Ruangan di dalam bioskop tidak begitu ramai, padahal kan sekarang hari minggu. Mungkin banyak orang lebih suka menonton film-film di jaringan TV kabel berbayar daripada nonton di bioskop. Sebenarnya Lia pun sama, dia malas nonton di bioskop. Dia lebih senang menonton drakor lewat ponselnya sambil rebahan. Saat film sudah dimulai dan lampu-lampu telah dimatikan, tiba-tiba Ivan menyandarkan kepalanya di bahu Lia. Lia sempat terkejut, dia berusaha menjauhkan bahunya agar Ivan tidak seenaknya bersandar di sana. Namun ternyata kepala Ivan terlalu berat sehingga membuat Lia sulit bergerak.“Van,” panggil Lia. Namun Ivan diam dan berpura-pura tertidur.Lia mendengus. Kalau hanya ingin tidur, kenapa harus mengajak dirinya nonton? Lia sudah kesal karena Ivan datang terlambat lalu dia pula yang harus mengantri membeli tiket dan sekarang Ivan malah tertidur.Kalau bukan karena Anita dan Adam, Lia sudah enggan pergi dengan Ivan. Lia merasa tak sreg dengan sikap Ivan yang seenaknya.Tiba-tiba
‘Tok. Tok. Tok.’“Siapa?” dengan lesu Lia berjalan menuju ruang tamu, hendak membuka pintu, karena sedari tadi pintu rumahnya terus menerus diketuk.“Lia? kamu belum siap?” Revan tanpak terkejut melihat Lia yang masih mengenakan piyama warnapink, rambut acak-acakan dan mata yang masih merah karena mengantuk.“Pak Revan? ngapain pagi-pagi ke rumah Saya?” Lia pun tak kalah kagetnya.Semalam dia tak bisa tidur karena badanya menggigil. Lia tak punya obat dan tak bisa pergi keluar untuk membeli obat karena hujan tak juga reda hingga larut malam.“Kita mau meeting ke Semarang, memangnya kamu lupa?”Lia melongo, dia lupa sama sekali. Padahal niatnya setelah diantar Anita kemarin sore, Lia hendak beberes untuk berangkat meeting esok paginya. Namun setelah sampai di rumah, Lia malah lupa dan langsung rebahan karena kepalanya pusing.“Saya… belum siap-siap, gimana dong, Pak?” Lia langsung panik.“Nggak apa-apa, masih jam 6. Saya tunggu kamu beberes dan mandi,” Revan menatap arloji yang tampak
"Mau pesan apa Lia?” Revan menatap Lia yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Mereka berdua berhenti di sebuah Rumah Makan yang biasa menjadi tujuan bus wisata ataupun travel untuk beristirahat.Karena makanannya banyak dan beraneka ragam, membuat Revan tak akan pusing jika Lia ingin makan makanan yang dia inginkan.“Saya ingin yang panas dan berkuah, Pak,” jawab Lia lesu.Kepalanya masih berdenyut-denyut dan pusing. Bahkan sendi-sendinya mulai terasa linu dan lemas. Tapi, Lia berusaha sekuat tenaga untuk menahannya. Semoga saja setelah makan, tubuhnya bisa sedikit enakan.Revan menatap Lia sekejap, “Sop buntut, suka?”Lia mengangguk. Sebenarnya sop buntut terlalu mewah buat dia. Lia hanya ingin makanan berkuah dan hangat dan murah. Seperti sop ayam seharga sepuluh ribu, atau soto semarang seharga enam ribu. Tapi dia sudah tak ada tenaga untuk berdebat. Lebih baik Lia menurut daripada kepalanya bertambah pusing.Revan menghela napas, “Kamu duduk saja, biar Saya yang pesankan.” La
“Hachih!”Hampir seluruh peserta rapat di ruangan, menoleh ke arah Lia.Lia tersenyum dan meminta maaf beberapa kali karena sudah menginterupsi jalannya rapat, siang ini.Ini sudah ketiga kalinya Lia bersin. Dari tadi pun, tissue yang Lia gunakan sudah sangat menggunung di saku blazer nya.Lia sungguh merasa canggung dan tak enak hati, apalagi ada Pak Rudi, sang Direktur, duduk di ujung meja rapat.“Tolong, yang pegang remote Ac, di kecilkan saja. Kasihan dia kedinginan,” ucap sang Direktur.Lia langsung menunduk, malu. Padahal dia sudah sengaja memakai blazer agar tidak kedinginan, namun gagal. Karena tubuhnya memang sedang tidak fit, angin Ac benar-benar membuatnya menggigil kedinginan.“Istirahat saja, nggak usah ikut meeting,” Revan mendekatkan bahunya ke arah Lia dan berbisik.“Saya nggak enak hati, Pak,” jawab Lia. Walau sebenarnya dia memang ingin sekali berbaring, karena badannya terasa nyeri.“Pak Revan, Saya tau, Lia ini Admin inkaso andalan cabang Solo. Tapi jangan juga dif
Jantung Amalia berdebar dengan kencang. Bagaimana tidak? seumur hidupnya, dia tidak pernah menginap di hotel. Jangankan dengan lelaki, dengan teman perempuan pun tidak pernah.Tapi sekarang, dia berdiri di depan pelataran sebuah hotel mewah yang menjulang tinggi. Hotel yang sangat mahal pastinya.“Pak, kita serius mau menginap di sini?” ulang Lia sambil mengikuti langkah Revan yang panjang.“Iya,” jawab Revan dengan singkat.“Kenapa? kamu takut Saya macam-macam?” lanjut Revan sambil tersenyum.Lia terdiam. Bohong kalau dia tidak merasa takut. Kejadian kemarin saja masih membekas dalam ingatannya. Kejadian saat Ivan mencium pipinya di bioskop. Bagaimana jika Revan juga sama mesumnya dengan Ivan.Lia memejamkan matanya, takut.“Ki-kita, tidak tidur dalam satu kamar kan?” tanya Lia, gugup.Revan menoleh. “Kalaupun satu kamar, Saya nggak akan macam-macam, kok. Nggak usah takut.”“Siapa yang berani jamin?” tanya Lia mencari kepastian.Revan mengangkat kedua bahunya, lalu kembali melanjutk
“Memangnya, kita mau ke mana, Pak?” tanya Lia yang penasaran. Dia tak bisa menutupi rasa gembiranya karena akan jalan-jalan di kota yang belum pernah dia kunjungi.Revan menyeruput kopinya sambil melirik ke arah Lia. “Kamu beneran belum pernah ke Semarang dan jalan-jalan di kota ini?” tanyanya tak percaya.Mereka berdua sedang asyik sarapan sambil ngobrol di restaurant Hotel. Pagi ini, karena bukan weekend, suasana sarapan di Hotel tampak lengang. Membuat Revan dan Lia leluasa untuk makan dan mengobrol berdua.Lia menggeleng. “Sama sekali belum pernah, makanya Saya penasaran.”Revan meletakkan cangkir kopinya sambil mendesah. “Kalau belum pernah, berarti kamu harus ke Klenteng Sam Poo Kong, lalu ke lawang sewu, atau kalau kamu nggak suka tempat-tempat itu, kita bisa jalan-jalan ke mall saja.” Revan menggigit roti bakar yang sudah di oles selai kacang sambil memperhatikan Lia yang terus menatapnya.“Saya mau, kita ke Klenteng Sam Poo Kong ya, Pak? nggak usah ke mall. Kalau cuma Mall si
“Hasil meeting kemarin, cabang Solo masih memegang rekor penagihan terbaik. Dan itu semua karena Lia,” Revan menatap Lia yang berdiri tepat di seberangnya. Lalu dia bertepuk tangan dan diikuti para sales.Lia hanya tersenyum sambil tertunduk malu.“Dan, Saya dapat pesan langsung dari Pak Rudi, Direktur utama kita. Agar Novi belajar lebih banyak lagi pada Lia, agar omzet tagihan consumer bisa sebaik Ethical.”Novi yang mendengar ucapan Revan langsung tertunduk, dia berusaha menyembunyikan wajah cemberutnya. Dia kesal.“Bisa, Nov?”“Eh? kenapa Pak?” ulang Novi, dia tampak bingung.“Kamu bisa belajar pada Lia, kan? harus bisa dan harus mau! orang kalau ingin maju itu nggak boleh malas belajar!” ucap Revan, mengingatkan.“Iya, Pak.” Novi mengangguk pelan.“Hari ini, mungkin, Saya nggak bisa full di kantor. Saya mau ijin setengah hari ya. Saya harap kalian tetap bekerja maksimal walaupun Saya tidak ada di kantor,” lanjut Revan sebelum menyelesaikan briefing paginya.“Lho kenapa, Pak?” tany
"Nomor 14, bener ini deh, kayaknya," Lia bergumam sambil memperhatikan rumah yang ada di depannya. Rumah kuno bergaya belanda, dengan teras yang luas."Ah, coba aku ketuk dulu," dengan keberanian penuh, Lia mendekati pintu dan mengetuknya beberapa kali.Namun tak ada jawaban dari dalam. "Jangan-jangan Pak Revan pingsan?" Lia semakin khawatir. Dia berusaha mendobrak pintu yang ternyata tidak terkunci hingga Lia hampir terjatuh ke dalam rumah."Pak?" Lia berusaha memanggil Revan, namun tak juga ada jawaban.Lia berjalan semakin masuk kedalam rumah besar itu. Rumah kuno seperti ini memang biasanya berplafon tinggi hingga ruangannya terasa begitu luas dan besar, tapi bagi Lia jadi terasa menyeramkan. "Pak?" Lia melihat sebuah ruangan dengan pintu terbuka, dan dia bisa melihat Revan sedang tertidur di atas ranjang besar. "Dia tidur atau pingsan?" gumam Lia, sambil berjalan mendekati Revan."Pak?" kali ini Lia memberanikan diri menepuk pundak Revan dengan pelan."Ehmm ….""Pak, ini Saya, P