"Menikahlah denganku," ucap pria yang ada di hadapanku.
Dia, pria yang baru aku kenal kemarin. Menghalangi hujan dengan punggungnya, membuat jaket hitam itu basah kuyup. Kepalanya menunduk, menatap mataku yang mendongak. Menyisakan jarak beberapa centi.Kaki kananku mundur, diikuti tongkat kruk yang menopang kaki kiri. Punggungku jatuh ke tembok, tanpa berkedip sama sekali. Masih mencari keseriusan dari ucapannya."Yua, jadilah istriku."Hujan masih deras membasahi punggungnya, atap di atas kami tidak lebar, sulit berteduh di sini dengan keadaan yang tidak terduga. Tatapan matanya menunggu jawaban. Sementara bibirku terasa kelu untuk menjawab lamaran yang begitu tiba-tiba............Aku adalah anak kedua dari keluarga konglomerat yang ada di Indonesia, pemilik perusahaan Candra Grup. Mengelola sebagian besar batu bara dan pertambangan.Aku punya kakak laki-laki yang sangat menyayangi dan menjagaku, orang tua yang sangat memanjakan, dan adik laki-laki yang manis. Juga memiliki tunangan yang mencintaiku dengan tulus.Sempurna bukan? Banyak orang yang iri dengan kehidupanku. Semua keinginan terwujud dengan mudah. Aku seperti tuan putri dalam dunia dongeng. Cantik, baik dan disayangi banyak orang. Teman-teman menjulukiku sebagai malaikat tak bersayap. Selalu mengenakan hijab berwarna putih nan elegan. Dunia seakan berputar hanya untukku.Namun, itu dulu, dua tahun lalu. Sebelum kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua serta kakak, juga mengambil kaki kiriku untuk digantikan tongkat kruk.Tidak hanya cita-cita yang harus berakhir mengenaskan setelah menjadi yatim piatu. Harta warisan kami menjadi pertikaian antar keluarga, saudara Ayah dan Bunda memperebutkan posisi sebagai waliku dan Arjun. Mereka ingin menguasai harta kami.Semua berdampak ke perusahaan, Candra Grup mengalami krisis luar biasa dan hampir bangkrut. Hingga pamanku mengambil alih, orang yang aku pilih menjadi wali kami. Menggantikan posisi orang tua untuk menjaga dan melindungi.Sekarang usiaku 21 tahun, masih mengurus skripsi. Berharap setelah wisuda bisa membantu paman. Adikku tahun ini berusia 17 tahun, aku juga harus menjaga dia.Sementara orang yang katanya akan menikahiku, Roan Nathanael, pria yang aku sayangi selama ini. Sejak kecelakaan, dia menghindar, enggan berbicara padaku. Dia adalah teman almarhum Kakak, aku mengenalnya dari Kakak. Roan adalah anak pemilik perusahaan Nathanael yang bergerak di bidang teknologi."Paman akan menjaga kalian seuumur hidup," ucap Paman. Mengelus pucuk kepalaku dengan lembut."Paman kan bentar lagi nikah. Kalau Arjun sudah punya KTP, kami bisa saling menjaga dan Paman fokus ke keluarga," ucapku.Kami di ruang makan, Arjun tampak menikmati hidangan yang tersaji. Dia sudah jauh lebih baik dari dua tahun lalu, di mana harus selalu minum obat penenang.Arjun menganggap bahwa kecelakaan yang menewaskan keluarga kami adalah salahnya, tepat saat akan menghadiri acara kelulusan SMP.Butuh waktu cukup lama sampai Arjun bisa kembali normal, sebab aku, satu-satunya anggota keluarganya masih hidup. Berulang kali aku mengatakan bahwa dia harus tumbuh kuat supaya bisa menjaga kakaknya yang pincang ini."Kalian kan keluarga Paman," ucap Paman.Paman sudah berusia 33 tahun, sebentar lagi menikah dengan wanita pujaannya dengan jarak usia yang cukup jauh. Selama ini dia menunggu wanita itu meraih cita-cita. Sebulan lagi, akhirnya penantian paman akan sampai finis."Paman udah jagain kami, sekarang waktunya Paman mikirin kebahagiaan Paman sendiri."Aku mengambil air minum, menutup makan malam dengan membalik sendok."Paman bakal jagain kalian terus, nemenin Arjun sampai pimpin perusahaan, lalu jadi wali nikah Yua. Walaupun nanti Paman udah nikah, kalian tetap jadi prioritas Paman karena cinta Paman ke kalian seluas samudera."Dibanding keluarga bibi, adik tirinya Bunda. Paman adalah orang yang baik. Sejak dulu selalu sayang dengan kami, kata Ayah, Paman adalah orang yang tulus. Dan memang benar, kami memilih Paman menjadi wali karena beliau orang yang bisa dipercaya. Sayangnya, itu tidak berlangsung lama. Karena badai yang sesungguhnya datang setelah ini.bersambungMakasih banyak udah mampir ke karya baruku. Jangan lupa kasih ulasan yaArjun membalik sendok, pertanda bahwa dia sudah selesai makan. "Geli, jangan ngomong kayak gitu," ungkap Arjun sembari menunjukkan ekspresi geli, membuat kami tertawa. Arjun jarang bicara, tetapi sekali bicara bisa membuat suasana cair. Perlahan kami bangkit dari rasa terpuruk dan bisa tertawa lagi seperti sekarang. Ayah, Bunda dan Kakak. Melupakan mereka adalah hal yang tidak mungkin, setiap malam aku masih memimpikan darah mereka yang memenuhi mobil. Teriakan Arjun dari jalan terdengar jelas. Senyuman terakhir kakak ketika memelukku supaya aku selamat, sangat jelas di ingatan. Insiden itu bagai luka yang menghancurkan segalanya, membuatku sulit melangkah untuk bahagia apalagi tertawa. Janji Kakak untuk mendampingi ketika aku menikah, semuanya tinggal kenangan. Kata Ayah, aku adalah putri kebanggaan keluarga. Aku mau berhijab padahal putri konglomerat lain tidak, selalu tersenyum dan rendah hati. Bunda bilang, hidup adalah anugerah. Bisa bernapas dengan normal harus disyukuri,
Aku percaya Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi batas kemampuan hambanya, semua hal yang terjadi padaku karena Allah percaya aku mampu melewati. Pemakaman paman dilaksanakan tiga hari lalu, polisi sedang mencari pelaku pembunuhan, meminta keterangan kami. Aku berkata akan mengeluarkan uang berapa pun asal pelaku ditemukan dan diadili. "Kak Yua," panggil Arjun. Memegang pundakku. Bingkai foto paman aku letakkan kembali, satu-satunya yang tersisa setelah calon istri Paman membawa semuanya. Wanita itu sangat terpukul atas kematian paman, katanya dia ingin menghabiskan waktu bersama sisa kenangan paman. Kemarin aku hanya mengurung diri di kamar, belum bisa menerima kenyataan bahwa paman sudah meninggal. Masih seperti mimpi, tidak pernah terbayang Paman akan meninggalkan kami. "Tante Fera dateng," kata Arjun.Aku bahkan melupakan hal yang sangat penting, yakni mencari cara supaya Tante Fera tidak menjadi wali kami. Tidak ada yang melindungi kami lagi, jadi sekarang kami harus
Ketika pemakaman paman, tunangan ku Roan datang sebentar. Dia bahkan tidak menghiburku sama sekali, cuek padahal tahu aku sedang kesulitan karena Tante Fera. Aku sempat meminta dia menikahiku saat itu juga, supaya Tante Fera tidak bisa macam-macam pada kami. "Jangan bicarakan pernikahan sekarang, makam pamanmu saja belum kering.""Tapi kamu tahu sendiri gimana sikap Tante Fera, aku dan Arjun bisa celaka.""Kalau terjadi sesuatu padamu, kamu bisa minta tolong padaku." Roan pergi meninggalkan kami di pemakaman, tidak berkunjung ataupun menghubungi lagi sampai sekarang. Kadang aku berpikir, apakah karena keluargaku tidak berpengaruh seperti dulu, Roan jadi berubah? Setelah orang tuaku dan kakak laki-laki ku meninggal. Posisi Direktur utama sekarang dipegang orang lain, meskipun keluargaku memiliki saham mayoritas, namun tidak ada yang bisa memimpin. Aku belum lulus kuliah dan pincang, sementara Arjun adalah anak di bawah umur. "Yua!" Teriak Tante Fera. Aku berbalik, buru-buru mengge
Dari pagi sampai malam, Arjun menunggu Roan di lobby. Berharap Roan segera menemuinya, khawatir dengan keadaan Yua yang ditinggal di rumah. Kakinya terus bergerak, beberapa kali ia pukul paha yang dibalut celana levis itu. Rasa lapar tidak dihiraukan, terus menunggu sampai jam 10 malam. Padahal dulu mereka sangat akrab, melewati waktu bersama hingga tumbuh besar, Arjun bahkan bebas keluar masuk rumah dan perusahaan Roan, tetapi sekarang Roan seperti orang yang berbeda. Tak ada keakraban lagi. Roan menjauh darinya dan Yua tanpa alasan.Setelah menunggu lama akhirnya Roan keluar dan menemuinya, wajahnya menunjukkan ekspresi dingin seolah tidak suka Arjun datang. "Ada apa?" tanyanya. Tanpa basa-basi. Melepaskan kancing jas. "Kami dalam masalah, Tante Fera datang membawa keluarganya. Dia pasti akan menyiksa kami dan menguasai seluruh harta. Bisa jadi juga mereka akan membunuh kami setelah menjadi wali."Arjun mengabaikan sikap dingin Roan, berusaha menjelaskan semuanya supaya Roan mau
Langkahnya terhenti ketika mendengar suara perkelahian, Arjun mengintip di salah satu gang. Ada lima orang bersenjata melawan satu orang. Matanya melotot ketika melihat wajah orang itu di bawah cahaya remang-remang lampu. "Jexeon, si singa hitam?" gumamnya. Melihat seksama. Beberapa waktu lalu, di sekolah, para anak nakal yang sering mengganggunya mengeluh tentang pria yang dijuluki sebagai singa hitam. Mantan gengster yang menjadi raja jalanan. Ditakutin semua preman. Tidak ada yang berani melawannya. Arjun tidak sengaja melihat foto Jexeon di layar ponsel temannya, dia sangat terkenal sampai remaja pendiam seperti Arjun saja tahu. Matanya sungguh takjub melihat gaya berkelahi Jexeon, dengan sangat cepat menghajar lima orang sekaligus. Lima orang yang kesakitan itu pun berjalan pincang mengaku kalah. Jexeon mengenakan hoodie hijamnya lagi dan berlalu dari sana. "Keren," ucapnya. Masih takjub. Arjun berjalan ke lokasi bekas perkelahian, tersisa kayu yang patah dan besi. Lampu re
Mobil sport berwarna hitam memecah jalanan ibu kota, menyalip kendaraan lain dan menunjukkan kegagahannya sebagai penguasa jalan. Melewati bundaran HI, mobil itu semakin kencang menuju Jakarta pusat. Pemiliknya melirik jam, pukul setengah dua belas malam. Jalanan cukup lenggang dengan lampu dari gedung pencakar langit yang menyala terang. Mobil itu berbelok memasuki apartemen, turun ke parkiran bawah tanah. Jexeon keluar dengan membawa jaketnya, menutup pintu mobil dengan keras. Langsung berjalan ke arah lift. Penthouse yang dia beli setahun lalu kini dihuni dua orang, ia benci hal itu. Merasa terganggu dengan kehadiran orang lain. Jika bukan karena pekerjaan yang tidak bisa diatasi sendiri, dia tidak akan mau tinggal bersama bocah berisik yang masih SMA. Apalagi bocah itu sering sembarangan menyentuh barang-barangnya, dari mulai baju hingga alat cukur. Sangat menggangu. "Bang, ke mana dua hari nggak pulang?" pertanyaan itu langsung terdengar ketika Jexeon membuka pintu. Matanya m
Jexeon memilih mengalah, mundur dari Siluet dan bersumpah tidak akan bergabung dengan Kelompok manapun. Dia akan mundur dari dunia hitam dan hidup seperti bayangan. Sumpah setianya hanya untuk Siluet untuk kapanpun. Putra Tuan besar senang mendengar hal itu, Jexeon tidak mau bertarung dengannya untuk memperebutkan posisi pengganti Tuan besar. Dia pun percaya dengan sumpah setia Jexeon. Membiarkan pria bertato singa itu pergi tanpa membawa apapun. Sebagai saudara angkat, Jexeon diizinkan meminta bantuan jika ada hal mendesak. "Sudah lama, Tuan." Jexeon memandang foto wajah pria tua yang merangkul bahunya. Sebagian rambut sudah memutih tapi masih kekar dan terlihat tegas. "Tiga tahun, aku hidup dalam bayangan." Jexeon mendesah berat. Sorot mata Arjun tadi mengingatkan dia pada dirinya dahulu, mungkin Arjun seusianya ketika meninggalkan rumah. Saat Ayah kandungnya melempar barang-barang keluar rumah, berkata bahwa dia anak haram yang tidak diinginkan. Anak berusia 15 tahun melangkah
Aku selalu berpikir akan menghabiskan sisa hidup bersama Roan, menyayangi dia sepenuh hati, menyerahkan segala yang aku miliki. Cincin di jari manis sudah terpaut selama 3 tahun, janji akan menikahi setahun kemudian. Namun, setahun kemudian orang tuaku meninggal. Roan ingin pernikahan ditunda sampai aku wisuda. Meskipun berat, aku menerima. Menjalani kehidupan dengan kaki pincang, diejek orang hingga merasa tidak pantas menjadi pendamping Roan. Namun, ia selalu berkata bahwa mencintaiku apa adanya. Sekarang, penolakan yang disampaikan lewat Arjun membuatku berpikir, bahwa selama ini telah dibohongi, kalimat cintanya tidak berarti, kebersamaan yang dilalui bagaikan ilusi. Hubungan selama 3 tahun, hanya sebuah mimpi yang tidak berarti."Jagain Yua, awas kalau kamu sakiti dia," ancam Kakakku. Dia membawa kepala Roan diapit ketiak. Roan memukul tangan kakak berulang kali hingga terlepas. Saat itu kami baru bertunangan, dibandingkan para pria yang mengajak pacaran. Aku lebih tertarik de