Aku percaya Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, semua hal yang terjadi padaku karena Allah percaya aku mampu melewati.
Pemakaman paman dilaksanakan tiga hari lalu, polisi sedang mencari pelaku pembunuhan, meminta keterangan kami. Aku berkata akan mengeluarkan uang berapa pun asal pelaku ditemukan dan diadili."Kak Yua," panggil Arjun. Memegang pundakku.Bingkai foto paman aku letakkan kembali, satu-satunya yang tersisa setelah calon istri Paman membawa semuanya. Wanita itu sangat terpukul atas kematian paman, katanya dia ingin menghabiskan waktu bersama sisa kenangan paman.Kemarin aku hanya mengurung diri di kamar, belum bisa menerima kenyataan bahwa paman sudah meninggal. Masih seperti mimpi, tidak pernah terbayang Paman akan meninggalkan kami."Tante Fera dateng," kata Arjun.Aku bahkan melupakan hal yang sangat penting, yakni mencari cara supaya Tante Fera tidak menjadi wali kami. Tidak ada yang melindungi kami lagi, jadi sekarang kami harus berjuang sendiri."Apa sama semua anggota keluarganya?" tanyaku.Arjun mengangguk, wajahnya cemas. Kami tahu bagaimana sikap keluarga mereka. Kami bisa disiksa. Saat kecil Arjun pernah dikurung di dalam bak mandi sampai menggigil. Hal itu membuat Arjun sangat trauma.Anak-anak Tante Fera juga kejam, sama seperti ibunya. Aku tidak suka bermain dengan mereka sejak kecil. Hanya saja mereka pandai bersandiwara di depan orang tuaku."Kamu masuk kamar saja, biar Kakak yang menghadapi Tante.""Nggak, aku bakal ikut jagain Kakak."Aku menggeleng, tidak boleh. Anak pertama Tante Fera adalah petinju, sikapnya kasar dan semena-mena, aku takut Arjun terluka. Dulu saat orang tua kami masih hidup saja, anak Tante Fera itu berani memukuli Arjun, apalagi sekarang? Mereka pasti menginginkan kematian Arjun supaya bisa menguasai perusahaan."Kamu beresin pakaian, sampai Kakak bisa mengatasi semuanya kamu menginaplah di rumah temen. Jangan pulang.""Aku nggak punya temen, aku bakal jagain Kakak. Nggak mau pergi," katanya.Sekali lagi aku menggeleng dengan keras, tidak boleh Arjun di sini. Jika terjadi sesuatu padaku maka harapan hanya tinggal pada Arjun. Selama Arjun masih hidup, maka Tante Fera tidak akan bisa menguasai Candra Grup."Kamu percaya kan sama Kakak? Kamu harus hidup, kamu tidak boleh terluka. Harapan Candra Grup hanya padamu."Banyak yayasan yang berada di bawah naungan Candra Grup, dari mulai yayasan penghafal Al-Qur'an sampai panti jompo. Jika Candra Grup jatuh ke tangan orang yang salah maka tidak hanya kami yang akan mati, tetapi juga mereka."Untuk apa aku hidup kalau Kakak terluka?"Arjun terus bersikeras, tidak mau pergi. Aku meremas tangannya, memohon supaya remaja berusia 16 tahun itu mau melarikan diri."Kalau begitu pergilah cari Roan, minta dia menikahi ku sekarang juga supaya Tante Fera tidak bisa menjadi wali kita."Wajahnya masih cemas, tidak merespons permintaanku. Mungkin Arjun ragu aku terluka jika ditinggal sendiri.Sekarang harapan kita hanya ada di tangan Roan, tunanganku."Kakak janji akan baik-baik saja," ucapku lagi. Mencoba menaruh senyum di sudut bibir."Baiklah, tunggu aku."Arjun mengembuskan napas berat, sorot matanya sendu. Kami tinggal berdua. Harus saling menjaga dan melindungi.Dia keluar kamar lewat jendela. Mengenakan hoodie menutup kepala. Aku berjalan mendekat ke jendela menggunakan tongkat. Angin menerbangkan helain kain hijabku. Melihatnya sampai berhasil keluar dari gerbang. Doaku menyertaimu Arjun.Ketika pemakaman paman, tunangan ku Roan datang sebentar. Dia bahkan tidak menghiburku sama sekali, cuek padahal tahu aku sedang kesulitan karena Tante Fera. Aku sempat meminta dia menikahiku saat itu juga, supaya Tante Fera tidak bisa macam-macam pada kami. "Jangan bicarakan pernikahan sekarang, makam pamanmu saja belum kering.""Tapi kamu tahu sendiri gimana sikap Tante Fera, aku dan Arjun bisa celaka.""Kalau terjadi sesuatu padamu, kamu bisa minta tolong padaku." Roan pergi meninggalkan kami di pemakaman, tidak berkunjung ataupun menghubungi lagi sampai sekarang. Kadang aku berpikir, apakah karena keluargaku tidak berpengaruh seperti dulu, Roan jadi berubah? Setelah orang tuaku dan kakak laki-laki ku meninggal. Posisi Direktur utama sekarang dipegang orang lain, meskipun keluargaku memiliki saham mayoritas, namun tidak ada yang bisa memimpin. Aku belum lulus kuliah dan pincang, sementara Arjun adalah anak di bawah umur. "Yua!" Teriak Tante Fera. Aku berbalik, buru-buru mengge
Dari pagi sampai malam, Arjun menunggu Roan di lobby. Berharap Roan segera menemuinya, khawatir dengan keadaan Yua yang ditinggal di rumah. Kakinya terus bergerak, beberapa kali ia pukul paha yang dibalut celana levis itu. Rasa lapar tidak dihiraukan, terus menunggu sampai jam 10 malam. Padahal dulu mereka sangat akrab, melewati waktu bersama hingga tumbuh besar, Arjun bahkan bebas keluar masuk rumah dan perusahaan Roan, tetapi sekarang Roan seperti orang yang berbeda. Tak ada keakraban lagi. Roan menjauh darinya dan Yua tanpa alasan.Setelah menunggu lama akhirnya Roan keluar dan menemuinya, wajahnya menunjukkan ekspresi dingin seolah tidak suka Arjun datang. "Ada apa?" tanyanya. Tanpa basa-basi. Melepaskan kancing jas. "Kami dalam masalah, Tante Fera datang membawa keluarganya. Dia pasti akan menyiksa kami dan menguasai seluruh harta. Bisa jadi juga mereka akan membunuh kami setelah menjadi wali."Arjun mengabaikan sikap dingin Roan, berusaha menjelaskan semuanya supaya Roan mau
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara perkelahian, Arjun mengintip di salah satu gang. Ada lima orang bersenjata melawan satu orang. Matanya melotot ketika melihat wajah orang itu di bawah cahaya remang-remang lampu. "Jexeon, si singa hitam?" gumamnya. Melihat seksama. Beberapa waktu lalu, di sekolah, para anak nakal yang sering mengganggunya mengeluh tentang pria yang dijuluki sebagai singa hitam. Mantan gengster yang menjadi raja jalanan. Ditakutin semua preman. Tidak ada yang berani melawannya. Arjun tidak sengaja melihat foto Jexeon di layar ponsel temannya, dia sangat terkenal sampai remaja pendiam seperti Arjun saja tahu. Matanya sungguh takjub melihat gaya berkelahi Jexeon, dengan sangat cepat menghajar lima orang sekaligus. Lima orang yang kesakitan itu pun berjalan pincang mengaku kalah. Jexeon mengenakan hoodie hijamnya lagi dan berlalu dari sana. "Keren," ucapnya. Masih takjub. Arjun berjalan ke lokasi bekas perkelahian, tersisa kayu yang patah dan besi. Lampu re
Mobil sport berwarna hitam memecah jalanan ibu kota, menyalip kendaraan lain dan menunjukkan kegagahannya sebagai penguasa jalan. Melewati bundaran HI, mobil itu semakin kencang menuju Jakarta pusat. Pemiliknya melirik jam, pukul setengah dua belas malam. Jalanan cukup lenggang dengan lampu dari gedung pencakar langit yang menyala terang. Mobil itu berbelok memasuki apartemen, turun ke parkiran bawah tanah. Jexeon keluar dengan membawa jaketnya, menutup pintu mobil dengan keras. Langsung berjalan ke arah lift. Penthouse yang dia beli setahun lalu kini dihuni dua orang, ia benci hal itu. Merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Jika bukan karena pekerjaan yang tidak bisa diatasi sendiri, dia tidak akan mau tinggal bersama bocah berisik yang masih SMA. Apalagi bocah itu sering sembarangan menyentuh barang-barangnya, dari mulai baju hingga alat cukur. Sangat menggangu. "Bang, ke mana dua hari nggak pulang?" pertanyaan itu langsung terdengar ketika Jexeon membuka pintu. Matanya m
Jexeon memilih mengalah, mundur dari Siluet dan bersumpah tidak akan bergabung dengan Kelompok manapun. Dia akan mundur dari dunia hitam dan hidup seperti bayangan. Sumpah setianya hanya untuk Siluet untuk kapanpun. Putra Tuan besar senang mendengar hal itu, Jexeon tidak mau bertarung dengannya untuk memperebutkan posisi pengganti Tuan besar. Dia pun percaya dengan sumpah setia Jexeon. Membiarkan pria bertato singa itu pergi tanpa membawa apapun. Sebagai saudara angkat, Jexeon diizinkan meminta bantuan jika ada hal mendesak. "Sudah lama, Tuan." Jexeon memandang foto wajah pria tua yang merangkul bahunya. Sebagian rambut sudah memutih tapi masih kekar dan terlihat tegas. "Tiga tahun, aku hidup dalam bayangan." Jexeon mendesah berat. Sorot mata Arjun tadi mengingatkan dia pada dirinya dahulu, mungkin Arjun seusianya ketika meninggalkan rumah. Saat Ayah kandungnya melempar barang-barang keluar rumah, berkata bahwa dia anak haram yang tidak diinginkan. Anak berusia 15 tahun melangkah
Aku selalu berpikir akan menghabiskan sisa hidup bersama Roan, menyayangi dia sepenuh hati, menyerahkan segala yang aku miliki. Cincin di jari manis sudah terpaut selama 3 tahun, janji akan menikahi setahun kemudian. Namun, setahun kemudian orang tuaku meninggal. Roan ingin pernikahan ditunda sampai aku wisuda. Meskipun berat, aku menerima. Menjalani kehidupan dengan kaki pincang, diejek orang hingga merasa tidak pantas menjadi pendamping Roan. Namun, ia selalu berkata bahwa mencintaiku apa adanya. Sekarang, penolakan yang disampaikan lewat Arjun membuatku berpikir, bahwa selama ini telah dibohongi, kalimat cintanya tidak berarti, kebersamaan yang dilalui bagaikan ilusi. Hubungan selama 3 tahun, hanya sebuah mimpi yang tidak berarti."Jagain Yua, awas kalau kamu sakiti dia," ancam Kakakku. Dia membawa kepala Roan diapit ketiak. Roan memukul tangan kakak berulang kali hingga terlepas. Saat itu kami baru bertunangan, dibandingkan para pria yang mengajak pacaran. Aku lebih tertarik de
Pikiran Arjun sama denganku, dunia ini tidak ramah. Cepat atau lambat kami akan mati, ntah itu diracun oleh Tante Fera atau kelaparan. Aku pernah menonton berita di TV, bibi membunuh ponakannya sendiri karena dendam. Mengubur ponakan hidup-hidup.Aku merasa hidupku akan berakhir, tetapi tidak mau menyerah. Inilah sebabnya aku menyuruh Arjun pergi dari rumah, biar aku sendiri yang melawan mereka. Rupaya Arjun lebih memilih mati bersamaku dari pada hidup sendiri. Usianya masih 16 tahun, november nanti baru 17 tahun. Dia sulit bangkit dari trauma setelah kematian keluarga kami. Jika aku mati, Arjun tidak akan bisa bertahan. Meskipun raganya hidup, tetapi hatinya akan mati. Dia tidak mau hal itu."Kalau kamu sudah baikan, ayo cari jalan buat kabur lagi. Jangan mati di sini, malu kalau kita bertemu orang tua kita dengan keadaan menyedihkan.""Apa mungkin bisa?" Aku diam, tidak tahu harus menjawab apa. Gudang ini sangat pengap. Tidak tahu caranya keluar. Dua hari lagi pengacara datang, m
Ketika dulu Mamanya memaksa menikahi Yua, Roan sempat menolak. Berteman dengan Farel sebagai penerus Candra Grup sudah cukup. Tidak perlu sampai menikahi anak kedua Candra Grup. Bagi Roan, pernikahan bukan hanya sebatas tentang relasi dan koneksi, tetapi harus mencintai seuumur hidup. Mamanya membujuk dengan sekuat tenaga supaya ia mau mengenal Yua, katanya gadis itu haus akan cinta dan naif, banyak manfaat menikah dengan Yua karena keluarganya terpandang dan bisa menguatkan posisi Roan sebagai Direktur utama Nathanael Grup. "Dia cuma gadis biasa, tidak menarik." Kesan pertama yang Roan lihat. Tetap tidak mau berhubungan dengan Yua. Pertemanan dengan Farel semakin akrab, dia jadi sering main ke rumah Farel dan bertemu Yua. Semakin lama Roan tahu bahwa Yua spesial. Selalu menundukkan pandangan dan taat dalam beribadah. "Kenapa nggak ke club seperti teman-temanmu, sekarang kamu 'kan sudah kuliah?" tanya Roan suatu waktu. Yua masih menunduk, dia membawa Al-Qur'an dalam dekapan. Hija