Muni melaporkannya padaku. Aku belum sempat melihat keadaan Ayu. Ah … benar-benar. Dibiarkan malah menjadi. Aku menghargainya sebagai ayah kandung Ayu. Tapi, sepertinya aku tidak dianggap sebagai menantu.“Terima kasih Muni!” kataku.“Saya khawatir sama Nyonya Pak!” Muni mengatakan itu terakhir kali sebelum kemudian pamit keluar ruang kerja.Kulihat jam di ponselku, hampir pukul sembilan malam. Kebanyakan pelayan sudah kembali ke pavilliun di luar, tempat mereka tinggal saat bekerja. Pak Prana juga ada di sana.Yang tinggal di dalam rumah hanyalah beberapa pelayan yang bertanggung jawab langsung pada penghuni rumah. Semacam pelayan khusus. Mereka diberi kamar di dekat dapur.Aku memencet intercom, menyuruh siapapun yang berada di dekat sana untuk memanggil Pak Prana keruanganku. Seperti kata Erlan aku harus tegas membatasi gerak pria tua yang adalah ayah kandung istriku.Hari ini hanya sekedar sakit perut saja. Muni berkata kalau dokter datang dan memberikan Ayu obat penenang. Katanya
Semalam aku bermimpi seseorang berbisik kalau aku ada di tempat yang aman. Ayah yang biasanya memarahi Ibu di rumah menghilang. Dan bayangan Ibu yang berrlumuran darah juga.“Siapa, ya?” tanyaku pada diri sendiri.Tidurku yang jarang sekali lelap begitu nyaman. Hingga aku merasa senang dan tubuhku terasa sangat segar. Aku bangun lebih dulu dari Muni yang biasa membangunkanku pukul tujuh dan duduk di teras kamar sambil memandang keluar.“Nyonya … Anda bangun lebih awal?” Muni terdengar terkejut bertanya padaku.Aku mengangguk. “Apa kamu masuk ke dalam kamarku semalam, Muni?” tanyanya.Muni memiringkan kepala dan mengeleng. “Tidak kok, mungkin Tuan yang datang. Tuan memanggil saja ke dalam ruang kerja setelah Anda tidur di kamar.” Mata Muni berbinar-binar saat mengatakan hal itu padaku.Jujur saja, aku sama sekali tidak percaya. Aku tidak bisa memikirkan alasan, dasar dari sikap peduli Gatra padaku. Benar, aku adalah wanita yang mengandung bayi yang sangat ia inginkan. Tetapi hanya itu
PLAK!Telingaku berdenging dan cukup lama aku hanya terdiam menikmati rasa sakit yang diakibatan tamparan itu. Astaga … memang apa yang aku lakukan? Aku hanya berjalan keluar dari kamar dan berdiri di aula.“Kamu sangat tidak tahu malu!” tuding Alina padaku.Rasa panas seperti terbakar dan perih menjalar di pipiku hingga ke mata. Aku benar-benar ingin menangis sekarang, tetapi aku tak mau memperlihatkan kelemahanku pada wanita di depanku ini.Walau pandangan mataku mengabur dan desakan untuk meraung dan menjerit begitu kuat di dalam dadaku, aku sama sekali tidak membiarkan hal itu terjadi. Aku berdiri tegak dengan tubuh gemetaran.“Ada apa Nyonya Alina, apa ada yang salah?” Muni muncul dengan cepat dan berdiri di depanku.Alina masih memandang dengan penuh kebencian terhadapku. Seolah aku telah melakukan hal yang benar-benar besar untuk bisa dibencinya seperti itu.“Kamu dan dia sama saja! Orang-orang yang seperti binatang lapar yang menunggu kesempatan!”Emosiku meledak mendengarnya.
“Aku tanya! Apa kamu suka sama dia? Kamu cinta kan sama wanita itu!” Alina terus berteriak-teriak sambil menarik-narikku.Aku menepis tangan Alina yang berusaha menarikku untuk terakhir kalinya. “Apa yang sedang kamu bicarakan? Aku akan bicara denganmu setelah kamu menenangkan diri.”Kulihat wajah Alina menjadi merah karena marah. Ia tampak sangat tidak terima dihentikan dengan cara seperti ini. Baru saja aku bermaksud melangkah meninggalkan aula depan, Alina berteriak layaknya orang gila dan menerjang ke arah Ayu.Muni melindungi Ayu dengan tubuhnya. Tetapi, dengan luapan kemarahan Alina, tubuh Muni hanya terhempas jauh saja. Kemudian tangan-tangan Alina mulai menjambak Ayu.Tidak. Jika aku tidak bertindak Ayu akan terluka. Dan aku mungkin saja akan kehilangan anakku.Segera aku berlari ke arah Alina. Dengan kekuatanku Ayu bisa terselamatkan dan bersembunyi segera di belakangku. Keadaanna kacau. Selain beberapa luka gores di leher dan pipi, pakaian Ayu sedikit robek.“Kadang aku piki
Aku sama sekali tidak tenang. Setelah mandi dan kemudian turun ke bawah kembali, aku pergi ke kamar yang diberikan Oma. Perabotannya masih perabotan lama saja. Sepertinya aku harus mengisinya juga dengan perabotan bayi jika mau tempat itu jadi sedikit lebih padat.“Apa sebaiknya aku bertanya pada Ayu?” Aku bergumam saat melangkah ke ruang kerja setelah meninggalkan kamar hadiah itu.Dan langkah kakiku langsung berbelok. Seolah disetir oleh sesuatu yang tidak tampak dan kemudian berakhir di depan kamar Ayu. Hah? Aku sendiri terkejut dengan diriku yang berakhir di sana. Ya, Tuhan. Ada masalah dengan otakku.Aku tahu kalau Ayu pasti sudah tidur saat ini. Kamarnya tidak dikunci kalau aku tidak ada di dalam. Hanya saat aku masuk dan melakukan aktivitas suami istri saja kamar ini mendadak menjadi terlarang bahkan untuk didekati.“Aku tidak akan menganggunya tidur. Akan kulihat sebentar saja dan kembali ke ruang kerja!” Begitu aku menegaskan kepada diriku sendiri apa yang harus kulakukan.Ku
“Kenapa wajahmu begitu? Astaga … akhirnya tiba juga saat di mana aku bisa melihat wajah seorang Gatra yang lempeng mendadak penuh kerutan.” Erlan berseru tampak sangat bersyukur.“Kalau cuma mau membuatku bertambah pusing saja, toong pergilah! Aku sedang tidak mau berbicara denganmu saat ini.”Erlan tertawa terbahak-bahak dan kemudian menepuk pundakku. Namun, aku sama sekali tidak merasa terhibur dengan tawanya. Malahan aku semakin kesal saja dengan sikapnya itu.“Masalah yang kemarin ya?” Erlan kemudian mengedikan bahu seolah sama sekali tidak peduli.“Bukan!” Aku menjawab.“Bukan? Lalu apa?” Gatra memandangku dengan cara mendongak cukup tinggi dari tempatnya duduk. Cukup lama ia melakukannya, tetapi karena aku tak kunjung menjawab kembali diturunkan pandangannya.“Aku merasa aneh, Erlan!” Aku akhirnya menemukan kata-kata yang tepat untuk dikatakan pada Erlan. Memang itu yang aku rasanya sejak bersama dengan Ayu. “Aku memaklumi semua tindakan yang dilakukan Ayu, entah itu sesuatu yan
Aku pernah pergi ke kelurahan saat menemani Paman mengurus kartu keluarga dulu. Yang disebut kantor adalah sebuah bangunan satu lantai yang berisi banyak meja dan kursi tunggu di bagian depan dan beberapa ruangan yang berisi karyawan kelurahan.Akan tetapi, bukan berarti aku tidak tahu jenis kantor yang semacam ini, sebuah gedung tinggi yang tak ketahui jumlah lantainya, menjulang hingga membuat bayang-bayang rasaksa ketika ditimpa matahari dari sisi barat atau timur.“Nyonya!” Muni menegurku.Aku menunduk, tetapi tak bisa mengusir ekspresi kagum dari wajahku sedikit pun. Erlan tergopoh-gopoh keluar dari pintu yang otomatis terbuka dan tertutup saat orang-orang mendekat.“Dia menyuruhku sini tanpa memberitahuku siapa yang datang, ternyata si cantik. Apa kabar?” Erlan mengulurkan tangan, mengajakku bersalaman.Bukannya aku menyukai Erlan, ia sama saja dengan semua orang di rumah Gatra. Semuanya mengharapkan sesuatu dariku. Akan tetapi, dibandingkan yang lainnya, Erlan menatapku layakny
Wanita itu menggodanya dengan cara seorang penjahat wanita yang sering kulihat di televisi akhir-akhir ini. Bukan aku yang menonton, tetapi Muni. Ia heboh sekali setiap si penjahat wanita itu muncul dan mewanti-wanti.Pokoknya nyonya jangan biarkan yang begitu muncul di antara Nyonya dan Tuan! Begitu katanya padaku dengan intonasi tinggi dan kemarahan yang menyala-nyala.Yang tidak aku pahami adalah kenapa aku harus mewaspadai orang seperti itu. Aku jelas telah menjadi musuh untuk Alina. Setidaknya Alina telah menganggapku sebagai musuhnya saat ini. Aku tidak menyukai Gatra. Aku menyangkalnya setengah mati walau pun merasa kalau sikap penyangkalanku sangat memalukan.Perasaan tidak enak saat kulihat wanita yang dipanggil itu datang menyodorkan dadanya secara terang-terangan padahal ada aku di sana benar-benar mengesalkan. Aku ingin melakukan sesuatu untuk memberitahunya keberadaanku.Namun, pertanyaannya adalah apakah boleh aku merasa seperti itu. Aku memalingkan wajah dan wanita itu