, Mbak Rhea?”Untungnya Rhea memasang earphone ke telinganya sejak beberapa menit yang lalu, ia berpura-pura sama sekali tidak mendengar ucapan dari Brama.Naren yang sudah ditolak, dijauhi, dan diabaikan Rhea berulang kali, mulai merasakan keanehan pada diri Rhea. Wanita itu juga menghindari Brama, entah karena apa. Haruskah ia senang dengan kenyataan ada orang lain yang diperlakukan layaknya kuman oleh Rhea?“Setelah ini kita balik ke villa dulu aja,” ucap Naren. “Istirahat dulu, data-data yang kita butuhkan udah disiapkan, nanti kita pelajari di sana aja.”Semua bersorak mendengarnya, termasuk Rhea yang
Rhea berlari menaiki anak tangga. Puas rasanya bisa menendang lelaki itu tepat di kemaluannya. Dulu, setelah kejadian tidak mengenakkan itu, orang tua dan sahabat-sahabatnya jadi over protective padanya. Jangankan untuk menampar atau menendang Brama, bahkan untuk bertemu meminta penjelasan pun ia tidak diizinkan.Rhea menutup pintu—lebih seperti membanting karena ia menutupnya sambil berlari dan tidak lupa menguncinya.“Brama, kok kamu di sini?” tanya Naren yang baru keluar dari kamarnya karena mendengar pintu kamar Rhea yang dibanting.Brama yang tengah menaiki anak tangga—sesaat setelah rasa sakitnya mulai mereda—cukup terkejut ketika melihat Naren berada di puncak tangga dan menegurnya. “Hmm ... saya nganter bandrek, Pak. Kebetulan ada bandrek yang enak deket sini.”“Oh, makasih ya. Trus kamu mau ke mana?” Naren menatap Brama penuh curiga. Kalau memang hanya mengantar bandrek, untuk apa lelaki itu sampai berniat naik ke lantai 2?Lagi, Brama tergagap mendengar pertanyaan Naren. Tid
"Kamu belum mau cerita?" Naren mulai melajukan mobilnya, jarak antara gudang dan kantor memang cukup dekat, karena itu ia memilih bertanya langsung sebelum mereka tiba di kantor."Tentang?"Naren menghela napas. Ia tadi menyaksikan sendiri bagaimana Rhea memancarkan tatapan permusuhan kepada Brama dan bagaimana wanita itu selalu menghindar atau menjaga jarak dari Brama. Bagaimana bisa dia masih bertahan pada pendiriannya untuk menyimpan semuanya sendiri."Aku udah ngelihat semuanya, Rhe. Gimana kamu sembunyi di samping atau di belakangku selama ada Brama. Aku nggak bisa ngelindungin kamu kalo kamu nggak cerita.""Aku bisa ngelindungin diri sendiri.""Oh ya? Kamu sadar nggak kalo semalem Brama hampir naik ke lantai 2?"Rhea tertegun sesaat. Ia tidak menyangka kalau malam sebelumnya setelah ia menendang Brama, lelaki itu benar-benar tidak tahu malu dengan berniat menyusulnya. "Tapi kan kamarku kukunci.""Aku nggak bilang kalo Brama mau ke kamarmu loh."'Ah sial! Kejebak!' batin Rhea.Ti