"Aduh!" Ciara histeris. Dia terjatuh dari anak tangga nomor dua dari bawah. Hari-hari telah berlalu sejak Kevan dan Ciara pergi ke acara pernikahan Glen dan Inura. Pagi ini, Ciara mencari Kevan dan tidak menemukan keberadaan pria itu."Non Cia!" teriak Bima. "Kakinya sakit? Apa lagi yang sakit?"Bima segera berlari menolong Ciara. Dia melihat Ciara meringis kesakitan.Wajah Ciara terlihat pucat. Dia terlalu lemah berjalan tanpa bantuan siapapun."Kak Kevan mana?" tanya Ciara lemah. Tepat saat itu juga, Kevan datang bersama kedua orang tua Ciara. Dia melihat Ciara sedang menahan sakit."Cia!"Kevan refleks memanggil nama pacarnya tanpa sebutan Nona. Di belakang Kevan, Rudi dan Felicia berdiri kaku memandangi putrinya. Kevan berlari menghampiri Ciara yang terduduk di lantai bersama Bima."Cia kenapa, Bim?" tanya Kevan cemas.Bima menatap Kevan dengan bingung. Dia terkejut dengan cara Kevan memanggil Ciara. "Bim, Cia kenapa? Jawab dong!" Kevan mengulangi lagi pertanyaannya. Dia memeri
"K.C Tobacco."Kevan baru saja memberi tahu nama baru untuk perseroan tembakau miliknya. Entahlah! Siapa yang tahu arti nama tersebut!"Kevan Ciara Tobacco? Itulah kepanjangannya?" tanya Ziyad menebak-nebak. Kevan tidak membalas. Dia hanya tersenyum dengan sangat lebar. "Astaga! Jadi bener itu kepanjangannya? Kevan Ciara Tobacco? Anda bener-bener udah cinta mati sama Nona Cia!""Kamu pasti akan lakukan apapun demi Istri, kan? Ya, aku juga sama. Dia itu calon Istriku. Ibu dari anak-anakku kelak. Aku akan kasih semua yang aku punya buat dia."Kevan melihat Ziyad hanya diam. Namun, detik berikutnya Ziyad membuka mulut, "Kalo gitu, Anda harus buru-buru mengungkapkan identitas asli di depan Nona supaya nggak ada salah paham."Sekarang, Kevan yang diam. Dia memikirkan cara untuk mengungkapkan jati dirinya di hadapan keluarga Darwin. 'Apa keluarga Darwin akan terima aku? Apa mereka akan memperlakukan aku seperti sekarang?' Kevan mulai banyak memikirkan hal di masa depan. Dia cemas. Dia t
"Ha! Ha! Ha!"Tawa Kevan pecah. Karena baginya, Ciara terlalu lucu dan menggemaskan saat mengatakan hal barusan. Ciara menganggap Kevan tidak mendengar perkataannya dengan serius. Dia cemberut. Wajahnya kembali memancarkan aura tidak suka."Kak! Aku tuh serius!"Ciara memang galak, seperti kata kebanyakan orang. Namun, sikapnya bisa berubah ketika bersama Kevan. Felicia tidak benar-benar pergi dari halaman belakang. Dia berdiri melihat kebersamaan Kevan dan Ciara sambil menangis."Nyonya, Anda kenapa?" tanya Bima begitu memergoki Felicia menangis. "Anda sakit?"Felicia buru-buru mengusap air matanya. Dia menjawab, "Oh, nggak, Bim. Saya baik-baik aja."Bima tahu, Felicia berbohong. Namun, dia mencoba mengerti. "Nyonya, apa saya boleh ngasih tahu Anda sesuatu?" tanya Bima lagi."Tentang apa, Bim? Ngomong aja!"Felicia menatap Bima dengan pandangan serius."Nona Cia itu nggak suka ngomong sama saya. Dia selalu ketus," kata Bima. Felicia terdiam. Kemudian, membalas, "Jangankan sama ka
"Silakan, Tuan Kevan!"Seorang penjaga lift VVIP menunduk begitu Kevan melangkah ke luar dari lift. Ciara dan kedua orang tuanya mengikuti langkah Kevan. Kevan memang tidak pernah membalas sapaan siapapun. Bukan sombong atau hal buruk lainnya. Namun, dia selalu menahan mual setiap kali berada di dalam lift. Ciara mempercepat langkahnya agar bisa berjalan berdampingan bersama Kevan. Rudi dan Felicia hanya bisa tersenyum setiap kali melihat tingkah anak mereka."Kak, kamu kok punya akses lift VVIP? Aku jadi tambah kagum sama kamu. Meskipun kamu itu jahil dan terkesan santai, tapi nyatanya ... selain dipercaya sama Mami dan Papi, kamu juga dipercaya sama majikan yang lain."Kevan dengan bangga berkata, "Ya iyalah. Aku kan Kevan Hanindra. Kamu baru sadar ya kalo aku sekeren itu?"Kevan menahan tawa begitu melihat raut wajah Ciara berubah masam. "Ah, lupain aja kalo aku ngomong gitu. Nyesel aku!"Kevan senyum-senyum. 'Pingin banget aku genggam tangan kamu, Cia. Apalah daya aku cuma seor
"Paradise Land dan Green Lake."Kevan telah selesai melihat-lihat dua rumah yang disodorkan Ziyad. Dia menatap asistennya."Oke, aku pilih Green Lake," ujar Kevan. Dia telah membuat keputusan."Oh, Green Lake? Saya pikir, Anda suka Paradise Land, Tuan?"Kevan mengambil ponsel canggihnya dari dalam saku celana. Lalu, memotret pemandangan malam dari lantai 11 kamar presidential suite."Paradise Land akses ke jalan raya cukup jauh. Jalanannya berliku." Kevan membeberkan alasan. "Aku takut kalau sewaktu-waktu Cia kambuh dan dia kenapa-kenapa! Aku nggak mau ambil resiko."Ziyad tertegun. Dia menelan ludah sambil menatap punggung tuannya. "Maafin saya, Tuan! Saya nggak kepikiran sama sekali ke arah sana." Meskipun Kevan tidak melihat, Ziyad tetap menundukkan kepala. "Apa Anda bener-bener beli rumah itu untuk Nona Ciara?" tanya Ziyad kemudian.Kevan membalikkan badan. Dia memeriksa hasil jepretannya."Udah jangan banyak tanya! Lakuin aja, Ziyad!""Ya, Tuan.""Mobil gimana?"Kevan teringat
"Cepat naik, ke punggung aku!" seru Kevan mendesak Ciara agar gadis itu naik ke punggungnya.Kevan berjongkok membelakangi Ciara. Dia berharap, Ciara tidak menolaknya."Nggak mau," tolak Ciara cepat-cepat. "Aku bisa jalan sendiri."Kevan yang kesal segera berdiri. Dia memutar tubuhnya dan menatap Ciara dengan sedikit jengkel."Dasar kepala batu!" Usai meluapkan kekesalan, Kevan segera menarik tubuh Ciara, lalu menggendongnya. "Aaaaishh!" Ciara yang terkejut hanya bisa pasrah."Kamu mau jatuh?" tanya Kevan kesal. Dia melihat Ciara diam saja. "Cepet pegang leher aku!"Ciara yang tidak pernah mendapatkan perhatian apa lagi perlakuan manis dari tunangannya, merasa canggung. Namun, dia memilih untuk tetap diam."Ciara Darwin! Kamu nggak ngehargain aku ya? Cepet lingkari kedua tangan kamu di leher aku supaya nggak jatuh!""Kakak galak!"Dengan terpaksa, Ciara melakukan keinginan Kevan. 'Nah, gitu! Aku kan seneng kalo romantis kayak gini, Ciul,' batin Kevan bahagia. Dia menyembunyikan seny
"Selamat, Sayang," ucap Jasmine begitu acara upacara wisuda Kevan telah selesai. "Selamat, Van. Papa dan Mama bangga banget sama kamu," ujar Theo.Hari ini adalah kali ke-2 Jasmine dan Theo menginjakkan kaki mereka di universitas Golden Baubau. Padahal universitas bergengsi ini sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Hanindra. Mereka sedang berada di halaman depan universitas Golden Baubau. Kevan dan keluarganya berniat akan mengabadikan momen membanggakan Kevan.Kevan menerima buket bunga dari Jasmine. Dia berkata, "Makasih, Ma, Pa. Makasih udah dateng lihat aku wisuda."Jasmine dan Theo memeluk anak tunggal mereka dengan rasa haru dan bangga. Mereka mulai mengambil beberapa foto untuk kenangan. Namun, mereka tidak sadar bahwa ada beberapa pasang mata yang mengamati. "Tian, aku mau ke sana." Cinta menunjuk Kevan dan kedua orang tuanya. Namun, Christian menggeleng. "Nggak," tolaknya. "Kamu ingat, nggak? Kevan nggak mau semua orang tahu identitasnya."Dabin yang selalu seti
"Van, kamu ngelakuin apa ke temanmu itu?" tanya Jasmine khawatir.Kevan tetap tersenyum menanggapi pertanyaan Jasmine. Dia menjawab, "Hanya sentil dia dikit, Ma. Kalau Mama dan Papa capek, duduk dulu di sini! Aku akan cari taksi setelah urusanku dan Malik selesai."Kevan menunjuk kursi besi panjang bercat hijau di belakang mereka. Jasmine dan Theo duduk di sana sambil memegangi piagam penghargaan dan piala Kevan.Merasa ada yang tidak beres, Malik menghampiri wanita yang berteriak. Sedangkan Kevan membiarkannya. Kevan menatap kedua orang tuanya dengan senyum."Ma, kenapa?"Wanita yang berteriak histeris itu ternyata ibu kandung Malik bernama Marthini Abriyanto.Semua orang sekarang menatap Malik dan ibunya yang bermake up tebal dengan pakaian yang modis. Sepatu high heels-nya berwarna senada dengan dress merah selutut yang dipakainya. Rambutnya yang pirang dipotong pendek tepat di bawah telinga. Marthini mengaktifkan mode speaker. "Marthini Abriyanto, saya tegaskan satu kali lagi. Ka