Mohon dukung karya ini lewat vote ya manteman
Jexeon mendekat, berdiri tepat di depan kami. Mengenakan setelan jas hitam dan dasi kupu-kupu. Wajahnya sangat tampan dan tanpa ekspresi. Memandang ku dan Roan bergantian. "Aku terlambat," ucapnya. "Mas." Aku mencoba meraihnya. Lebih baik digendong suami sendiri dari pada ipar. Namun, Roan melewatinya, tidak membiarkanku meraih Jexeon ataupun berbicara padanya. Jexeon melirikku yang melewatinya, beberapa saat kemudian dia menarik tangan Roan. Membuat Roan berbalik. "Biar aku yang menggendong istriku," ucap Jexeon. Aku merasakan aura panas berada di antara dua pria, tenggorokanku seakan tercekat dengan ketegangan ini. Aku mencoba meraih Jexeon, ingin digendong dia saja. Bukan karena Jexeon lebih baik, hanya saja dia lebih halal walaupun menakutkan. Bagaimanapun juga aku pemilih produk halal."Tidak perlu, biar aku yang mengantar Yua pulang." Roan mundur, tidak membiarkanku meraih Jexeon. Jexeon maju, tidak peduli dengan Roan, dia hendak membawaku ke dalam dekapannya. Kenapa tubu
Aku merinding, dua orang berbadan besar di sampingku semakin mendekat. Kedua kakiku sedang sakit, jangankan lari, berjalan saja tidak bisa. Mataku memelas kepada Jexeon, meminta supaya membawaku pergi dari sini. "Kau cantik sekali, enak buat dicium." Jexeon diam saja, malah menelengkan kepalanya. Bibirnya sedikit terangkat, menunggu reaksiku. Menggoda seakan tidak akan menolongku dari situasi ini. Mungkinkah dia berniat meninggalkanku? Laknat sekali suamiku ini. Bibirku manyun, kepalaku menggeleng, tidak mau ditinggal. "Tolong," ucapku lirih. Jexeon malah menyinggungkan senyum. Semakin mengejek. Dia jahat sekali, seharusnya sebagai suami melindungiku dong. Istrinya sedang digoda di depan mata, dia malah diam saja dan menonton. Dasar berperikesuamian sekali."Cantik, sini cium." Aku menoleh, melihat bibir cumi yang begitu dekat denganku. "Jangan mimpi! Pergi sana." "Galak banget, sama kita jangan galak-galak, dong." "Maaf Tuan-tuan, aku sedang makan dengan suami. Bisakah kalia
Pemilik warung itu terlihat gemetar ketika menerimanya, tetapi wajahnya lega karena semua kerugian diganti. Jexeon turun dari meja, mendekat ke arahku. Mengulurkan tangan. Aku menerimanya, dia menggendongku. Berbeda dari Roan atau cowok-cowok romantis di TV. Jexeon selalu menggendong depan selayaknya aku anak balita. Dia sangat tinggi, badannya besar. Sepertinya dia sungguh berasal dari bibit tiang listrik. "Tunggu pembalasan kami!"Orang-orang itu keluar dari warung dengan langkah tertatih mengangkat temannya yang terluka. Aku melingkarkan tanganku di leher Jexeon. Memeluknya. Pria ini melindungi ku, menjagaku dan bisa dijadikan sandaran. Aku merasa sangat aman saat bersamanya. Jexeon berjalan keluar dari warung, menuju mobil. Aku merasakan ada yang basah di tanganku, berasal dari punggungnya. Ketika kulihat, tanganku ada darahnya. Aku segera mendorong tubuhku ke belakang. Menghadap Jexeon. "Mas, darah."Aku menunjukkan darah di tanganku, aku kembali memeluknya, melihat punggun
Tanpa aba-aba Jexeon membawaku ke dalam gendongannya. Membuatku terpaksa memeluknya erat supaya tidak jatuh. Kedua tanganku melingkar di lehernya sembari membawa tongkat dan tas. Dia ini kenapa sih? Aku kan sudah bisa jalan sendiri. Aku menoleh ke samping, tepat di samping wajahnya. Telinga dan lehernya merah. Apakah tadi bagian situ kena pukul? Kami masuk ke dalam rumah, disambut pelayan yang heran melihatku digendong. "Bi, tolong ambilkan kotak P3K. Bawa ke kamarku, ya?""Baik, Non." Dia mendudukkanku di ranjang, tak lama kemudian Bi Dapur membawakan kotak P3K dan buru-buru keluar kamar. "Lepas, Mas."Dia meninggikan alisnya, tidak mengerti perintahku. "Bajunya lepas, biar aku obati." Setelah aku mengatakannya dengan jelas dia baru mengerti dan melepas kemejanya. Terlihat otot kekar nan berkeringat itu. Ada banyak luka sayatan di sana, juga tato singa di dada. Aku menarik tangannya supaya duduk di ranjang bersamaku. Dia membelakangiku, memberikan punggung yang terdapat luka s
Aroma Yua membuat Jexeon tenang dan bisa memejamkan mata, kehadiran gadis itu perlahan mencuri perhatiannya. Tingkahnya yang malu-malu tapi kepo terasa menggemaskan. Jexeon terbangun ketika tidak mendapati Yua di kamar, ia mencari ke kamar mandi. Tidak ada juga. Jexeon memakai kaos dan turun ke lantai bawah. Terlihat di pintu, Yua sedang mengantar Roan pergi. Ada yang mengusik hatinya, sesuatu yang tidak disukai. Jexeon tidak tahu apa itu. Dia turun ke bawah, menangkap basah Yua yang sedang melihat mobil Roan meninggalkan rumah. "Astaghfirullah, Mas ngagetin." "Ngapain Roan ke sini?" tanya Jexeon, nadanya biasa saja. Tapi tidak bisa menyembunyikan kekepoan. "Cuma ngasih obat, kok." Yua menunjukkan salep di tangan, bibirnya tersenyum cerah. Seperti tidak merasa bersalah. Terkadang Yua seperti anak kecil yang polos, terkadang dia juga seperti gadis rapuh, tapi juga bisa marah.Anehnya Yua tidak punya rasa takut, selalu mendekatinya padahal sudah diperingatkan. Normalnya, Yua harus
Pada akhirnya Jexeon tidak tahan, ia tidak bisa membiarkan Yua mengambil alih pikirannya. Jexeon mengambil payung, dia mencari Mushalla Darul Iman. Pernah tidak sengaja melewati, tidak jauh dari sini. Yua saja jalan kaki. Berarti dekat. Terlihat dari kejauhan beberapa orang berada di mushola Darul Iman. Ada Yua yang menjaga jarak dengan pria. Gadis itu hanya menunduk. Menunggu hujan reda."Ukhti Yua, mau saya antar pulang?" tanya seorang pemuda. Langkah Jexeon terhenti, padahal sudah berada di samping mushalla. Ingin mendengar jawaban Yua terhadap ajakan pria lain.Gadis itu menunduk sembari menggeleng ringan. "Tidak perlu Ustad, saya menunggu hujan reda saja.""Kalau sampai malam tidak reda bagaimana?" Ustad itu terlihat khawatir. "Tidak apa-apa, saya bisa sekalian salat magrib di sini. Silakan Ustad pulang duluan." Yua mempersilakan, tidak sekalipun membalas pandangannya. Terlihat sangat menjaga jarak.Ustad itu terlihat tampan, berpendidikan dan sopan. Berbanding terbalik darin
Yua mengangguk, bibirnya terus tersenyum. Sangat bersemangat. Mereka mulai berjalan tanpa menoleh lagi ke rombongan jamaah yang heran melihat hubungan Yua dan suaminya."Tadi kajiannya seru banget, Mas. Temanya rumah tangga sebagai ladang ibadah. Aku seneng banget karena bisa praktek langsung. Aku kan sekarang udah nikah. Jadi bisa praktek sama Mas Iyon." Yua berkata seolah mereka suami istri normal. Memberikan cinta dan kasih sayang dalam rumah tangga. Hal yang sejak awal Jexeon peringatkan, ia tidak bisa seperti itu. Pernikahan mereka hanya sebatas saling menguntungkan. Tidak akan ada cinta. "Sudah berkali-kali kubilang, jangan minta cinta. Sepertinya kau sangat mengabaikan peringatanku."Yua mendongak ke atas, masih dengan jalan tertatih di antara genangan air di jalan. Lucin dan tongkatnya harus berhati-hati. "Aku nggak minta cinta. Tapi kalau ngasih cinta boleh, 'kan?" tanya Yua sembari tersenyum. Sejenak jantung Jexeon seakan berhenti berdetak, seperkian detik dia kehilangan
Roan menutup kepalanya dengan bantal, tidak mau mendengar ocehan Mama yang menyuruhnya berangkat kerja. Sudah dua hari dia tidak mau ke kantor. Merasa bahwa sukses pun percuma, Yua sudah jadi milik pria lain. Semua ini gara-gara Mama, andai dia menikahi Yua lebih cepat. Pasti tidak akan ditikung kakak tirinya. Masih ingat betul kejadian beberapa hari lalu di pesta, Yua lebih memilih digendong Jexeon. Malam itu dia dengar bahwa Yua akan datang sendiri. Roan menjadi sangat bersemangat bertemu dengan Yua. Hal yang tidak dia sangka adalah ternyata selama ini Yua di-bully. "Aku jarang ke pesta, tolong kamu jagain Yua di sana." Dua tahun lalu Roan mempercayakan Yua kepada Tasya, teman sekaligus rekan kerja. Mereka bersahabat cukup lama. "Kamu tenang aja," jawab Tasya waktu itu. Setelahnya, Roan menjadi sangat sibuk. Ketika Tasya bercerita tentang Yua. Ia abai. Tidak menanggapi seolah tidak peduli. "Apa Yua cerita sama kamu soal pesta?" tanya Tasya suatu waktu. Tepatnya kapan Roan lu