"Apa, Van?! Saya bantu kamu produksi rokok?!"Kevan dan Gunawan kembali duduk. Setelah melalui situasi yang menegangkan, akhirnya Gunawan setuju bekerja sama dengan Kevan. Gunawan baru selesai membaca isi surat perjanjian kontrak kerja sama dengan Kevan. Dia terkejut dengan keinginan Kevan."Iya, Pak," jawab Kevan datar. "Aku udah punya desain rokoknya. Rokok premium. Karena pangsa pasar kali ini kelas menengah ke atas."Sejenak Gunawan menatap Kevan kagum. Dia menunggu Kevan melanjutkan bicaranya. Kevan menyadari bahwa Gunawan sama sekali tidak tertarik dengan rencananya. Namun, dia tidak akan berhenti begitu saja. "Pendistribusian rokok pastinya akan merata. Nggak cuma di kota Tango aja. Kemungkinan, aku juga akan jual ke luar pulau.""Kamu serius, Van?" tanya Gunawan dengan tatapan mata tajam. "Kenapa kamu nggak cari orang lain aja? Saya ini udah tua renta. Kalau hasilnya nanti nggak sesuai dengan ekspektasi kamu, gimana?""Aku serius, Pak. Aku lihat peluang besar di bisnis temb
"Pak Badru! Pak Tanto!"Kevan memanggil dua nama pria yang ternyata dikenalnya. Setelah menutup pintu mobil, Kevan mengajak keduanya bersalaman. "Sehat, Pak?" tanya Kevan. Kedua pria itu tersenyum sambil menjawab pertanyaan Kevan. "Begitulah, Van. Kita berdua sehat," jawab Badru. Omar dan Martin menunggu Kevan selesai menyapa kedua petani tembakau yang merangkap sebagai tengkulak. Keduanya hanya diam memperhatikan Kevan berinteraksi. "Wah! Kamu sekarang udah sukses ya, Van! Kamu udah lulus kuliah, ya?" tanya Badru sambil menepuk-nepuk pundak Kevan."Ini mobil kamu, Van?" tanya Tanto. Dia mengelus body mobil Kevan dengan sangat hati-hati."Awas, Tanto! Jangan kasar-kasar! Nanti mobil Kevan bisa lecet," kata Badru, dia menarik tangan Tanto agar kawannya menjauh dari mobil."Ha! Ha! Ha!" Kevan tertawa. "Nggak apa-apa, Pak. Santai aja!""Gimana kabar orang tua kamu, Van? Saya denger, kamu dan keluarga udah pindah ke rumah besar ya? Enak nggak jadi orang kaya, Van?" Badru begitu penasa
"Hemm," Kevan berdeham. Dia menginjak rokoknya hingga padam. "Jangan bilang, Anda nggak punya rencana, Tuan!" Omar tidak puas dengan reaksi Kevan. Baru saja Kevan hendak menjawab pertanyaan Omar, tiba-tiba ponsel canggihnya berdering. "Kita lihat aja nanti, Omar! Aku akan pukul mundur semua Grader culas!" seru Kevan. "Eh, aku angkat telepon dulu."Kevan sedikit menjauh dari Omar dan Martin. Dia buru-buru menekan ikon telepon berwarna hijau pada layar ponsel."Gimana, Ziyad? Semua kerjaan di HHC lancar?" tanya Kevan begitu terdengar nada sambung di telinganya."Ya, Tuan. Rapat pemegang saham berjalan lancar. Tuan Gibran udah resmi dipecat secara nggak hormat." Kevan senyum-senyum mendengar laporan Ziyad. "Terus, siapa yang gantiin posisi Gibran?" tanyanya tidak sabar. "Sejauh ini masih kosong, Tuan," jawab Ziyad. "Saya dan Maudy udah atur semua kerjaan Anda. Jadi, Anda bisa tenang urus pabrik rokok."Kevan memasukkan tangan kirinya ke saku hoodie. Dia memikirkan sesuatu."Pantau s
"Pak Tarno! Pak Ceceng!"Kevan memanggil nama kedua pria yang baru datang. Mereka adalah teman baik Theo. Kemudian, dia berdiri menyambut keduanya."Kevan Hanindra? Bener kamu teh Kevan? Anaknya Theo sama Jasmine?"Pria bertubuh gempal tanpa sehelai rambut bertanya. Dia adalah Ceceng Sukandar. Dia kaget melihat Kevan berdiri di depannya."Iya, Pak. Aku Kevan," jawab Kevan, dia tersenyum. "Gusti! Kamu udah gede, Van! Udah lama banget nggak ketemu," kata pria berkulit sawo matang dengan janggut lumayan panjang. Dia adalah Tarno Parwanto.Kevan bersalaman dengan mereka. Perdi menatapnya sambil senyum-senyum. "Aku baru mau ajak Kevan ke rumah kalian," kata Perdi. "Duduk, Pak!" seru Kevan. Tarno dan Ceceng duduk di dipan kayu bersama Perdi. Sedangkan Kevan berdiri bersama Omar dan Martin. "Kamu ke sini nengokin Perdi?" tanya Ceceng. Dia membenarkan letak pecinya yang miring. "Iya, Pak," jawab Kevan cepat. "Aku juga ada perlu sama Abah, Pak Tarno dan Pak Ceceng."Ceceng membatu. Tarno
"Kita udah sampai, Nona," kata Kevan. Kevan dan Ciara sudah tiba di acara pernikahan Glen dan Inura. Dia menghentikan mobil di area parkir yang cukup luas. Dia melihat beberapa juru parkir sedang mengatur kendaraan roda dua."Kok Nona diem aja? Kamu capek, ya?""Nggak," jawab Ciara sambil menggeleng. "Terus?"Kevan mendekati Ciara. Gadis itu menahan napasnya ketika jarak mereka terlalu dekat. "Kamu mau ngapain, Kak?" tanya Ciara, dia sedikit kikuk mendapatkan perlakuan seperti itu.Kevan tersenyum. Dia menjawab, "Aku mau bantu lepasin sabuk pengaman. Kamu jangan overthinking dong, Cia!"Ciara lega karena nyatanya Kevan tidak macam-macam padanya. Dia tertawa. "Ha! Ha! Ha!"Kevan belum mematikan mesin mobil. Dia menunggu Ciara mengatakan sesuatu. "Sekarang kamu nggak mabuk perjalanan lagi ya, Kak?" Ciara bertanya sambil senyum-senyum jahil. Pertanyaan Ciara mengejutkan Kevan. Pria itu tersenyum. "Memangnya kenapa?" tanya Kevan."Waktu Ranger Malam, kamu nggak keberatan nyalain AC.
"Duhhh, kiw-kiw cikurukuk! Auranya beda banget yang abis pelukan di dalam mobil."Gauche menggoda Kevan dan Ciara yang baru saja ke luar dari mobil.Kevan menggenggam erat tangan Ciara sambil cengengesan. Sedangkan Ciara senyum malu-malu. "Ini Neng Cia?" tanya Gauche, dia meniup kedua telapak tangan, lalu menggeseknya. "Kenalin, nama Abang Gauche Diablo. Panggil aja Abang ganteng Gauche."Ciara menatap Kevan ketika Gauche mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Kevan tertawa. "Dia nggak biasa salaman gitu, Bang," kata Kevan menyahuti ucapan Gauche. "Dia kalau kenalan yaa ... biasanya aja tanpa salaman."Gauche tidak melepaskan pandangannya dari Ciara. Dia akhirnya bisa bertemu dengan gadis impian Kevan. "Alamak! Gitu toh? Berasa aku itu virus."Ekspresi wajah Gauche yang lucu membuat Ciara tertawa. "Ha! Ha! Ha!""Pengantin di mana, Bang?" tanya Kevan. "Di dalam rumah Inura," jawab Gauche. "Dangdut udah mulai, Van. Aku udah lihat biduan baru yang Glen bilang bohay."Kevan geleng
"Gimana nggak kusut, Van? Abis ijab qabul, bukannya lega, aku malah stres," jawab Glen sambil menyandarkan punggungnya di kursi."Aku tahu," kata Kevan. "Bang Gauche udah cerita ke aku. Jadi, kamu belum lunasin semua tagihannya?"Glen mengangkat kedua bahunya. "Belum, Van. Orang tenda udah marah-marah. Belum lagi, dangdut harus aku bayar malam ini juga. Kasihan biduannya belum aku bayar. Daritadi aku coba pinjam ke sana-sini."Glen melirik Inura yang sedang berjalan membawa piring untuk Ciara. "Kasihan Inura. Mas kawinnya terpaksa dijual lagi. Itupun masih belum cukup."Kevan menemukan percikan cinta di kedua mata Glen. Dia paham dengan apa yang dirasakan temannya. "Berapa nomor rekening kamu, Glen?" tanya Kevan segera. Dia tidak ingin mengulur waktu. Glen belum sempat menjawab. Datanglah segerombolan orang yang terdiri dari pria dan wanita.Wanita gemuk dengan rambut sebahu bertanya, "Bang Glen, gimana? Udah ada belum uangnya? Kapan tenda saya dibayar lunas sama tata rias penganti
"Pastilah, Neng," sahut Ridwan. "Karena artisnya bukan sembarangan. Tapi, artis ibukota yang cantik dan punya bakat."Ciara terlihat tidak paham. Namun, Ridwan mengabaikannya. Dia memilih fokus kepada Kevan yang sedang mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya. "Sudah aku transfer. Silakan diperiksa, Bang!"Kevan menyodorkan ponselnya kepada Ridwan. Juragan dangdut tersebut pun melihat bahwa proses transfer di ponsel Kevan sudah berhasil. Semua orang pun melihatnya dengan jelas."Iya, udah masuk uangnya, Bang," kata Ridwan. "Makasih, ya.""Mana kwitansinya, Bang?" Pertanyaan yang sama dilontarkan Ciara kepada Ridwan. Dia juga menengadahkan tangannya."Sebentar, Neng! Abang udah siapin di tas selempang. Abang ambil dulu."Ridwan merogoh tas selempang yang dikenakannya. Tidak lama kemudian, dia memberikan selembar kwitansi kepada Ciara."Silakan ambil, Neng!"Ciara mengambil kwitansi dari tangan Ridwan. Kemudian, dia memeriksanya."Gimana, Cia? Bener nggak nominal rupiahnya?" tanya Kev