Sejenak aku terdiam. Bohong kalau jantungku baik-baik saja. Dia berdegub kencang, beriringan dengan hari yang berdesir indah. Mataku membalas manik hazel yang bersorot sendu. Senyumku mengembang dan berujung pada tawa tergelak. “Gombal boleh. Tapi jangan ngibul ketinggian. seruku sambil melayangkan telapak tangan ke lengannya. Dia berkelit, dan aku mengejarnya sampai dia mengaduh. Mataku mengedarkan pandangan, tepi jalan paving ini dipenuhi semak-semak tinggi “Mana ada lamaran di jalanan sepi seperti ini. Tidak romantis amat! Dasar gombal!” Langkah aku segerakan mendahuluinya. Sekilas, tangan ini menepuk dada, memastikan jantung dan hatiku di posisi aman. Huft! “Pak Alexander. Ternyata ada di sini. Saya mencari dimana-mana ingin memberi tahu kalau makan siangnya sudah siap.” Suara yang aku kenal, dan menjadikan alasanku untuk mempercepat langkah. “Mbak Raya!” Mau tidak mau aku berhenti. Pelan aku menoleh dan kedua orang itu melambaikan tangan, menyuruhku mendekat. Alex dan
Rasa tidak tahu diri ini semakin bertambah. Aku seperti wanita tua yang tidak peduli dengan kerutan yang mulai berbayang di sudut mata. Apalagi dorongan dari orang sekitarku yang semakin menguapkan rasa tidak percaya diri. “Cie …. Yang lagi pendekatan dan mulai jatuh cinta.” “Siapa?” tanyaku ke Mbak Leni. Aku berjongkok membelakangi, pura-pura merapikan file yang sudah aku tata tadi. “Kamu, lah.” Gerakan tanganku terhenti. Tidak mungkin kalau Mbak Leni tahu, aku sedang dekat dengan Alex. Selama ini aku berusaha bersembunyi dari teman-teman di perpustakaan ini. Tubuhku mundur dengan sendirinya, saat tiba-tiba dia ikut berjongkok sambil menelengkan wajah. “Siapa laki-laki itu? Bukan Jaka, kan?” Aku tertawa dan menggeleng. Dalam hati bersyukur ternyata Mbak Leni tidak tahu yang sebenarnya. Ini kesempatan aku berkonsultasi dengan senior yang berpengalaman dalam percintaan beda usia ini. “Kelihatan, ya, Mbak?” Aku berdiri. Tidak butuh lagi menyembunyikan diri dengan pura-pura. Dia
“Kamu sadis, ya. Terus yang tidak dipakai diapakan?” “Dibuang, Pak,” jawabku sambil mengambil lebah pejantan yang berukuran kerdil. Tanpa menolehpun, aku tahu ini aroma yang biasanya menguar dari tubuhnya. Wewangian aroma kayu yang menenangkan. Lembut, tidak menusuk penciuman, tapi justru langsung melesat mengobrak-abrik hati. Eh! “Hati-hati, Mbak Raya” serunya setelah mensejajariku. “Tidak apa-apa. Ini aman,” ucapku menoleh sekilas ke arahnya. Kemudian kembali meneruskan aktifitasku. Tadi, saat mendapati dia turun dari mobil, aku langsung berlari ke belakang. Memberi pesan ke Ria supaya tidak memberi tahu kalau aku di sini. Bukannya tidak suka, tetapi aku belum siap menata hati, dan menguatkan jantung yang sering tidak bisa diatur. “Aman bagaimana? Nanti kamu disengat seperti kemarin, bisa bahaya. Atau ingin aku gendong lagi, kah?” “Ck!” Aku melototkan mata ketika dia menyenggolkan siku ke lenganku. Aku menoleh ke sekitar. Pekerjanya Ria sudah menyingkir sambil senyum dikul
‘Akhirnya aku bisa bebas!’ ucapku dalam hati. Aku memangku tas dan bersandar ke kursi. Sekarang aku di bis umum yang menuju arah stasiun. Tentu saja setelah berdebat dan berujung melarikan diri saat ada bis yang melintas. “Kalau begitu aku antar,” ucap Alex setelah aku menjawab kenapa ibu menelpon. “Tidak usah. Kebetulan stasiun tidak jauh dari sini. Saya naik angkutan umum saja,” ucapku sambil berkemas. Botol madu aku masukkan ke dalam tas. Ini lebih praktis dari pada membawa banyak tentengan. “Mana bisa aku membiarkan kamu dan ibumu berdesak-desakan di bis.” Aku tersenyum, ada rasa senang mendapat perhatian lebih darinya. Biasanya, cowok akan menggerutu kalau ada orang tua kita yang menyoal. Mengganggu, katanya. “Terima kasih. Nanti setelah bersama ibu, aku memesan taxi onlen.” Kata aku mulai menggantikan kata saya setelah kami sepakat memanggil nama saja. Ini terasa lebih ringan, dan mengikis kecanggungan. “Pokoknya tidak.” Aku tertawa. Kemudian mengedarkan ke sekitar. Mob
Sikap Ibu seperti orang yang doanya terkabul. Sesampai di rumah, tidak dibiarkan Alex langsung pulang. Tanpa canggung, ibuku menyeret lelaki yang selalu menebarkan senyuman untuk duduk di kursi tamu. “Bu. Alex itu kerjaannya banyak,” ucapku berusaha memisahkan mereka. “Ini sudah sore, Raya. Kantor mana yang memperkerjakan karyawan sampai petang gini. Bisa dilaporkan dinas tenaga kerja. Ayok, Nak Alex. Ibu punya banyak oleh-oleh.” Aku seperti anak tiri, oleh-oleh yang seharusnya untukku seorang, sekarang justru dibeber di depan CEO Brondong ini. “Bukannya ini untuk Raya, Bu?” “Raya sudah sering mendapatkan ini. Dia sudah bosan. Kalau Nak Alex kan baru sekarang. Ayo pilihyang mana? Ibu tinggal bikin minum, ya. Ibu bawa minuman ramuan untuk pegel linu.” ‘Dasar penjilat,’ runtukku dalam hati. Lelaki bocah ini, meraih tangan ibu sambil berucap ala pencari muka. “Duduk saja. Ibu pasti pegal perjalanan jauh. Saya tidak haus, kok. Lain kali kalau akan berkunjung ke sini, telpon saya u
Canggung. Itu yang menguar di mobil besar ini. Dalam perjalanan sampai tiba di rumah pun, kami diam tak berbincang. Rasa serba salah karena kejadian tadi benar-benar menciptakan jarak. Sampai di hunianku, kawasan mulai sepi. Memang tempat aku menjadikan pilihan karena lingkungannya tidak terlalu padat dan nyaman.Lampu depan sudah menyisakan keremangan, pertanda ibu sudah merajut mimpi di kamar. Tangan ini yang sedari awal meremat sabuk pengaman, mulai mengendur. Kami sudah sampai, dan aku bisa mengistirahatkan jantungku yang berjingkrak tak karuan.“Raya.”“Hmm ...?”Dia tidak kunjung berucap, justru melepas sabuk pengaman dan mengarahkan badan ke arahku.“Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa dari pertama kita bertemu aku berupaya dekat denganmu?”Hatiku bersorak. Akhirnya, rasa penasaranku sebentar lagi terbayar.“Iya. Aku sangat penasaran. Kamu bukan laki-laki yang tidak laku atau susah memilih wanita. Tanpa kamu berusahapun, wanita cantik, pintar, mempunyai kelebihan akan berkerub
Aku terbangun, di sebelahku ibu masih tertidur dengan ponsel di genggaman. Senyumku terbersit mengingat tadi malam. “Malam-malam kok masih telponan, to, Nduk. Apa tidak tidur?” “Iya, Bu. Ini Alex sungkan karena tadi tidak pamit,” jawabku sekenanya. Tidak mungkin aku bilang, kami telponan gara-gara dia kirim pesan- aku kangen. Justru ini awal mula kejadian. Ibu justru bergabung video call dengan kami. Dari ruang depan, dan pindah ke dalam kamar. Pembicaraan yang lama-lama didominasi, membuatku tersingkir dengan teratur. Entah sampai pukul berapa ibu dan Alex berbincang. Aku pun tidak kuat, menyerah, dan tertidur. Jarum jam menunjuk angka tiga, aku masih ada waktu untuk menulis. Sekali lagi aku menatap ibu. Wajahnya yang menunjukkan usia, terlihat damai dengan senyum tersungging. Mungkin bermimpi bertemu bapak, atau justru memimpikan terkabul keinginannya. Bersalaman di resepsi pernikahan dengan membusungkan dada, seolah menyatakan kalau anak semata wayangnya bukan wanita yang tida
“Aku turun di sini,” seruku sambil menunjuk gerbang kampus yang sudah dekat.“Kenapa?”“Pokoknya__”“Iya, iya,” jawabnya, kemudian memelankan mobil dan akhirnya berhenti.Di depan ATM, tidak jauh dari pintu gerbang. Untuk ke perpustakaan, aku lumayan jauh berjalan. Akan tetapi tidak apalah, dari pada mendapat tatapan aneh dari orang-orang. Raya yang biasanya naik ojek onlen, sekarang naik mobil. Itupun mobil aneh yang jarang ditemui di parkiran kampus. Mungkin, malah tidak pernah.Kalau dosen membawa mobil seperti yang dikendarai Alex, bisa mendapat dakwaan korupsi. Diusut tuntas asal muasal harta dan bisa jadi berujung di balik terali besi.“Kamu malu diantar kekasih sepertiku?”Aku tertawa. “Belum waktunya kita terlihat bersama. Terus, memang sejak kapan kita menjadi sepasang kekasih?”Dia menatapku lekat, kemudian senyum dikulum.“Tadi malam bukankan kita sudah melakukan seperti sepasang kekasih? Aku pun sudah menyatakan I love you.”“Alex. Mana bisa itu menjadi awal sebuah hubung