Keesokan pagi di Hunian Exclusive Green Lake, Baubau.Kevan terbangun dengan bertelanjang dada. Dia mencoba mengenali di mana dirinya sekarang. Jendela sudah terbuka lebar agar kamar Ciara memiliki sirkulasi udara yang baik. Meskipun waktu menunjukkan pukul 09:00 pagi, udara di kota Baubau saat ini dingin karena hujan baru saja reda.Kevan terduduk di atas ranjang dengan kepala yang berdenyut. Dia memijit pelipisnya perlahan."Ini ... kamar Cia? Kok aku bisa di kamar Cia? Tapi, Cia ke mana?"Kevan mendengar sayup-sayup suara dari luar jendela. Dia pun menoleh ke kanan dan mendapati Angga dan Ziyad sedang duduk di kursi rotan. Tidak ingin terbelenggu rasa penasarannya yang semakin memuncak, Kevan turun dari ranjang tanpa alas kaki. Dia berjalan, lalu membuka pintu samping kamar Ciara. Kevan berdiri di ambang pintu. Dia melihat Ziyad dan Angga sedang memperhatikan layar handphone milik Ziyad dengan raut wajah yang serius.Angga menyadari kehadiran Kevan. "Kamu udah bangun, Van?" Kev
Ciara masih belum pulih. Fisik dan psikisnya terluka. Bagaimana pun juga, kehilangan salah satu orang tua adalah mimpi buruk bagi semua anak. Bima mendorong kursi roda Ciara menuju ke kamar orang tuanya. Sedangkan Felicia dan Jasmine duduk di ruang tengah bersama Ismail dan Ruslan.Erisa dan Lily masih dirawat di rumah sakit karena luka bakar yang diderita mereka cukup serius. Awalnya Kevan berjanji akan mencarikan pengganti Erisa dan Lily. Namun dengan penuh keyakinan, Ciara memberitahu Kevan bahwa dia tidak masalah jika tidak memiliki dokter dan perawat pribadi. Sesampainya di kamar orang tuanya, Ciara berusaha berdiri dengan susah payah dari kursi roda dengan bantuan Bima. "Aku mau duduk di sudut, Bim," kata Ciara dengan suara yang serak."Iya, Non." Bima memapah Ciara ke kursi kayu di sudut ruang tidur. Mereka berjalan perlahan.Setelah duduk, Ciara tidak berkata apa-apa. Dia hanya melihat-lihat pemandangan di luar kamar dengan tatapan kosong.Suasana canggung membuat Bima tida
Saat mendengar suara pintu terbuka, Ciara segera mengakhiri panggilan telepon. Dia menoleh dan melihat Felicia masuk."Cia, kamu masih marah sama Kevan?" tanya Felicia penuh perhatian. Dia sama sekali tidak mencurigai aktivitas anaknya. "Nggak tau, Mi," jawab Ciara penuh dengan kekecewaan."Sekarang Kevan udah pergi sama orang tuanya. Kevan mau ngurusin pabriknya di kota Tango."Ciara bertambah kecewa karena Kevan tidak mau menemuinya sebelum pergi. Namun, dia tidak menunjukkan sikapnya di depan Felicia.***"Saya turut berdukacita, Tuan," ujar Omar. "Udah lama banget nggak ketemu Anda, kenapa pas ketemu gini malah bawa kabar duka?"Sebagai seseorang yang dekat dengan Kevan, sudah pasti Omar memberikan perhatiannya. Perasaan duka yang menyelimuti keluarga Darwin, tentu saja dirasakan Kevan juga. Kevan sudah sampai di pabrik K.C Tobacco bersama Ziyad dan Angga. Sekarang, dia sedang duduk di kantornya menghisap rokok sambil minum bir kaleng yang murah. "Namanya juga musibah. Siapa ya
"Aku nggak pernah bosen sama Cia. Aku nggak punya cewek, selain dia. Karena hatiku udah tertutup buat cewek lain." Kevan mengatakan semua itu sambil emosi. Dia akan emosi setiap kali seseorang mengungkit semua hal tentang Ciara. Kevan menatap Gauche. "Kamu tau kan, Bang? Aku itu setia sama satu cewek aja," ujar Kevan menggebu-gebu. "Gimana kita bisa percaya atuh, Kang Kevan. Kalo sikap kamu ke Neng Cia teh nggak karuan gitu," celetuk Inura. "Jadi, kamu kenapa sebenernya, Van?" tanya Gauche. "Bener nggak, kata Pak Ziyad kalo kamu itu kecewa sama diri sendiri? Bener kayak gitu?" Kevan terdiam. Dia memikirkan kebodohannya karena mengambil keputusan yang salah. "Van, aku bilangin ya ...." Gauche menarik kursi agar lebih dekat dengan Kevan. "Berhenti salahin diri sendiri! Cepetan damai sama keadaan! Cia nunggu kamu." Kedua mata Kevan berkaca-kaca. Dia membayangkan Ciara sedang tersenyum padanya. "Cia butuh kamu, Van. Hibur dia! Kalo perlu ajak dia jalan-jalan." Gauche m
Kevan berdiri di bawah jendela yang terbuka. Dia menikmati senja di kota kelahirannya sambil menghisap rokok. Kepulan asap rokok tipis mengelilingi wajah tampan Kevan. Melihat Kevan yang begitu tenang, Ziyad tidak berani mengganggu. Dia hanya bisa berdiri dan menunggu perintahnya. Suasana ruang kantor Kevan mulai redup. Ziyad mengambil inisiatif untuk menyalakan lampu."Kamu ke luar dulu!"Awalnya, Ziyad kebingungan. Karena selama bekerja dengan Kevan, tuannya itu tidak pernah menyuruh dia untuk pergi. Tetapi, Ziyad tidak membantah. Mungkin saja, Kevan memang butuh waktu sendirian untuk mengurusi hal-hal pribadinya.Ziyad membungkuk. "Ya, Tuan."Kevan mendengar langkah kaki Ziyad yang berat. Pintu tertutup rapat. Kevan segera menekan ikon telepon berwarna hijau, lalu menempelkan handphone di daun telinga.Baru saja Kevan membuka mulutnya ingin menyapa si penelepon, tetapi dia kalah cepat."Kevan Hanindra!" panggil suara pria serak di ujung telepon. "Kamu mau nganterin undangan perni
"Aku pikir, Pak Derren tulus."Kevan masih berdiri di bawah jendela. Dia sudah selesai bernegosiasi dengan Derren Warlord. Perbincangan di telepon selama 30 menit yang alot membuatnya jengah.Kevan membuka tutup botol air mineral. Lalu, menenggaknya. "Meskipun latar belakang Pak Derren seorang mantan panglima perang di zamannya, tapi harus aku akui ... otak bisnisnya tetep mendominasi."Kevan bukan hanya mengiyakan keinginan Derren, tetapi 90% dia ingin tahu sampai di mana kehebatan sang mantan panglima perang.Kevan menghubungi Ziyad. "Siapin satu kantor di lantai 13 Menara K.C Tobaccobuat Pak Derren! Dia mau buka cabang bisnisnya di ibukota."Tanpa banyak tanya, Ziyad menjawab, "Baik, Tuan."Kevan mengakhiri panggilan telepon. Dia membakar rokok. Langit pun mulai gelap. Malam terasa datang lebih cepat menyelimuti hati Kevan yang rapuh. Kevan beberapa kali mengembuskan asap rokok. Tidak sampai 10 menit, seseorang mengetuk pintu ruang kerjanya."Tuan?" Ziyad muncul dengan membawa t
"Iya, saya inget, Tuan. Saya pikir, semua orang yang berada di sekitar Anda saat itu pasti inget juga."Kevan bersandar. Dia adalah pria keras kepala yang selalu memiliki solusi di setiap permasalahan. Ziyad melihat kening Kevan berkerut yang menandakan bahwa tuannya sedang berpikir keras. Tidak lama, dia justru dibuat tercengang dengan sikap Kevan.Tatapan Kevan suram. Namun detik berikutnya, dia tertawa. "Ha! Ha! Ha!""Kenapa Anda ketawa, Tuan? Ada yang lucu?" tanya Ziyad dengan perasaan tidak karuan. "Pak Derren bilang, dia punya utang budi ke Kakeknya Cia. Tapi di telepon tadi, dia terang-terangan manfaatin aku. Gimana nggak lucu?"Kevan menatap Ziyad yang tidak bersuara."Apa itu yang dia bilang tulus?" tanyanya. Ziyad tampak linglung. "Jaーjadi, yang telepon Anda tadi itu Pak Derren?!"Ziyad tidak percaya pada ucapan Kevan. Namun, selama ini Kevan tidak pernah berbohong."Hu'um," gumam Kevan. "Aku bukan orang yang nggak tau balas budi. Aku juga nggak akan lupa sama seseorang y
Suasana pagi di kota Baubau yang redup. Musim hujan di bulan Desember membuat suhu terasa lembab. Udara dingin menyapa kulit Ciara begitu dia membuka kaca mobil. Ciara sedikit mengeluarkan wajahnya dari kaca mobil sambil tersenyum.'Sebahagia itu kah Nona Cia ketika di luar rumah?' Bima membatin.Ciara memandangi orang-orang yang lalu lalang di sekitar area parkir. Mereka berjalan dengan cepat karena tidak ingin tertinggal kereta."Aku mau kayak mereka. Sibuk pagi-pagi ngejar waktu. Kayaknya sih seru!"Ciara berkata tanpa sadar. Dia juga terkagum-kagum dengan fasilitas stasiun yang belum pernah dijumpainya."Bim, ayo ke luar!"Tanpa terduga, Ciara membuka pintu mobil. Sopir yang menyadari langsung berteriak, "Non, mau ke mana? Jangan pergi sendirian!"Bima tersentak. Dia segera menarik tangan Ciara."Ah! Sakit, Bim!" Ciara protes. "Lepasin! Aku cuma mau ke luar doang."Bima menggeleng. "Nggak boleh, Non. Yang udah-udah kalo Nona di luar cepet hilangnya. Kamu jalan-jalan sendirian ngg