Baru Rhea menatap Adityo seakan meminta izin untuk menyusul Naren, tiba-tiba saja kursi di sebelahnya terisi kembali. Rhea mengernyit bingung dengan tingkah Naren.Adityo yang paham kalau Naren ingin menyampaikan sesuatu ke Rhea namun terhalang keberadaannya, memilih pergi untuk mengambil makanan lain. Ia tak berharap banyak, mungkin saat kembali nanti meja yang semula ditempatinya sudah kosong karena anaknya yang tidak betah berada di dekatnya."Mas marah?" tanya Rhea memperhatikan Naren yang bersungut-sungut."Kan aku udah bilang, kalo dia ngajak ketemu, kamu ngomong sama aku dulu.""Kalo aku ngomong sama kamu, pasti kamu nggak akan ngizinin kan?" balas Rhea.Naren kini menatap Rhea sambil memiringkan badan. "Rhe, hubunganku sama dia—""Aku tau, Mas. Tapi dia papamu. Kamu nggak akan ada di sini kalau nggak ada papamu. Kamu ... maksudku kita juga butuh restu dari beliau kan?"Menuruti egonya yang masih terlalu tinggi, Naren menggeleng pasti. "Nggak, kita perlu minta restu ke Kakek, b
“Itu kan yang sekarang lagi deket sama Pak Naren?”Sudah hampir seminggu Rhea mendengar bisikan-bisikan serupa, kadang benar-benar berupa bisikan yang tak ia dengar, tapi bisa ditangkap melalui indra penglihatannya kalau orang-orang sedang menggunjingkan dia. Tapi kadang juga ucapan itu sengaja dikeraskan agar Rhea mendengarnya.“Biarin aja Rhe, namanya juga udah go public,” ledek Kaira yang berjalan bersisian dengan Rhea usai makan siang bersama.“Go public? Emangnya saham?”Kaira terkekeh dibuatnya. Ia kagum pada sikap Rhea yang mampu mengabaikan omongan sumbang di sekitarnya. Yang Kaira tidak tahu, sebenarnya Rhea merasa jengah dan kadang mengamuk ke Naren yang tidak bisa mengontrol tingkahnya walaupun mereka berada di area kantor.“Ditembaknya di mana, Rhe?”“Di jantung hatiku,” kelakar Rhea. “Nggak jadian kok. Cuma ya ... gitu deh, komitmen aja buat langsung melangkah ke step berikutnya.”“Wooow! Udah dilamar? Yang berdua doang gitu, bukan acara tunangan yang melibatkan keluarga?
"Congrat, Bro."Teman-temannya mengucapkan bergantian sambil memeluk Naren."Kamu masih bisa mundur loh, Rhe. Mumpung keluarga kalian belum ketemu." Rama kini memperingatkan Rhea sambil mengerling jahil."Jangan aneh-aneh lo." Naren menjauhkan teman-temannya dari Rhea, membiarkan Rhea duduk di ujung sofa dan dirinya mengapit Rhea, tanpa jarak."Kirain udah kelar makan malam kalian, malah mau 'macem-macem' dulu," ledek Rama lagi."Jinggaaaa ... congratulation, Babe ...."Suara nyaring Leny dan Amee membuat Rhea menoleh ke belakang, lantas menghampiri dan memeluk mereka. Kebetulan sudah beberapa minggu mereka tidak bertemu."Makasiiih. Kok kalian bisa ke sini juga?""Yang ini kan sekarang udah sepaket sama calon suaminya." Amee mendengkus kesal sambil menunjuk Leny. Dan baru disadari Amee kalau kini hanya dirinya yang jomlo, ada sedikit rasa iri melihat teman-temannya telah mengenakan cincin. Tapi rasa irinya tentu jauh kalah dibanding rasa bahagia."Kak Naren, Jingga dijaga, jangan dis
"Makan malem di rumahku ya, buat gantiin yang kemaren," ajak Naren sambil tersenyum dan masuk kembali ke dalam mobil untuk memarkirkannya ke dalam garasi.Untunglah mereka bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu hingga bisa pulang lebih cepat dari biasanya dan memberikan ide Naren untuk memasak makan malam demi menggantikan makan malam mereka yang gagal karena keisengan teman-temannya."Kamu mau pulang mandi dulu?" tanya Naren. "Biar aku yang masak."Rhea menarik kerah kemejanya dan mengendusnya. "Emang aku bau ya?"Naren tergelak mendengar pertanyaan Rhea. Ia kemudian menghadap Rhea dan mendekatkan hidungnya beberapa senti dari leher Rhea. "Iya, bau kamu. I means ... bau aroma tubuh kamu. Parfum yang kamu pake dari pagi pasti udah menguar kan baunya." Naren terdiam sesaat seolah berpikir. "Kalo gitu jangan mandi dulu deh. Mungkin nanti setelah makan aku masih pengen ngendus-ngendus kamu."Rhea menegang di tempatnya. Jantungnya benar-benar tidak aman setiap bersama Naren."Mau bantui
Suasana ruangan Departemen Finance memdadak mencekam. Kedatangan Naren dengan raut muka marahnya menjadi penyebab utama.Beberapa pegawai berbisik-bisik saat melihat Naren menghampiri meja Rhea.Naren menatap Rhea tanpa mengalihkan pandangannya, ia masih menunggu jawaban Rhea atas one month notice yang diajukannya.Baru Rhea berniat membuka mulut untuk menjawab, ponsel Naren berbunyi dan membuat lelaki itu bergegas mengangkatnya."Aku ada meeting. Kuharap kamu udah siap dengan jawabanmu pas nanti kita ketemu," ucap Naren sebelum berlalu.Rhea menghela napas berat. Danar yang ada di sampingnya menatap Rhea dengan tatapan iba."Itu one month notice yang waktu itu kan? Bener kan kamu mau resign? Waktu itu kutanya nggak ngaku," cecar Danar."Hmm. Aku belum sempet cerita aja.""Kamu mau resign?""Iya, udah kupikirin mateng-mateng kok.""Jangan-jangan kamu di-hijack perusahaan lain ya?""Nggak.""Atau mau jadi ibu bos aja?"Rhea mendelik kesal kepada Danar. "Aku mau buka bisnis sama temenku
"Lima hari lagi ya? Cepet banget, Mas," ujar Rhea yang kini menatap langit-langit ruangan kerja Naren.Dua hari sebelumnya, keluarga Naren—yang tentunya hanya dihadiri kakek dan papanya, mengajak keluarga Rhea untuk makan siang bersama.Semula keluarga Naren berniat berkunjung ke Batam, tapi berhubung kondisi kesehatan kakeknya yang sedang turun, orang tua Rhea menawarkan diri untuk datang ke Jakarta. Bukan hal yang berat bagi mereka, kondisi keduanya dalam keadaan fit, ditambah lagi Ranu yang kegirangan karena jalan-jalan dengan menggunakan pesawat.Dalam makan siang dua keluarga inti itu, mereka sepakat untuk mengadakan acara lamaran seminggu kemudian.Rhea sempat terbengong beberapa saat ketika usulan itu tercetus. Tujuh hari, bagaimana caranya menyiapkan acara pertunangan dalam tujuh hari?Naren tidak berhenti mengulum senyum. Ia pikir, acara pertunangannya paling cepat akan diadakan dua bulan kemudian. Ternyata semua di luar ekspektasinya."Ya nggak apa-apa, kamu kan udah resign,
"Jadi ini coffee shop yang mau kamu buka?"Rhea sedang merapikan catatan keuangan Amigos saat tiba-tiba mendengar suara yang tidak asing lagi menyapanya. Seorang lelaki paruh baya dengan mengenakan setelan jas tampak memmasuki coffee shop-nya yang belum buka itu sambil mengedarkan pandangan."Om?" Rhea membeku di tempat. Meskipun ini bukan pertemuan pertama mereka, tapi tetap saja rasanya masih canggung jika hanya berdua saja dengan lelaki di depannya itu.Setelah berhasil tersadar dari keterpanaannya, Rhea bangkit, mendekat ke arah lelaki itu dan mengajaknya untuk menuju salah satu meja yang berada di pojok. "Maaf, Om, masih berantakan," ucapnya sambil melemparkan senyum. Bisa ia lihat kemiripan garis wajah antara Naren dengan papanya, apalagi jika sedang tersenyum, rasanya ia seperti melihat Naren saat tua nanti. "Om, mau minum apa? Biar aku bikinin.""Kamu bisa bikin kopi?""Meskipun aku bukan barista, tapi kalau cuma bikin kopi, aku bisa kok, Om. Kecuali Om minta latte art yang ga
"Cantik banget sih!" seru Leny dan Amee yang kini berada di kamar Rhea, menemani wanita yang sedang gelisah menunggu dipanggil keluar untuk menemui calon tunangan dan keluarganya."Belom dateng ya emangnya?" tanya Rhea."Nggak sabar amat, Sis," ledek Amee.Rhea mengerucutkan bibir. Bukannya dia tidak sabar, dia hanya gugup, dan ingin acaranya segera berlangsung sehingga berakhirlah kegugupannya."Mereka nggak dari rumah Kak Naren yang depan kan? Berangkat dari rumah keluarganya kan?" tanya Leny. Pasalnya tidak mungkin keluarga Naren terlambat, kalau mereka tinggal menyeberang jalan."Lagian belum waktunya, masih lima belas menit lagi," ucap Amee menenangkan.Mereka tengah mengambil beberapa foto saat tiba-tiba pintu kamar Rhea terbuka dan mamanya melongokkan kepala untuk memanggil Rhea."Yuk, Naren sama keluarganya udah dateng."Mamanya menuntun Rhea sementara Leny dan Amee menyelinap menuju tempat duduk para tamu.Tidak terlalu banyak yang hadir saat itu. Hanya keluarga Naren, yang t