Share

Bab 2

Kutimang-timang bayi perempuan dalam gendongan. Sudah lama sekali rasanya aku tidak menimang bayi. Terakhir sekitar tujuh belas tahun lalu saat Angga baru lahir.

 

Karena baru lahir, bayi perempuanku masih lebih banyak tidur serta belum bisa di ajak bermain. Segera aku menaruhnya di atas tempat tidur di dalam kamarku.

 

"Aqila tidur, Bun?" tanya suamiku yang sedang bersiap untuk ke toko milik kami.

 

"Iya, dia masih bayi jadi lebih banyak tidur," jawabku.

 

"Kamu itu sangat perhatian dengan bayi itu jadi lupa sama aku," rajuk suamiku.

 

"Tentu saja tidak, Sayang. Kamu tetap nomor satu," ucapku mencium lembut pipi suamiku.

 

"Ya sudah, rawat Aqila baik-baik karena itu keinginanmu. Jangan mengeluh jika lelah," ucapnya.

 

Aqila, kami menamai bayi mungil itu. Nama yang sangat cantik untuk anggota baru keluarga kami. Aku mengantar suami ke depan rumah. Dia segera pamit untuk berangkat kerja.

 

Saat kembali masuk, aku melihat Ami. Dia tengah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Wajahnya masih seperti tadi pagi, pucat. Mataku tertuju pada bokong Ami. Darah segar terlihat di rok yang dia kenakan.

 

"Ami, kamu sedang datang bulan?" tanyaku.

 

"Iya, Bu. Hari pertama jadi deras banget. Ibu tau dari mana?"

 

"Kamu tembus, liat tuh rok kamu," ucapku.

 

Ami langsung melihat bokongnya dan berlalu. Gadis itu ceroboh sekali, tidak sadar kalau tembus begitu. Aku segera ke kamar Angga, karena sampai jam segini belum juga bangun, padahal harus berangkat ke sekolah.

 

Pintu kamar anak keduaku itu memang jarang di kunci, aku dengan mudahnya masuk ke dalam dan membangunkan Angga.

 

"Ga, bangun," ucapku.

 

"Hmm."

 

"Bukan hmm, bangun sudah siang," ucapku seraya mengguncang tubuhnya.

 

"Masih ngantuk, Bun. Lagian tadi pagi di bangunin sekarang aku masih ingin tidur," ucap Angga tanpa membuka mata.

 

"Cepat bangun atau bunda siram," ucapku.

 

Ancaman sukses membuat Angga bangun. Aku segera keluar dari kamarnya karena Aqila terdengar menangis. Aku tersenyum karena Amran ada di kamarku tengah menenangkan bayi mungil itu.

 

"Bun, cara gendongnya gimana sih?" tanya Amran.

 

"Emangnya kamu mau gendong,"

 

"Hu'um."

 

Aku membantu Amran menggendong adiknya. Dia terlihat sangat menyayangi bayi itu padahal baru beberapa jam Aqila bersama kami. Amran berjalan perlahan meninggalkan kamar sambil menimang bayi. Pemuda itu memang sudah pantas menjadi seorang ayah.

 

"Mau di bawa kemana?" tanyaku.

 

"Keluar, Bun. Berjemur."

 

"Kalau dilihat tetangga gimana?"

 

"Pagar rumah kita tinggi, mana mungkin terlihat."

 

Amran sangat kebapakan. Wajar saja, usianya kini dua puluh lima tahun, sudah pantas untuk berkeluarga dan punya anak. Namun, Amran tidak pernah sekalipun membawa teman wanitanya ke rumah.

 

"Bun, aku berangkat sekolah dulu," ucap Angga seraya mencium tanganku.

 

"Bayi gak jelas tuh, Bang," ucap Angga melirik Aqila.

 

"Angga, Aqila sekarang adikmu," ucapku.

 

Angga segera berlalu menuju garasi.

 

"Bu, Ami berangkat ya," ucap Ami pamit.

 

Aku memperhatikan anak itu karena terlihat mencurigakan. Sesekali kulihat dia mencuri pandang dengan bayi yang di gendong oleh Amran.

 

"Ami, tunggu. Balik badan dulu," perintahku.

 

Ami menuruti perintahku dia membalik badannya. Dengan seksama aku perhatikan dia, terutama bokongnya yang tembus tadi.

 

"Sudah Ami ganti, Bu. Sekarang pakai dua pembalut malah biar aman," ucap Ami.

 

Terus aku perhatikan gadis manis itu. Tidak ada yang aneh, hanya dia terlihat pucat. Itu saja. Namun, aku tidak boleh lengah. Siapa saja bisa jadi orang tua kandung Aqila.

 

"Bun, aku berangkat!" teriak Angga.

 

"Barengan sama Ami saja. Kasihan dia pucat begitu," ucapku.

 

"Ami bisa sendiri, Bu," ucap Ami.

 

"Siap, Bun. Ami ayo naek," ucap Angga.

 

"Sudah sana, kamu terlihat tidak sehat. Lebih baik bareng sama Angga saja."

 

Ami menuruti perintahku. Gadis itu memang penurut dan polos. Sejak lulus sekolah dasar dia ikut ibunya untuk tinggal di sini. Sekolah di tempat yang sama dengan Angga karena mereka seumuran. Entah kenapa aku mencurigai dia karena cuma dia yang bisa hamil di keluarga kami. Mbok Iin tidak mungkin sebab seumuran denganku.

 

Kulihat Amran masih asyik menggendong Aqila. Bayi perempuan itupun tertidur dalam gendongan Amran.

 

"Kamu itu sudah pantas menjadi ayah," ucapku.

 

Amran terbatuk. Dia kemudian menatapku.

 

"Bunda apaan sih."

 

"Itu tandanya Bunda ingin punya menantu dan cucu, secepatnya kamu harus cari istri. Usia kamu juga sudah cukup untuk itu."

 

"Kalau sudah menemukan wanita yang seperti bunda, aku pasti menikah," ucap Amran.

 

Amran kembali asyik menimang Aqila, anak itu memang anti jika aku bicara soal menantu. Entahlah, sepertinya dia belum menemukan wanita yang cocok untuknya.

 

******

 

Hari sudah siang. Aku membuatkan susu untuk Aqila. Tiba-tiba saja ponselku bergetar, aku segera mengambilnya sambil menggendong Aqila yang rewel.

 

"Mbok, buatkan susu," ucapku.

 

Kebetulan mbok Iin sedang ada di dekatku. Aku segera mengangkat telpon yang dari tadi bergetar. Dari nomor yang tertera itu dari Angga. Ada apa anak itu menelpon di jam segini.

 

"Halo, assalamualaikum," ucapku.

 

"Waalaikumsalam, Bunda." jawab Angga.

 

"Ada apa, Nak?"

 

"Ami pingsan di sekolah, Bun."

 

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status