Share

Bab 6. Keluarga Winata

“Aku tidak peduli, adik. Aku bukanlah orang bodoh dan yang memperdulikan hal itu.”

“Aku hanya ingin olahraga, nona. Jadi, jangan mengganggu aktivitasku.” Kata Theo sambil berbalik badan dan kembali berlari.

Lyra Winata tidak bisa berkutik, dia hanya bisa menghela napas terpaksa.

“Tapi setidaknya beritahu aku siapa namamu!” Teriak Lyra Winata.

“Theo, Theo Javier.” Teriak Theo kembali.

Lyra kembali senang, setidaknya jika dia sudah mengetahui namanya maka dia bisa mencarinya kapanpun dia mau. Lagipula dia masih berhutang budi kepada Theo karena sudah menolongnya. Selain itu, dia merasa bahwa Theo masih lah seorang pelajar yang membuat Lyra semakin tertarik.

Lyra lantas pergi dari tempatnya. Berjalan ke arah sebuah mobil Audi a8 berwarna biru yang terlihat mencolok di pinggir jalan. Sebenarnya dia ingin mengikuti kemana perginya Theo, tapi dia tidak memilik banyak di pagi hari ini.

Theo berlari santai sambil melihat keadaan sekitarnya, meski dia lelah, tapi jiwanya seolah masih bisa menahannya. Apalagi setelah dia bertarung tadi, energinya mungkin berkurang drastis yang membuat dia tidak bisa lari kencang seperti tadi.

Selain itu dia berpikir bahwa kemampuan bela dirinya sedikit menurun. Mungkin faktor dari tubuh Javier yang masih terlihat lemah dan tidak seimbang dengan jiwanya.

Hampir pukul setengah 7, Theo kembali ke rumahnya. Dia duduk di teras dan meluruskan kakinya agar ototnya bekerja dengan cukup baik. Napasnya terengah-engah, tapi dia masih bisa berpikir secara tenang.

“Theo ....” Ayah Theo keluar dari rumah dan melihat Theo dengan cemas. Pikirnya bahwa Theo benar-benar sembrono bahkan dia ingin memarahinya. Tapi dia sadar bahwa dia bukanlah sosok yang tegas.

Dia seperti ayah yang bodoh. Padahal putranya baru saja keluar dari rumah sakit, tapi saat ini dia mengizinkan putranya untuk melakukan olahraga berat selama berjam-jam. Dan jelas ini juga menurutnya sangat aneh, karena dia merasa melihat bahwa Theo sama sekali tidak terjadi apa-apa.

“Ayah, ada apa?” Theo menoleh ke belakang dan meihat ayahnya yang berwajah cemas.

“Kau, apa yang kau lakukan selama berjam-jam. Apa kau tidak khawatir dengan dirimu sendiri?”

“Jangan khawatirkan aku. Aku merasa cukup baik. Ayah, jika perlu, aku akan kembali ke sekolah esok. Jangan khawatirkan aku ok? Bahkan jika kau ingin kembali bekerja, maka aku juga tidak keberatan.” Ucapnya.

Zuan tidak tahu harus berbuat apa. Lagipula sepertinya Theo juga baik-baik saja dan sama sekali tidak memiliki masalah pasca oprasi. Selain itu dia juga merasa ada perubhaan yang terstrtuktur, dimana Theo yang sebelumnya pendiam, kini justru jauh lebih ceria dan sedikit memiliki interaksi. Itu membuatnya yakin bahwa ini adalah efek dari pemukulan tersebut.

“Baiklah, tapi kau harus berhati-hati. Ayah akan mengantarkanmu esok. Tapi ayah akan kembali bekerja dua minggu lagi.”

“Tidak perlu, aku bisa berangkat sendiri seperti biasanya. Ayah jangan khawatir, aku baik-baik saja.” Theo menolak.

Zuan berdecak sambil menghela napas. Rasanya dia seperti melihat Theo yang lain yang terlihat keras kepala dan bersikeras. Padahal sebelumnya, dia memperhtikan bahwa Theo adalah orang yang selalu penurut kepada siapapun. Tapi reaksi jujurnya, dia lebih menyukai Theo yang sekarang.

............

Seorang wanita, datang tergesa-gesa yang mana dia masuk ke dalam sebuah mansion yang cukup besar. Dia merasa, mungkin jika pemuda itu tidak menyelesaikannya, maka dia akan semakin terlambat dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana dia menjelaskan kepada kakeknya.

Wanita tersebut tidak lain adalah Lyra Winata, yang pagi hari tadi baru saja ditolong oleh Theo setelah dia keluar dari rumah makan untuk sarapan pagi.

Sesampainya di mansion, dia diperlihatkan seluruh keluarganya sudah berkumpul.

“Maafkan aku, aku terlambat pulang kakek.”

“Lyra! Kenapa kau tidak mengabari kakek dan keluarga yang lainnya?”

Seorang pria tua, dengan seluruh uban di kepalanya. Terlihat mungkin berumur 60 tahun. Sebenarnya pria tua itu masih terlihat sangat muda dan berwibawa, jadi tidak cocok untuk disebut pria tua.

Kakek Lyra alias William Winata merasa bahwa cucu perempuannya benar-benar sangat ceroboh. Karena dia pulang dari luar negeri tanpa mengabari keluarga yang lainnya.

“Aku tidak ingin membuat kalian repot.” Jawab Lyra.

“Sudahlah ayah, Lyra juga sudah besar. Jangan membuat dia seperti anak kecil.” Herry Winata, selaku ayahnya Lyra angkat bicara.

William hanya bisa menghela napas.

“Tapi ada satu hal yang cukup membuatku menyesal. Pagi tadi saat aku keluar dari rumah makan, aku hampir di rampok.” Lyra menggarukkan kepalanya yang tidak gatal.

“A-apa?” Seluruh keluarga Winara merasa cukup terkejut saat mendengar kabar dari Lyra bahwa dia hampir dirampok. Jelas, bagi keluarga Winata, keamanan bagi seluruh anggota keluarganya sangatlah penting.

“Tidak, dengarkan aku. Untungnya, ada seorang remaja yang baru saja pulang berolahraga membantuku. Namanya tidak salah adalah, Theo Javier.” Balas Lyra.

“Bukannya aku sudah memerintahkanmu untuk tetap berada bersama dengan penjagaa Tigers! Kenapa kamu tidak peduli dengan perkataan ibumu?” Ibu Lyra angkat bicara. “Tapi syukurlah jika kau baik-baik saja. Jangan lupa untuk berterimakasih kepadanya. Kita berhutang budi kepadanya.”

William juga menghela napas dengan lega. Tampaknya dia berhutang budi kepada sosok yang bernama Theo Javier tersebut dan akan meminta seseorang untuk mencari tahu tentang anak itu. Lagipula keluarga Winata bukanlah keluarga yang tidak tahu terimakasih, dimana mereka selalu melakukan balas budi bagi siapa saja yang menolong keluarganya.

Dan juga keluarga mereka juga tidak akan menuntut balas budi jika menolong seseorang.

.............

Keesokan harinya, Theo kembali bangun pagi. Tapi kali ini dia bangun lebih awal dibandingkan kemarin.

Sebelum berangkat sekolah, dia memutuskan untuk lari pagi sepanjang sepuluh kilo meter sama seperti kemarin. Diantaranya lima kilo saat pergi, dan lima kilo meter saat kembali. Meski agak berat, dan dia menjalani selama dua hari ini, tapi dia yakin.

Sayangnya untuk saat ini rasanya lebih berat dibandingkan dengan kemarin. Mungkin karena tubuhnya sakit semua karena nyeri otot yang diakibatkan karena Theo Javier jarang berolahraga. Hal tersebut membuat Theo seperti ingin mengutuk dirinya sendiri.

Barulah ketika pukul 6 pagi, dia bisa kembali dan beristirahat di teras sambil meluruskan kakinya. Setidaknya setelah ini, dia akan segera mandi, sarapan dan langsung berangkat ke sekolah.

“Theo, cepat persiapkan dirimul. Ayah sudah memasak makanan. Katanya kau ingin bersekolah?”

“Baik ayah.”

.............................

“Sial, ini tidak efektif!”

Pukul 06.35. Sepertinya dia akan terlambat untuk hari ini karena untuk persiapan tampaknya membutuhkan waktu yang cukup lama. Rasanya lari pagi yang dia lakukan harus dilaksanakan awal-awal atau yang terjadi dia akan tergesa-gesa seperti ini.

“Tidak perlu tergesa-gesa! Lebih baik kau terlambat daripada terjadi yang tidak-tidak.” Teriak Zuan saat melihat putranya menggendong sebuah tas dan pergi menjauh.

Theo berjalan dengan cepat. Jarak dari rumah ke sekolahnya mungkin hanyalah satu sampai dua kilo meter. Tapi hanya kurang dari sepuluh menit lagi, gerbang akan ditutup dan dia akan kesulitan untuk masuk.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status