Aku bukan cuma menghindar, tetapi melarikan diri dengan sekuat tenaga untuk tidak harus bertemu dengan Pak Prana. Aku tahu kalau dia yang benar-benar merupakan ayah kandungku tersebut berusaha menemuiku. Tapi bayangkan apa yang aku rasakan? Ia yang tidak pernah datang di dalam kehidupanku tiba-tiba saja mengakui kalau aku adalah putrinya. Ia yang bahkan tidak pernah aku kenal mengatakan itu dengan lantang. Bagaimana seharusnya aku bersikap?"Nyonya, Pak Prana bertanya apakah mau makan sesuatu?" Aku melirik Muni yang menatapku dengan tetapan prihatin. Semua orang di rumah ini tahu soal hubunganku dengan Pak Prana. "Tidak selera!" jawabku. Ini hanya alasan Pak Prana saja. Pria tua itu yang mengaku-ngaku sebagai ayah kandungku hanya ingin merecokiku saja. Aku sudah pernah menemuinya setelah hari pernikahanku dulu. Ia hanya berkata kalau ibuku merindukanku. Ibu merindukanku? Apa tidak salah? Jelas-jelas saat hari Ibu menikam Ayah, Ibu menatapku dengan penuh kebencian hari itu. Andai
Ada banyak suara di sekitarku. Aku tidak kenal beberapa tetapi yakin menggenal Gatra dan Pak Prana. Awalnya hanya berupa bisi-bisik saja sebelum kemudian menjadi lebih jelas saat ini.Padanganku yang awalnya gelap juga mendadak menjadi cerah. Hingga akhirnya hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit. Suara-suara yang awalnya berdegung disekitarku bagaikan lebah lenyap seketika.“Kamu baik-baik saja sekarang?”Aku menoleh dan melihat tatapan khawatir yang berasal dari Pak Prana. Aku sempat berpikir kalau kemungkinan ibuku ada di dalam kamar juga, tetapi tidak sama sekali. Untung hanya pria yang mengaku sebagai ayah kandungku saja.Aku mendorong tubuhku dengan kedua tangan supaya bisa berdiri, tetapi tidak berhasil. Aku sama sekali tidak memiliki tenaga saat ini. Rasanya seluruh tubuhku menjadi ngilu seketika.“Tetaplah berbaring! Tidak ada yang perlu kamu kerjakan selain itu.” Gatra menekan bahuku dengan lembut sekali.Pada akhirnya aku pasrah saja saat ini. “Kok aku tiba-tiba l
Anehnya perasaan senang karena mengetahui Ayu hamil bertahan lebih lama dibandingkan yang aku bayangkan. Bahkan setelah hari pengumuman kepada semua pekerja di rumah. Bahkan setelah malam terlewati, aku masih saja ingin memeluk siapapun yang aku temui dan berkata kalau istriku sedang hamil.Apakah memang seperti itu euforia menjadi seorang ayah? Candu yang tidak bisa dikendalikan oleh perintah otak saja.Seberapa keras pun aku berpikir, aku tidak menemukan alasan untuk menghilangkan perasaan senang yang muncul setelah mendengar kehamilan tersebut segera. Memang apa salahnya dengan hal itu?Aku mengatakan kata-kata yang tidak pernah kukatakan sebelumnya. Kalimat-kalimat yang menenangkan itu terasa begitu aneh di lidah. Seperti sedang mengulung permen yang baru pertama kali kumiliki. Namun, aku sama sekali tidak membencinya.Ketika aku menyentuh puncak kepala Ayu, menyuruhnya untuk memejamkan mata, rangsangan aneh lainnya yang entah berasal dari mana muncul. Rangsangan itu mendikteku un
Aku hampir muntah ketika Muni menyodorkan makanan padaku. “Bau apa ini Muni?” tanyaku memencet hidung sekuat tenaga dan berusaha bernapas melalui mulutku saat ini.Muni menghidu segera. Lalu kulihat ia mengeleng dengan penuh semangat. “Tidak ada bau apa-apa kok, Nyonya! Ah, ada ini sih, tapi ini kan wangi sekali!” kata Muni senang.“Jauhkan itu dariku!” kataku memohon. Sungguh. Aku tidak sanggup bernapas dengan cara normal kalau makanan datang ke kamar ini berbau menjijikan seperti ini.Muni entah iseng atau hanya tak percaya dengan kata-kataku menyodorkan makanan ke arahku.Padahal hidungku telah kupencet hingga tak ada aliran udara yang masuk ke salah satu alat pernapasan itu. Namun, masih saja berbau busuk. Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan supaya Muni berhenti mengerjaiku?“Nyonya belum makan sejak kemarin! Nanti Nyonya sakit!” Muni mendorongkan sesendok makanan menuju mulutku.Aroma menyengat yang sejak tadi berusaha kuhindari sekuat tenaga menyerang dengan ganas saat ini.
“Mengalami problem ayah baru?” Erlan muncul dengan ejekannya di pagi hari di ruangan kantor mewah tempat aku menenangkan diri.Tidak ada yang aman di rumah sejak Ayu dinyatakan hamil setelah menikah selama sebulan. Bagiku sebuah kebahagiaan karena sebentar lagi mendapatkan apa yag kuinginkan. Namun, Alina--wanita yang memintaku mencari rahim lain untuk memiliki anak malah menjadikannya sebagai bahan pertikaian.“Sialan!”Erlan mematung kulihat, berusaha terlihat sangat bersalah dan akan memutuskan keluar sambil menangis dengan menutup kedua tangannya. Tapi kemudian tak lama setelah penyesalan yang dibuat-buat itu muncul, Erlan tertawa terbahak-bahak.“Nikmati itu Bro!” katanya sambil duduk di sofa tanpa dipersilakan.Aku mengerutu cukup lama sampai kemudian menyadari kalau sebenarnya aku cukup senang dengan semua yang terjadi. Rasanya seperti dibutuhkan. Rasanya jelas menjadi prioritas.“Tidak sabar bertemu dengan anakmu?” Erlan memiringkan kepalanya saat bertanya padaku.Aku menekan
Muni melaporkannya padaku. Aku belum sempat melihat keadaan Ayu. Ah … benar-benar. Dibiarkan malah menjadi. Aku menghargainya sebagai ayah kandung Ayu. Tapi, sepertinya aku tidak dianggap sebagai menantu.“Terima kasih Muni!” kataku.“Saya khawatir sama Nyonya Pak!” Muni mengatakan itu terakhir kali sebelum kemudian pamit keluar ruang kerja.Kulihat jam di ponselku, hampir pukul sembilan malam. Kebanyakan pelayan sudah kembali ke pavilliun di luar, tempat mereka tinggal saat bekerja. Pak Prana juga ada di sana.Yang tinggal di dalam rumah hanyalah beberapa pelayan yang bertanggung jawab langsung pada penghuni rumah. Semacam pelayan khusus. Mereka diberi kamar di dekat dapur.Aku memencet intercom, menyuruh siapapun yang berada di dekat sana untuk memanggil Pak Prana keruanganku. Seperti kata Erlan aku harus tegas membatasi gerak pria tua yang adalah ayah kandung istriku.Hari ini hanya sekedar sakit perut saja. Muni berkata kalau dokter datang dan memberikan Ayu obat penenang. Katanya
Semalam aku bermimpi seseorang berbisik kalau aku ada di tempat yang aman. Ayah yang biasanya memarahi Ibu di rumah menghilang. Dan bayangan Ibu yang berrlumuran darah juga.“Siapa, ya?” tanyaku pada diri sendiri.Tidurku yang jarang sekali lelap begitu nyaman. Hingga aku merasa senang dan tubuhku terasa sangat segar. Aku bangun lebih dulu dari Muni yang biasa membangunkanku pukul tujuh dan duduk di teras kamar sambil memandang keluar.“Nyonya … Anda bangun lebih awal?” Muni terdengar terkejut bertanya padaku.Aku mengangguk. “Apa kamu masuk ke dalam kamarku semalam, Muni?” tanyanya.Muni memiringkan kepala dan mengeleng. “Tidak kok, mungkin Tuan yang datang. Tuan memanggil saja ke dalam ruang kerja setelah Anda tidur di kamar.” Mata Muni berbinar-binar saat mengatakan hal itu padaku.Jujur saja, aku sama sekali tidak percaya. Aku tidak bisa memikirkan alasan, dasar dari sikap peduli Gatra padaku. Benar, aku adalah wanita yang mengandung bayi yang sangat ia inginkan. Tetapi hanya itu
PLAK!Telingaku berdenging dan cukup lama aku hanya terdiam menikmati rasa sakit yang diakibatan tamparan itu. Astaga … memang apa yang aku lakukan? Aku hanya berjalan keluar dari kamar dan berdiri di aula.“Kamu sangat tidak tahu malu!” tuding Alina padaku.Rasa panas seperti terbakar dan perih menjalar di pipiku hingga ke mata. Aku benar-benar ingin menangis sekarang, tetapi aku tak mau memperlihatkan kelemahanku pada wanita di depanku ini.Walau pandangan mataku mengabur dan desakan untuk meraung dan menjerit begitu kuat di dalam dadaku, aku sama sekali tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku berdiri tegak dengan tubuh gemetaran.“Ada apa Nyonya Alina, apa ada yang salah?” Muni muncul dengan cepat dan berdiri di depanku.Alina masih memandang dengan penuh kebencian terhadapku. Seolah aku telah melakukan hal yang benar-benar besar untuk bisa dibencinya seperti itu.“Kamu dan dia sama saja! Orang-orang yang seperti binatang lapar yang menunggu kesempatan!”Emosiku meledak mendengarnya.