Share

2. Semua Orang Pergi

Arjun membalik sendok, pertanda bahwa dia sudah selesai makan.

"Geli, jangan ngomong kayak gitu," ungkap Arjun sembari menunjukkan ekspresi geli, membuat kami tertawa.

Arjun jarang bicara, tetapi sekali bicara bisa membuat suasana cair. Perlahan kami bangkit dari rasa terpuruk dan bisa tertawa lagi seperti sekarang.

Ayah, Bunda dan Kakak. Melupakan mereka adalah hal yang tidak mungkin, setiap malam aku masih memimpikan darah mereka yang memenuhi mobil. Teriakan Arjun dari jalan terdengar jelas. Senyuman terakhir kakak ketika memelukku supaya aku selamat, sangat jelas di ingatan.

Insiden itu bagai luka yang menghancurkan segalanya, membuatku sulit melangkah untuk bahagia apalagi tertawa. Janji Kakak untuk mendampingi ketika aku menikah, semuanya tinggal kenangan.

Kata Ayah, aku adalah putri kebanggaan keluarga. Aku mau berhijab padahal putri konglomerat lain tidak, selalu tersenyum dan rendah hati.

Bunda bilang, hidup adalah anugerah. Bisa bernapas dengan normal harus disyukuri, bisa melihat, mendengar, semuanya harus disyukuri. Tidak boleh mengeluh kepada Allah, karena Allah tahu yang terbaik. Aku pun bersyukur karena hanya kakiku yang pincang, itu pun hanya sebelah kiri setelah sebelah kanan berhasil diobati. Semua organku yang lain masih normal. Aku bersyukur karena masih hidup supaya bisa menjaga Arjun.

"Kok sekarang Roan tidak pernah datang?" tanya Paman. Dia sudah selesai makan.

"Dia sibuk Paman, sekarang kan Roan sudah jadi Direktur," jawabku. Hanya menebak.

Roan benar-benar berubah sejak kecelakaan, tidak lagi memperhatikan diriku. Seperti menghindar. Sempat aku bertanya apakah dia malu memiliki calon istri pincang?

Katanya tidak, dia hanya sibuk karena baru diangkat menjadi direktur. Meskipun begitu aku selalu mendengar kabar bahwa dia dekat dengan wanita lain. Katanya mereka sering menghabiskan waktu bersama. Sekali lagi Roan mengelak. 

"Kalau kamu ingin memutuskan pertunangan kita, aku ikhlas."

Itu adalah ucapanku setahun lalu, wajahnya tetap dingin menatapku. Lalu mengembuskan napas berat.

"Aku harus gimana supaya kamu percaya?"

"Nikahi aku," jawabku pasti.

Pertunangan kami sudah lama dilaksanakan, sejak orang tuaku masih hidup. Roan dan keluarganya yang mendesak supaya kami bertunangan karena takut aku diambil orang.

Jika aku memiliki suami maka tidak lagi membutuhkan Paman menjadi wali, paman bisa bebas dan tidak terikat. Kami bisa dijaga oleh Roan dan punya keluarga kembali. Juga perusahaan bisa diurus Roan, meskipun hampir bangkrut tapi aku percaya kalau di tangan Roan perusahaan keluargaku bisa bangkit lagi.

"Aku belum bisa menikahimu, tunggu sebentar lagi."

Kalimat Roan membuatku terus menunggu. Berharap bahwa hari itu segera datang.

Malam itu Paman bercerita banyak hal di meja makan, dari perusahaan sampai calon istri. Kami menghabiskan waktu bersama hingga jam sepuluh malam.

"Paman sangat menyayangi kalian berdua," ucap Paman.

Aku tahu paman menyayangi kami, tetapi malam itu dia tampak berbeda. Seperti punya firasat akan berpisah.

Kematian sudah ditakdirkan oleh Allah, aku tahu benar hal itu. Rasa kehilangan dua tahun lalu masih menjadi luka bagi kami. Sekarang, paman menambah luka itu.

Keesokan harinya paman ditemukan meninggal, tak jauh dari gedung perusahaan, dianiaya orang tak dikenal. Tubuhnya sudah terbujur kaku ketika aku sampai di lokasi. Ada garis polisi yang menghalangi.

Badanku kaku tidak bisa bergerak, semua terasa seperti mimpi. Hanya saja ini terlalu nyata untuk disebut sebagai mimpi belaka.

Aku hanya bisa melihat paman yang tergeletak dengan tubuh membiru di tanah dari kejauhan, janji paman tadi malam adalah dusta. Katanya akan menjadi waliku saat menikah nanti, katanya akan melihat Arjun memimpin perusahaan, katanya akan menjaga kami terus.

Kenapa sekarang pergi? Kenapa meninggalkan kami? Aku benci dengan pembohong, semua orang berbohong padaku. Mereka pergi tanpa membawaku, mengingkari janji dan berdusta.

Aku jatuh ke tanah, bunyi tongkat kruk menghantam batu. Air mataku mengalir deras, tidak peduli lututku yang nyeri. Rasa sesak di dada melebihi segalanya. Tidak peduli juga terhadap orang-orang yang berkerumun di sekitar.

Tiba-tiba punggungku disentuh seseorang, wanita paruh baya menunduk. Tante Fera.

"Yua, kamu tidak perlu khawatir. Tante akan menjaga kamu dan Arjun."

Beliau adalah orang jahat, aku tahu betul hal itu. Dari cerita orang sekitar, dulu tunangan Bunda direbut olehnya, apapun milik Bunda pasti berusaha direbut. Pernah menggoda Ayah juga padahal dia sendiri sudah punya anak dan suami.

Tante selalu iri dengki terhadap keluarga kami. Saat aku kecil, dia sering memukul. Pasti dia sangat bahagia karena sekarang tidak ada lagi yang menghalanginya menguasai harta kami dan memiliki semua milik bunda.

Aku, Yuaira Arshavin Candra. Berjanji akan melindungi Arjun dan perusahaan. Juga akan berusaha menghentikan Tante Fera menjadi wali kami.

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Kayaknya pamannya di bunuh dan kecelakaan orang tuanya juga sudah di rencanakan
goodnovel comment avatar
h-d
sudah 21 th, nggak butuh wali lah... tolak aja.
goodnovel comment avatar
siti yulianti
paman wali satu"nya pun pergi ada yg membunuh .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status