Hari sudah senja, bahkan Morsil berpamitan pulang dan Shela sendirian di dalam kamar inapnya. Dalam kesunyian seperti yang ia rasakan kini, barulah Shela merasakan dia benar-benar sudah kehilangan calon bayinya. Shela menatapi hujan di luar dari jendela kamar inap, wanita itu mengusap perutnya yang sudah tidak sakit lagi. "Maafkan Mami, sejauh ini Mami sudah berusaha agar kau bertahan," gumam Shela memejamkan matanya pelan. Di tengah Shela meresapi kesepiannya, barulah ia mendengar suara langkah kaki di depan pintu. Sosok Sebastian berjalan masuk ke dalam sana dengan mengibaskan mentelnya yang setengah basah. "Kau sudah kembali, dari mana saja?" tanya Shela dengan nada cemas. "Menjemput Tiana, dia ada bersama Aldrich di mansion Keluarga Hubert," jawab Sebastian, laki-laki itu mengembuskan napasnya panjang. "Ya ampun, bagaimana bisa Tiana ada di sana?" seru Shela menutup mulutnya. "Huhhh... Entahlah, mereka hujan-hujanan dan hilang dari jam sekolah." Penjelasan sang suami sema
Beberapa Hari Kemudian. "Mami... Kita kangen banget sama Mami!" "Eumm, Mamiku!" Tiano dan Tiana berebut memeluk Shela yang baru saja pulang dari rumah sakit. Anak-anak itu mendusal dalam pelukan sang Mama yang sama rindunya dengan mereka. Sampai tiba akhirnya perhatian Shela teralihkan pada Tino yang hanya diam saja, di belakang anak itu ada Aldrich yang berdiri membawa sebuah buquet bunga mawar merah untuk Shela. "Wahh, ada Aldrich juga," sapa Shela tersenyum manis pada anak laki-laki itu. "Halah Mam, dia tidak pernah pulang-pulang! Sampai jenuh aku melihatnya. Caper terus ke Tiana!" sinis Tino dengan melirik Aldrich penuh permusuhan. "Eh, jangan begitu Tino..." Shela mengusap pucuk kepala putranya. Aldrich, anak laki-laki itu tersenyum manis mendekati Shela dan memberikan buquet bunga yang dia bawa untuk Shela. "Ini Tante, maaf ya aku dan Mama tidak bisa menjenguk Tante di rumah sakit. Mama sibuk terus," ujar anak itu dengan sangat ramah. "Ya ampun, terima kasih ya, Aldric
Hari ini Tiana tidak pergi ke sekolah. Dia ingin bermanja-manja dengan Shela dan sulit sekali bagi semua orang untuk membujuknya bersekolah hari ini. Untung saja kedua saudaranya sangat mudah dan tidak aneh-aneh. Mereka pergi bersekolah dengan Papanya pagi tadi. "Sayang, kalau tidak sekolah, Tiana belajar sendiri dong... Ayo belajar membaca sama Mami," ajak Shela duduk di sofa ruang keluarga. "Mami," lirih Tiana membawa buku cerita miliknya dan duduk di hadapan Shela. "Mam, Adik benar-benar tidak ada ya?" Pertanyaan Tiana membuat Shela sedih, tapi perlu dia ingat kembali. Hal ini juga pasti membuat Tiana ikut bersedih. Shela menggelengkan kepalanya tegas. "Adik belum mau ikut dengan kita. Tiana tidak boleh sedih, Tiana masih punya tiga Kakak," ujar Shela terkikik geli. "Hem, tiga?" tanya anak itu, kedua bola matanya indah berbinar. "Iya, ada Tino, Tiano, dan Aldrich." Seketika dia tertawa kecil dan memeluk perut Shela. Lucu sekali bila Tiana mengingat tentang Aldrich, satu-sat
"Kenapa kalian berdua datang tidak bilang-bilang padaku, Ma, Pa." Sebastian menatap kedua orang tuanya yang tiba-tiba saja datang dan berkunjung ke rumahnya tanpa mengabari lebih dulu. Graham dan Monica pagi ini sudah berada di rumah Sebastian, mereka juga membawakan banyak sekali oleh-oleh untuk Cucu mereka. Si kembar yang kini bergabung duduk dalam pangkuan Kakek dan Neneknya. "Ya, Papa dengar kabar dari Ferdi, kalau Shela baru saja keguguran," jawab Graham dengan wajah sedih. "Maaf, kami baru bisa berkunjung." Shela menanggapi kebaikan hati Papa mertuanya dengan senyuman. "Terima kasih Pa. Shela tidak menyangka kalau Papa mau ke sini," jawab Shela tersenyum manis di bibir pucatnya. "Bagaimana bisa keguguran, Shela? Apa kau tidak berhati-hati?!" Monica menatap menantunya itu dengan tatapan tajam. Jari jemari tangan Shela meremas kuat rok panjang berwarna biru yang dia pakai. Shela berusaha tegar dan tetap tersenyum. "Ma, aku sudah berusaha untuk mempertahankan janinku. Tapi
'Apa yang terjadi di antara Shela dan Mama? Apa yang mereka bincangkan kemarin pagi?' Sebastian sibuk memikirkan hal itu. Semalaman ia tidak tidur hingga subuh-subuh hari, setengah enam dia duduk di teras samping sambil membawa kalung milik Mamanya, di mana sang istri memintanya untuk mengembalikan kalung itu pada Monica. "Huhh..." Sebastian memijit pangkal hidungnya pelan. "Papi," panggil sang buah hati lirih. Suara Tiana membuat Sebastian menoleh ke belakang. Anak perempuannya itu berdiri di tengah ambang pintu membawa selimut dan botol minum kesayangannya. "Sini Sayang. Kenapa sudah bangun?" Sebastian mengulurkan tangannya dan mengangkat tubuh Tiana sebelum dipangku. "Tiana ke bangun ke kamar Mami, tapi Papi tidak ada. Di ruangan kerja tidak ada juga, ternyata Papinya Tiana di sini," jawab anak itu dengan muka bantalnya. Sebastian tersenyum, dia mengecup pipi Tiana dan menutupkan selimut wol merah muda pada tubuh mungil sang putri. Anak itu menatap sekitar, di mana kabut mu
"Maaf ya Nyonya Morgan, saya baru bisa berkunjung dan menjenguk Nyonya hari ini." Ucapan itu begitu tulus dan lembut terucap dari bibir Elmma. Mama dari Aldrich, sekaligus istri dari rekan kerja Sebastian. Mereka sengaja sore ini datang menjenguk Shela setelah tahu Shela baru keluar dari rumah sakit. Kunjungan mereka pun disambut baik dan hangat. "Terima kasih kunjungannya, Nyonya Hubert. Saya sangat senang dengan kedatangan Nyonya." Shela tersenyum manis. "Emm, ngomong-ngomong... Aldrich katanya sering ke sini ya?" tanya Elmma pada Shela, wanita itu menatap Aldrich yang sedang bersama Tiana di teras. "Oh iya. Dia sering ke sini, aku juga menyukai Aldrich yang mau menolong Tiana belajar." "Kak Aldrich itu seperti Lalat Buah, Tante. Tidak mau menyingkir sebentar saja dari Adikku!" sinis Tino dengan kedua alis yang bertaut. "Sebal deh!"Mendengar hal itu, Elmma pun tertawa. Baru kali ada yang berani memberikan julukan se-miris itu pada putranya. Namun melihat kedekatan Aldrich da
"Kami tidak akan melarang Sebastian bertanggung jawab padamu. Tapi yang kami inginkan, bantu Sebastian kembali menganggap kita benar-benar orang tuanya. Tolong, jangan pernah gagal menjadi istri yang baik untuknya, Shela." Penuturan dengan baik dan lembut terucap dari bibir Graham pada menantunya. Dia orang ini datang merayunya untuk meminta Sebastian kembali pada mereka dengan membujuknya. Apa Shela bisa? Bukankah sulit sekali membujuk Sebastian yang memang notabenya tidak akan mampu dikendalikan oleh siapapun? Apa Shela bisa?"Kami tidak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi selain padamu." Graham mengembuskan napasnya panjang. "Papa tahu, Mamamu ini sudah keterlaluan. Kau pasti sakit hati, Papa tahu. Tapi lebih sakit hati saat anaknya, tidak mau menanggapinya sebagai Mama. Padahal Mamamu ini, yang melahirkan mengandung dan melahirkan Sebastian. Suamimu." Shela menundukkan kepalanya dan tangannya meremas kuat rok tile merah muda yang ia pakai. Seperti deburan ombak, detak j
Tidak ada alasan lagi untuk Tiana pagi ini ingin bolos sekolah lagi. Anak itu sudah berada di sekolah dengan dua kembarannya. Berangkat lebih awal dan bermain di taman mencari bunga liar, kebiasaan Tiana yang memang tidak bisa diubah. "Tiana...!" Suara teriakan seseorang berlari ke arah Tiana menoleh ke belakang, tapi gadis kecil itu kembali lagi fokus pada bunga-bunga yang cantik di hadapannya. Sampai akhirnya Aldrich melompati sebuah pagar yang tak terlalu tinggi, anak itu mendekati Tiana dan memberikan sebuah sandwich padanya. "Ini, buat sarapan," ujarnya. Tiana mendongak, dia diam dan menggelengkan kepalanya. "Kau marah ya, denganku?" tanya anak laki-laki itu. "Iya. Tiana marah." Aldrich terkekeh, anak laki-laki itu membuka tasnya, dia kembali memasukkan sandwich itu ke dalam kotak dan meletakkan di sebuah bangku kayu, membiarkan makanan itu dibawa Tiana nantinya. "Nanti aku ke sini lagi kok, aku tidak akan lama-lama perginya, Tiana." Aldrich berjongkok di hadapan Tiana.