“Hoaaammm…” Lia menguap dengan lebar, susah payah dia berusaha menahan rasa kantuk namun semua itu percuma. Sejak mengetahui kenyataan yang sebenarnya tentang status Revan, Lia menjadi kesulitan untuk tidur setiap malam. Namun saat jam dinding menunjukkan pukul 4 pagi, rasa kantuk mulai menyerang. Semua itu membuat ritme tidur Lia tak normal dan hasilnya dia selalu mengantuk setiap berangkat bekerja.“Habis begadang?”Lia terkejut saat mendengar suara parau dari arah belakang. Suara ini suara yang sangat dia kenal dan sangat dia rindukan.Lia memejamkan matanya dengan rapat dan mengutuk dirinya sendiri karena masih saja menyimpan rasa untuk lelaki yang tak boleh dia miliki.“Kenapa begadang? nonton drakor?” tanya Revan lagi, kali ini dia sudah berdiri di sebelah Lia.Lia tetap cuek dan menempelkan ibu jarinya di mesin absensi. Setelah itu, tanpa menjawab pertanyaan Revan, Lia langsung bergegas pergi meninggalkannya.Lia tak mau berlama-lama di dekat Revan. Magnetnya terlalu besar! bi
Lia memarkirkan motornya di halaman sebuah warung yang tampak ramai. Asap mengepul di mana-mana membuat sesak.Sebenarnya sebuah pilihan yang tidak tepat makan sate buntel di siang hari di jam istirahat kerja. Bukan berarti Lia tidak suka makanan yang terbuat dari daging kambing yang sudah dilumatkan dan di lilit ke batang kayu yang lebih besar dari tusuk sate, tapi menurut dia, makan makanan ini di siang hari dan dengan waktu kurang lebih satu jam, jadi tidak begitu nikmat.Tapi mau bagaimana lagi, Ivan mengajaknya makan di sini.Lia celingukan lalu mengambil ponselnya untuk menelpon Ivan, tepat saat ada sebuah motor vixi*n datang dan berhenti di depannya. Pengendara motor tadi mmbuka helm full face nya, dan ternyata dia adalah Ivan.Lia terdiam sejenak menatap teman sekolahnya dulu. Tak ada yang berubah dari Ivan, dia masih sama seperti dulu. Tinggi, putih, ganteng dan tubuhnya atletis. Pasti dia masih suka main basket sampai sekarang sehingga tubuhnya terjaga dengan baik.“Hai Li
‘Klik.’‘Klik. Klik.’‘Klik. Klik. Klik’“Ugh!! ya ampun! siapa sih yang kirim pesan! banyak banget! ganggu konsentrasi aja!” Novi kehabisan kesabaran gara-gara ponsel Lia terus berbunyi. Lia mendesah sambil melirik ponselnya.Ivan sejak tadi mengirimkan pesan dan tak mau berhenti. Padahal Lia sudah tak membalas pesannya, tapi bukannya berhenti Ivan malah mengirimkan pesan makin banyak.Lia mengambil ponselnya lalu membaca pesan dari Ivan.Dan ternyata isinya adalah ajakan menonton bioskop malam minggu nanti. Sedang pesan lainnya hanya kata ‘ping’ yang dikirim sebanyak sepuluh kali.[Maaf Van, malam minggu aku tak bisa.] Jawab Lia, berharap Ivan mengerti dan berhenti mengirimkan pesan. [kamu sudah ada acara?] balas Ivan.[Iya] jawab Lia berdusta.[Oke. kalau begitu hari minggu, jam 1 aku tunggu di bioskop. Titik.]Lalu setelah itu, Ivan berhenti mengirimkan pesan pada Lia.Lia meletakkan ponselnya perlahan di atas meja, walau sebenarnya dia sedikit kesal dan ingin melempar ponselnya
Ruangan di dalam bioskop tidak begitu ramai, padahal kan sekarang hari minggu. Mungkin banyak orang lebih suka menonton film-film di jaringan TV kabel berbayar daripada nonton di bioskop. Sebenarnya Lia pun sama, dia malas nonton di bioskop. Dia lebih senang menonton drakor lewat ponselnya sambil rebahan. Saat film sudah dimulai dan lampu-lampu telah dimatikan, tiba-tiba Ivan menyandarkan kepalanya di bahu Lia. Lia sempat terkejut, dia berusaha menjauhkan bahunya agar Ivan tidak seenaknya bersandar di sana. Namun ternyata kepala Ivan terlalu berat sehingga membuat Lia sulit bergerak.“Van,” panggil Lia. Namun Ivan diam dan berpura-pura tertidur.Lia mendengus. Kalau hanya ingin tidur, kenapa harus mengajak dirinya nonton? Lia sudah kesal karena Ivan datang terlambat lalu dia pula yang harus mengantri membeli tiket dan sekarang Ivan malah tertidur.Kalau bukan karena Anita dan Adam, Lia sudah enggan pergi dengan Ivan. Lia merasa tak sreg dengan sikap Ivan yang seenaknya.Tiba-tiba
‘Tok. Tok. Tok.’“Siapa?” dengan lesu Lia berjalan menuju ruang tamu, hendak membuka pintu, karena sedari tadi pintu rumahnya terus menerus diketuk.“Lia? kamu belum siap?” Revan tanpak terkejut melihat Lia yang masih mengenakan piyama warnapink, rambut acak-acakan dan mata yang masih merah karena mengantuk.“Pak Revan? ngapain pagi-pagi ke rumah Saya?” Lia pun tak kalah kagetnya.Semalam dia tak bisa tidur karena badanya menggigil. Lia tak punya obat dan tak bisa pergi keluar untuk membeli obat karena hujan tak juga reda hingga larut malam.“Kita mau meeting ke Semarang, memangnya kamu lupa?”Lia melongo, dia lupa sama sekali. Padahal niatnya setelah diantar Anita kemarin sore, Lia hendak beberes untuk berangkat meeting esok paginya. Namun setelah sampai di rumah, Lia malah lupa dan langsung rebahan karena kepalanya pusing.“Saya… belum siap-siap, gimana dong, Pak?” Lia langsung panik.“Nggak apa-apa, masih jam 6. Saya tunggu kamu beberes dan mandi,” Revan menatap arloji yang tampak
"Mau pesan apa Lia?” Revan menatap Lia yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Mereka berdua berhenti di sebuah Rumah Makan yang biasa menjadi tujuan bus wisata ataupun travel untuk beristirahat.Karena makanannya banyak dan beraneka ragam, membuat Revan tak akan pusing jika Lia ingin makan makanan yang dia inginkan.“Saya ingin yang panas dan berkuah, Pak,” jawab Lia lesu.Kepalanya masih berdenyut-denyut dan pusing. Bahkan sendi-sendinya mulai terasa linu dan lemas. Tapi, Lia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Semoga saja setelah makan, tubuhnya bisa sedikit enakan.Revan menatap Lia sekejap, “Sop buntut, suka?”Lia mengangguk. Sebenarnya sop buntut terlalu mewah buat dia. Lia hanya ingin makanan berkuah dan hangat dan murah. Seperti sop ayam seharga sepuluh ribu, atau soto semarang seharga enam ribu. Tapi dia sudah tak ada tenaga untuk berdebat. Lebih baik Lia menurut daripada kepalanya bertambah pusing.Revan menghela napas, “Kamu duduk saja, biar Saya yang pesankan.” La
“Hachih!”Hampir seluruh peserta rapat di ruangan, menoleh ke arah Lia.Lia tersenyum dan meminta maaf beberapa kali karena sudah menginterupsi jalannya rapat, siang ini.Ini sudah ketiga kalinya Lia bersin. Dari tadi pun, tissue yang Lia gunakan sudah sangat menggunung di saku blazer nya.Lia sungguh merasa canggung dan tak enak hati, apalagi ada Pak Rudi, sang Direktur, duduk di ujung meja rapat.“Tolong, yang pegang remote Ac, di kecilkan saja. Kasihan dia kedinginan,” ucap sang Direktur.Lia langsung menunduk, malu. Padahal dia sudah sengaja memakai blazer agar tidak kedinginan, namun gagal. Karena tubuhnya memang sedang tidak fit, angin Ac benar-benar membuatnya menggigil kedinginan.“Istirahat saja, nggak usah ikut meeting,” Revan mendekatkan bahunya ke arah Lia dan berbisik.“Saya nggak enak hati, Pak,” jawab Lia. Walau sebenarnya dia memang ingin sekali berbaring, karena badannya terasa nyeri.“Pak Revan, Saya tau, Lia ini Admin inkaso andalan cabang Solo. Tapi jangan juga dif
Jantung Amalia berdebar dengan kencang. Bagaimana tidak? seumur hidupnya, dia tidak pernah menginap di hotel. Jangankan dengan lelaki, dengan teman perempuan pun tidak pernah.Tapi sekarang, dia berdiri di depan pelataran sebuah hotel mewah yang menjulang tinggi. Hotel yang sangat mahal pastinya.“Pak, kita serius mau menginap di sini?” ulang Lia sambil mengikuti langkah Revan yang panjang.“Iya,” jawab Revan dengan singkat.“Kenapa? kamu takut Saya macam-macam?” lanjut Revan sambil tersenyum.Lia terdiam. Bohong kalau dia tidak merasa takut. Kejadian kemarin saja masih membekas dalam ingatannya. Kejadian saat Ivan mencium pipinya di bioskop. Bagaimana jika Revan juga sama mesumnya dengan Ivan.Lia memejamkan matanya, takut.“Ki-kita, tidak tidur dalam satu kamar kan?” tanya Lia, gugup.Revan menoleh. “Kalaupun satu kamar, Saya nggak akan macam-macam, kok. Nggak usah takut.”“Siapa yang berani jamin?” tanya Lia mencari kepastian.Revan mengangkat kedua bahunya, lalu kembali melanjutk