Jam dua dini hari Za terbangun karena kebelet. Melirik ke samping, sang suami terbaring dengan bantal menutupi muka. Dengkurannya bahkan terdengar. Sepertinya Albany sangat kecapean.Za melirik ke atas meja, ada dua kantong keresek di sana. Buah mangga yang masih terlihat muda menyembul di sana. wanita cantik itu tersenyum. Dia terharu karena sang suami sudah mau bersusah payah mencarikan sesuatu yang sangat diinginkannya.Mulut Za tiba-tiba terasa pahit. Dia kembali membayangkan jika makan rujak akan menetralisir rasa pahit di mulutnya. Namun, dia ingin jika Albany yang membuatkan rujak itu untuknya.“Mas.” Za menggoyang-goyangkan tubuh tegap itu pelan. Albany hanya bergumam dan membalikan tubuhnya, lalu memeluk bantal yang tadi menutupi wajah.Za langsung cemberut.“Maass,” ucapnya sambil menggoyangkan tubuh itu lagi.“Hhmm?” Albany masih asik memeluk bantal.“Pengen rujaknya sekarang,” ujar Za merengek dan masih tetap menggoyangkan tubuh suaminya.Albany menggeliatkan tubuhnya. Ra
Albany mendengkus kesal. Di pagi buta, dengan udara dingin dan rasa kantuk yang hebat, harus pula makan rujak yang asemnya minta ampun.Tak ada pilihan lain, Albany kembali mencocol bumbu rujak dan menyuapnya dengan meringis.Za malah semakin suka melihatnya. Dia tertawa-tawa sambil ikutan meringis ketika sang suami meringis keasaman.Klek.Terdengar pintu kamar Ningsih terbuka. Kedua orang itu sontak menoleh. Ada Ningsih di sana menatap heran pada kedua anak dan menantunya itu.“Kalian lagi apa malam-malam begini?” tanyanya dengan mata menyipit.“Ini, Bu, adek bayinya pengen makan rujak,” jawab Za diselingi kekehan.“Adek bayi yang mau rujak, tapi kok, malah Albany yang makan sambil meringis-meringis gitu?” tanya Ningsih heran.Za cekikikan, sementara Albany memutar bola matanya jengah.“Adek bayi maunya ayahnya yang makan, Bu,” jawab Za diselingi tawa.“Ngidamnya aneh.” Albany menggerutu. “Padahal udah diwanti-wanti jangan ngidam yang aneh.”Za kembali tertawa. Lalu Ningsih pun ik
“Jangan sentuh aku!” ujar Hendro ketus. Rita menyeringai.“Kamu terlihat semakin menggoda, Hendro. Apakah kita bisa kembali seperti dulu? tinggal serumah dan kembali menjadi suami istri?” tanyanya tanpa rasa malu.Hendro mendecih lalu tertawa.“Jangan mimpi kamu! Aku sudah hidup bahagia dengan Maria. Dan terutama, aku sudah lepas dari iblis betina seperti kamu,” gertak Hendro dengan senyuman sinis.“Oh, ya, kemana mobilmu?” Hendro melirik pada sedan butut yang terparkir tak jauh dari mereka berdiri.Rita sedikit menunduk dan mulai terisak.“Ayahku sakit dan membutuhkan penngobatan yang mahal. Dia kena kanker paru-paru. Karena itu, aku menjual seluruh aset yang aku punya. Uang yang aku ambil dari kamu pun habis untuk berobat dia,” desah Rita dengan air mata buaya.Hendro terdiam. Walaupun dia membenci wanita di depannya ini, namun saat mendengar mantan mertuanya sakit, dia sedikit trenyuh.“Maaf,” ujar Hendro memalingkan muka.Rita menggeleng. “Tidak apa-apa, Mas. kebetulan sekali kita
Tatapan heran terlihat dari semua karyawan saat melihat kehadiran Hendro di perusahaan itu. Sudah lama lelaki itu tak pernah datang ke sana. selama ini hanya Za yang mengurus segalanya.“Kalau dilihat-lihat, emang mirip juga ya Albany si OB yang nyamar itu sama Pak Hendro,” bisik orang-orang.“Iya. Kalau aku tahu dia nyamar, udah kupepet sejak awal,” timpal karyawan wanita yang lain.“Bapak sama anak sama kerennya. Cuman bedanya di umur doing. Tapi … Pak Hendro ini tua-tua keladi, makin tua makin kelihatan ganteng,” balas yang lainnya diseling tawa.Semua kepala divisi juga terlihat kaget saat tahu siapa yang memimpin rapat. Hendro itu sangat tegas dan banyak ditakuti karyawannya.“Ke mana Bu Zanna, ya? kok diganti sama Pak Hendro? Aku takut kena semprot. Pak Hendro kan, gak bisa kita salah dikit pasti marah,” bisik seorang yang ikut meeting.Semua setuju, jika Hendro memang sangat ketat dengan peraturan, tidak seperti Za yang banyak toleransi pada pegawai. Wanita cantik itu bahkan di
Za dan Albany sampai di rumah sebelum tengah hari. Lelaki berkuncir itu merasa sangat mengantuk. Sedari tadi sebenarnya, namun dia memaksakan diri mengantar sang istri ke dokter kandungan. Ditambah pula sudah menghabiskan sepiring nasi dengan jengkol goreng sebanyak itu. Efeknya benar-benar langsung terasa ke mata.Saat melihat sofa, dia langsung menjatuhkan dirinya di sana. Ningsih mengerutkan dahinya heran.“Tanggung, lho, Al. bentar lagi azan Dzuhur,” ujar Ningsih dari ruang makan.“Ngantuk banget, Bu. Ntar bangunin aja kalau adzan.” Albany menguap lalu terlelap.**Malamnya Za entah kenapa merasa sangat gerah, walaupun AC sudah menyala. Dia pun hanya mengenakan celana tidur yang sangat pendek dengan atasan berbentuk tangtop, menampilkan bentuk tubuhnya yang cantik.Albany menelan ludah saat melihat pemandangan indah di depan mata. Selonjoran dengan gaya yang begitu menggoda. Lelaki itu mendekat.“Kamu pake shampo apa, Mas?” tanya Za pada suaminya yang sudah mandi entah ke berapa
Seharian ini Albany sama sekali tidak pergi ke kebun. Dia sibuk menjaga Za, dari mulai menyiapkan makanan, menyuapi sampai bolak-balik jika istrinya itu hendak ke kamar mandi. Dengan telaten lelaki berambut sebahu itu melakukan semuanya dengan senang hati.“Mas, kamu bilang kemarin-kemarin kalau hari ini ada panen. Apa nanti nggak rugi?” tanya Za menatap dalam pada suaminya yang sedang fokus menyuapi.“Udah aku percayakan pada Dodi. Sementara aku nggak akan ke kebun dulu sampai kondisi kamu membaik,” jawab Albany datar dan kembali menyodorkan sesuap nasi ke mulut istrinya.Za benar-benar terharu melihat pengorbanan sang suami yang lebih mementingkan dirinya.“Padahal kan ada Ibu, mas. Dia pasti jagain aku,” ucap Za merasa bersalah karena telah merepotkan dan menghambat pekerjaan suaminya.“Kamu denger sendiri kan, apa kata dokter? Kamu itu nggak boleh banyak bergerak dulu. harus bedrest. Mana bisa Ibu gendong kamu ke kamar mandi,” timpal Albany.Za tersenyum tipis. Baiklah, kali ini d
Za langsung cemberut.“Aku udah bosan, Mas. selama beberapa bulan ini cuman keliling rumah sama keliling komplek. Aku cuman nyari baju-baju bayi. Lagian kemarin kan dokter udah bilang kalau kehamilan aku udah aman. Udah gitu, aku jalan kan, sama Ibu, nggak sendiri.” Za kembali memaksa.“Mau sama siapa berangkatnya? Aku antar aja ya? nanti pulangnya baru naik taksi.” Albany memberi masukan.“Lho, kamu, kan, mau berangkat sebentar lagi. Santai aja, taksi online tuh, sekarang banyak. Kamu nggak usah takut. Aku cuman mau beli beberapa potong baju, sekalian ke salon juga. rambutku udah nggak karuan, ini.” Za kembali merengek.Albany mulai merasa kasihan. Memang benar, selama beberapa bulan ini Za tidak bisa kemana-mana demi menjada calon buah hati mereka. Lagi pula, hasil pemeriksaan kemarin lusa, dokter menyatakan jika kehamilan Za baik-baik saja. Seorang anak laki-laki akan segera mereka timang. Ada rasa bangga yang menyeruak dalam hati lelaki itu saat mengingat jika dia akan segera men
Albany mondar-mandir menunggu di depan ruang operasi. Jantungnya bertalu cepat seiring hatinya yang gundah.Bibirnya tak henti merapalkan dzikir dan doa.Pintu ruang operasi itu kembali terbuka. Seorang suster keluar dari sana sembari membawa sebuah berkas.“Suami Ibu Zanna,” panggilnya dan Albany pun segera menghampiri.“Iya, Sus?”“Maaf, saya perlu tanda tangan Bapak lagi. Rahim Ibu Zanna mengalami kerusakan parah dan harus segera diangkat,” ucap suster itu yang langsung membuat Albany lemas seketika.“A-apa?” tanyanya pelan dengan wajah yang pucat.“Saya hanya menyampaikan apa yang dikatakan dokter kandungan yang membedah Ibu Zanna. Sekarang beliau sedang berusaha menyelamatkan anak dan istri Bapak,” ucap suster lagi.Dengan tangan gemetar Albany mencoretkan tinta di atas berkas itu. Terpaksa menyetujui hal yang sama sekali tidak disetujuinya.Dunianya seakan hancur seketika. Namun, yang kini jadi prioritasnya hanya kesembuhan sang istri.“Bertahanlah, Sayang. Jangan tinggalkan aku