Suara Kokok ayam telah bersahutan. Mala terpaksa bangkit dari tidurnya. Suaminya sudah tak ada lagi di kamar. Padahal jam dinding di kamar Mala menunjukan baru pukul delapan tiga puluh menit. Ia menyibak tirai jendelanya, sinar matahari pagi langsung menyeruak masuk, membuat penglihatan Mala menjadi silau. Ia bergegas keluar dari kamar, dan suasana rumah begitu sepi. Ditambah Rahmat dan Susan sudah pulang ke rumahnya kemarin pagi. Mala celingukan mencari sosok mertuanya. Baru kali ini dia bangun siang dan tidak di omelin oleh mertuanya. Biasanya Seandainya Mala bangun sedikit terlambat saja, maka dari arah dapur akan ramai dengan suara beradu dari panci dan alat dapur lainnya.Mala menyeduh susu khusus ibu hamil. Lalu duduk di meja makan. Ada beberapa potong pisang goreng, bakwan dan buras. Tapi ia tak berselera makan apapun. Kembali ia teringat pada anak dalam kandungannya. Anak yang sangat ia harapkan, kini tak mungkin bisa ia genggam. Airmata kembali jatuh, hatinya tercabik-cabik.
Tak ada suara saat motor itu melaju. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Jarak rumah sakit dari klinik tadi, hanya butuh waktu tujuh hingga sepuluh menit saja. Mala langsung masuk IGD dibagian Gawat Maternal. Sementara Rahman mengurus berkas syarat masuk rumah sakit. Mala berbaring di blangkar yang ada di ruangan itu, satu suster mencatat data diri Mala. Yang satu memeriksa Mala. Mulai dari mnginfus dan memeriksa jalan lahir bayinya juga letak posisi janin. Butuh dua jam untuk Mala disitu. Dengan diajak ngobrol dan bercanda oleh suster yang tadi. Hingga pasien lain datang Mala pindah posisi ke kursi roda, karena blangkar tidak ada yang kosong, lagi pula kondisi Mala yang sehat dan bisa berjalan. Setengah jam kemudian, Mala di antar ke ruang tindakan di lantai atas. Rahman dengan pelan mendorong kursi roda istrinya. Setelah Mala masuk keruangan, maka Rahman pun diharuskan keluar. Ada lima tempat tidur disamping Mala. "Aku keluar, ya," pamit Rahman. Mala hanya mengangguk. T
Tangisan Mala II."Ayo, Bu. Dibuka pahanya, ucap sang suster dengan ramah. Mala dengan sedikit malu-malu membuka pahanya. Kini ia telah menggunakan kain sarung agar memudahkan proses melahirkan nanti. Satu butir obat dimasukkan lewat jalan lahir bayi. Lalu sang suster meninggalkan Mala dan ada satu pasien lainnya yang ternyata sama juga mengalami Stillbirth. Kini Mala tidak sesedih tadi dan kemarin, ia paham bukan hanya dirinya yang mengalami hal seperti itu. Bahkan pasien di sebelahnya, kehamilannya sudah mendekati hpl tapi kenyataan pahit yang harus diterima. Manusia hanya berharap, namun Allah yang mengatur ketentuannya. Mala juga punya impian untuk calon anaknya. bahkan puluhan nama telah ia catat di sebuah buku agenda. Kata orang kalau hamil, dan wajah si ibu lebih kusam atau lebih jelek dari sebelum hamil maka anaknya laki-laki. Mala mengalami kemalasan yang akut. Bahkan ia kuat tak mandi seharian. Padahal sebelum hamil, ia tipe orang yang resik. "De, cepat keluar, Ya. Biar k
Duka keluarga."Dokter datang. Dokter datang," ucap seorang Bidan yang masuk ke ruang bersalin.Degh…Mala seketika gemetar, gugup dan takut. Rasa hatinya tak karuan lagi. Sudah terbayang di pikirannya. Bagaimana jika alat-alat stainles itu masuk ke rahimnya untuk menguras gumpalan darah yang tersisa. "Ini, Dok yang mau di kuret," ucap salah seorang suster dengan menunjuk ke arah Mala. Dokter pun mendekatinya. Sedangkan sang suster langsung mengolesi gel diperut Mala, untuk melakukan USG setelah melahirkan. Sang dokter menempelkan alat USG ke perut Mala dan berkata. "Udah bersih ini mah, sisa sedikit lagi. Pake obat saja, ya. Bu.""Iya, Dok," sahut Mala dengan cepat. "Lalu, apa penyebabnya bayi saya meninggal dalam kandungan?" "Saya tidak tahu, Bu. Karena saya tidak melihat langsung bayinya. Alhamdulillah, Ibu bisa lahiran normal, jadi tidak dengan saya. Kalau saya melihat bayinya saya bisa memprediksi penyebabnya," ucap dokter itu dengan lembut dan seulas senyum. Mala yang mendengar
POV Mala.Saat aku memasuki ruang rawat, kesedihan kembali mendera. Betapa tidak. Ruangan khusus ibu bersalin dengan dua ranjang, lengkap dengan box bayi. Hatiku seperti diiris tipis, kala melihat box di samping kanan. Seandainya saja bayiku hidup, sudah pasti ia terbaring di box itu. Kenapa kamu pergi begitu cepat, Nak. Bahkan, ibumu ini tidak sempat melihatmu. Air mata kembali berderai dengan rasa sakit hati yang lebih lagi. Ini murni kesalahanku, yang tidak mendengarkan mitos dari ibu. Ini murni keteledoranku yang kalau bergerak bak orang tidak hamil. Aku baca di beberapa artikel wanita hamil itu tidak boleh menunduk dengan menungging jika mau mengambil sesuatu di lantai, tapi harus jongkok pelan-pelan. Dan tidak pernah aku indahkan. Maafkan, Ibu, Nak.Aisyah dan Emak langsung memelukku dari arah berlawanan, kami bertiga menangis tanpa suara. "Ikhlaskan, ya, Nak. Allah tahu apa yang terbaik untukmu," ucap Emak dengan lirih sambil meraih tanganku, mengusapnya lembut mungkin mencoba
Aku membalas chat Tika dan menanyakan ada apa? Aku juga bilang telah menghapus chat grup RT tanpa membacanya.{Syukurlah, lekas sehat. Aku tunggu di rumah.}Dih, ni anak bukan menjawab malah balasnya begitu. Aku tak peduli lagi dengan isi chat itu, mungkin saja mereka membahas mitos yang mengenai aku sekarang. Tapi begitulah warga disekitarku bukan nya empati kadang malah mengolok-olok dan menyalahkan si yang kena musibah. Mas Rahman datang dan langsung mengajakku naik ke kursi roda. "Aku bisa jalan kok, Mas," ucapku sambil berdiri."Tapi kamu habis lahiran, La," ucapnya dengan khawatir. "Ndak apa-apa, aku jalan aja," kataku dengan mendahului melangkah ke arah pintu. Mas Rahman akhirnya mengekor dan mengambil langkah cepat, karena ternyata kini ia telah menggandengku. Barang bawaan kami sudah dibawa Aisyah tadi. Jadi sekarang mas Rahman hanya membawa tas gendongnya yang bisa ditebak isinya adalah berkas persyaratan aku masuk Rumah Sakit. Dengan cekatan suamiku mengetik di layar pons
Kemarahan Bu Samirah."Apa maksudnya ini, Rahman! Pindah, tanpa memberitahu ibumu? Kau anggap apa aku ini?" pekik bu Samirah sambil bertolak pinggang di pintu masuk. Ia tak peduli meski saat itu, ada orang tua Mala. Kemarahan yang sejak dua hari lalu dipendamnya, kini meledak.Bu samirah marah sejak saat Rahman pergi ke rumah sakit tanpa memberitahu dirinya. Ditambah perihal pemakaman cucunya pun, sarannya tak diindahkan oleh anak lelakinya itu. "Mari besan masuk dulu, biar bicaranya enak," ajak Bu Sarah sambil bangkit menghampiri ibunya Rahman. "Tak usah basa-basi, Besan. Ini urusan saya sama dia," sahutnya dengan berapi-api sambil menunjuk ke arah Rahman dengan dagunya. "Ada apa toh, Bu. Disini ada besan kita. Juga menantu kita baru pulang dari rumah sakit," ucap pak Manto sepelan mungkin, kini ia tengah berdiri di samping Bu Samirah. "Aku gak peduli, Pak. Sekalipun ada presiden disini. Aku tak peduli!" ucap Bu Samirah sambil matanya memandang ke arah Mala dan Rahman secara berg
"Ya, sampean kurang mendidik anak perempuan kalian. Dari dulu Mala tak pernah hormat pada saya," adu Bu Samirah dengan angkuh. "Bu," pekik Rahman. Sungguh ia tak menyangka ibunya akan selancang itu mengatai istrinya bahkan pada bapaknya langsung."Benar begitu Mala?" ucap pak Ahmad sambil menatap kearah Mala. Mala hanya mengedikan bahunya tak acuh. "Nah lihat kan? Bagaimana anak sampean merespon pertanyaan bapaknya sendiri," ucap Bu Samirah mulai memprovokasi."Bu, saya membesarkan Mala selama 22 tahun. Dan makanan yang ia makan saya jamin seratus persen halal. Jadi saya tahu tabiat anak saya seperti apa," tegas pak Ahmad tak terbantah. "Lha, ya pasti dibela, wong anaknya sendiri," sinis Bu Samirah. "Oke. Apa saja kelakuan anak saya yang memang kurang pantas ia lakukan selama hidup di rumah besan?" tanya pak Ahmad. Sementara Aisyah mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bu Sarah memeluk Mala yang pandangannya kosong. Rahman menunduk malu, ia tak berani menatap ke arah Abahnya atau emak