Jantung Amalia berdebar dengan kencang. Bagaimana tidak? seumur hidupnya, dia tidak pernah menginap di hotel. Jangankan dengan lelaki, dengan teman perempuan pun tidak pernah.Tapi sekarang, dia berdiri di depan pelataran sebuah hotel mewah yang menjulang tinggi. Hotel yang sangat mahal pastinya.“Pak, kita serius mau menginap di sini?” ulang Lia sambil mengikuti langkah Revan yang panjang.“Iya,” jawab Revan dengan singkat.“Kenapa? kamu takut Saya macam-macam?” lanjut Revan sambil tersenyum.Lia terdiam. Bohong kalau dia tidak merasa takut. Kejadian kemarin saja masih membekas dalam ingatannya. Kejadian saat Ivan mencium pipinya di bioskop. Bagaimana jika Revan juga sama mesumnya dengan Ivan.Lia memejamkan matanya, takut.“Ki-kita, tidak tidur dalam satu kamar kan?” tanya Lia, gugup.Revan menoleh. “Kalaupun satu kamar, Saya nggak akan macam-macam, kok. Nggak usah takut.”“Siapa yang berani jamin?” tanya Lia mencari kepastian.Revan mengangkat kedua bahunya, lalu kembali melanjutk
“Memangnya, kita mau ke mana, Pak?” tanya Lia yang penasaran. Dia tak bisa menutupi rasa gembiranya karena akan jalan-jalan di kota yang belum pernah dia kunjungi.Revan menyeruput kopinya sambil melirik ke arah Lia. “Kamu beneran belum pernah ke Semarang dan jalan-jalan di kota ini?” tanyanya tak percaya.Mereka berdua sedang asyik sarapan sambil ngobrol di restaurant Hotel. Pagi ini, karena bukan weekend, suasana sarapan di Hotel tampak lengang. Membuat Revan dan Lia leluasa untuk makan dan mengobrol berdua.Lia menggeleng. “Sama sekali belum pernah, makanya Saya penasaran.”Revan meletakkan cangkir kopinya sambil mendesah. “Kalau belum pernah, berarti kamu harus ke Klenteng Sam Poo Kong, lalu ke lawang sewu, atau kalau kamu nggak suka tempat-tempat itu, kita bisa jalan-jalan ke mall saja.” Revan menggigit roti bakar yang sudah di oles selai kacang sambil memperhatikan Lia yang terus menatapnya.“Saya mau, kita ke Klenteng Sam Poo Kong ya, Pak? nggak usah ke mall. Kalau cuma Mall si
“Hasil meeting kemarin, cabang Solo masih memegang rekor penagihan terbaik. Dan itu semua karena Lia,” Revan menatap Lia yang berdiri tepat di seberangnya. Lalu dia bertepuk tangan dan diikuti para sales.Lia hanya tersenyum sambil tertunduk malu.“Dan, Saya dapat pesan langsung dari Pak Rudi, Direktur utama kita. Agar Novi belajar lebih banyak lagi pada Lia, agar omzet tagihan consumer bisa sebaik Ethical.”Novi yang mendengar ucapan Revan langsung tertunduk, dia berusaha menyembunyikan wajah cemberutnya. Dia kesal.“Bisa, Nov?”“Eh? kenapa Pak?” ulang Novi, dia tampak bingung.“Kamu bisa belajar pada Lia, kan? harus bisa dan harus mau! orang kalau ingin maju itu nggak boleh malas belajar!” ucap Revan, mengingatkan.“Iya, Pak.” Novi mengangguk pelan.“Hari ini, mungkin, Saya nggak bisa full di kantor. Saya mau ijin setengah hari ya. Saya harap kalian tetap bekerja maksimal walaupun Saya tidak ada di kantor,” lanjut Revan sebelum menyelesaikan briefing paginya.“Lho kenapa, Pak?” tany
"Nomor 14, bener ini deh, kayaknya," Lia bergumam sambil memperhatikan rumah yang ada di depannya. Rumah kuno bergaya belanda, dengan teras yang luas."Ah, coba aku ketuk dulu," dengan keberanian penuh, Lia mendekati pintu dan mengetuknya beberapa kali.Namun tak ada jawaban dari dalam. "Jangan-jangan Pak Revan pingsan?" Lia semakin khawatir. Dia berusaha mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci hingga Lia hampir terjatuh ke dalam rumah."Pak?" Lia berusaha memanggil Revan, namun tak juga ada jawaban.Lia berjalan semakin masuk kedalam rumah besar itu. Rumah kuno seperti ini memang biasanya berplafon tinggi hingga ruangannya terasa begitu luas dan besar, tapi bagi Lia jadi terasa menyeramkan. "Pak?" Lia melihat sebuah ruangan dengan pintu terbuka, dan dia bisa melihat Revan sedang tertidur di atas ranjang besar. "Dia tidur atau pingsan?" gumam Lia, sambil berjalan mendekati Revan."Pak?" kali ini Lia memberanikan diri menepuk pundak Revan dengan pelan."Ehmm ….""Pak, ini Saya, P
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Lia hanya bisa terdiam menatap Revan. Untunglah, Lia tak jadi mengangkat telepon barusan. Jika sampai Lia mengangkatnya, bisa-bisa akan ada perang dunia ketiga disini. Melihat Revan hendak mengangkat telpon dari istrinya, Lia berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Revan. Dia ingin memberikan kesempatan Revan agar bisa berbicara dengan nyaman. Namun saat Lia hendak menarik tangannya, Revan malah menariknya kembali lalu mendekap nya lagi di dada. "Pak, biar Saya keluar dulu, supaya Pak Revan bisa bicara dengan santai dan nyaman," Lia berusaha tetap tegar saat mengucapkan kata-kata itu dari mulutnya. Tapi kenapa juga dia harus sedih dan merasa nelangsa? Bukankah Lia sudah tau jika Revan sudah memiliki istri? Lia juga sudah menolak cinta Revan. Lalu kenapa dia harus merasa sedih? "Jangan kemana-mana, Lia. Kamu tetap di sini," Ucap Revan. "Tapi-""Tidak ada yang ingin Saya sembunyikan dari kamu, biarpun itu pembicaraan dengan Asti." Rev
"Pagi, Jamal. Keren sekali kemejanya, jadi kelihatan ganteng kamu, hari ini." Revan tersenyum cerah saat menyapa salah satu anak buahnya. Mereka berpapasan di luar pagar, tepat di depan pintu gerbang kantor.Jamal tersenyum bingung. Tumben sekali bosnya itu sudah berwajah ceria pagi pagi sekali. Bukannya kemarin dia sakit ya?"Pagi, Pak. Kok naik Jocar?" tanyanya, penasaran."Mobil Saya, kemarin Saya tinggal," jawab Revan singkat."Ayo, Saya duluan." Revan bergegas menuju ke dalam bangunan kantor. Tentu saja dia sudah sangat tak sabar bertemu Lia. Padahal semalam mereka bertemu, namun saat membuka mata di pagi hari, Revan langsng merasa Rindu."Benar kata Dilan…," gumam Revan sambil tersenyum."Dilan, bilang apa?"Revan tersentak kaget, karena ternyata ada yang mendengar gumamannya."Guntur, bikin kaget aja." Revan mengelus dadanya karena kaget."Dilan bilang apa, Pak?" Guntur masih penasaran."Dilan bilang, kalau rindu itu berat," jawab Revan sambil tersenyum."Siapa Dilan?" sambung
"Kamu mau pesan apa?" Anita membuka buku menu, dan mulai membolak balik halaman sambil berpikir akan memilih makanan apa untuk makan siangnya. "Aku… bakmi kuah balungan," jawab Lia tanpa membuka buku menu. Dia sudah pernah kesini sebelumnya dengan Revan dan dia sudah punya menu favoritnya sendiri."Enakkah?" tanya Anita sambil menatap Lia. Lia mengangkat jempolnya. "Kalau hujan begini, paling mantap ya yang kuah. Sama teh panas… uuhh, sempurna." Anita mengangguk, "Kalau gitu, aku juga sama."Lia tersenyum lalu kemudian menatap rintik air yang turun lumayan deras dari jendela kaca. "Hujan-hujan gini enaknya tidur di rumah ya Li? Bukan kerja," gerutu Anita. Lia tersenyum, "Jangan ngeluh. Masih untung kita, kerjanya di dalam kantor, hujan gini nggak masalah. Kasihan sales-sales yang kerja di lapangan. Kehujanan."Anita langsung manyun mendengar ucapan Lia, "Iya iya bu ustazah.""Hus! sembarangan!" kesal Lia sambil memukul pelan bahu Anita.Anita hanya terkekeh, lalu dia mengambil po
Lia berada di kamarnya yang berantakan karena semua bajunya berserakan. Lia merasa kesal karena semua baju yang dia miliki hanya kemeja lengan panjang yang biasa dia pakai untuk berangkat ke kantor dan celana panjang bahan kain. Ada satu celana jeans yang sudah sangat lusuh dan satu-satunya celana jeans yang bagus dan layak dipakai, hanyalah celana yang waktu itu dia beli di Semarang.Lia mendesah frustasi. Kemarin saat akan berkencan dengan Ivan, dia tak merasa se bingung ini, kenapa hanya akan pergi makan sate dengan Revan, dirinya begitu frustasi karena tak punya baju bagus? "Masa aku pakai kaos yang beli di Semarang juga, ya ampun!" gerutunya, kesal."Mulai besok, aku harus menyisihkan uang untuk membeli baju, sepatu, dan tas untuk dipakai jalan, bukan untuk kerja saja," gumam Lia sambil terus mengobrak abrik lemari bajunya. Berharap menemukan sebuah blouse cantik agar bisa dipakai untuk kencan perdananya dengan Revan.Mata Lia berbinar saat melihat sebuah blouse berwarna ungu