Terima kasih kisah Raya dan Alex. Pasangan dengan wanita lebih tua, mempunyai tantangan yang berbeda. Ikuti keseruan mereka, ya. Jangan lupa memberi komentar dan taruh bintang lima untuk menambah semangat.
Sikap Ibu seperti orang yang doanya terkabul. Sesampai di rumah, tidak dibiarkan Alex langsung pulang. Tanpa canggung, ibuku menyeret lelaki yang selalu menebarkan senyuman untuk duduk di kursi tamu. “Bu. Alex itu kerjaannya banyak,” ucapku berusaha memisahkan mereka. “Ini sudah sore, Raya. Kantor mana yang memperkerjakan karyawan sampai petang gini. Bisa dilaporkan dinas tenaga kerja. Ayok, Nak Alex. Ibu punya banyak oleh-oleh.” Aku seperti anak tiri, oleh-oleh yang seharusnya untukku seorang, sekarang justru dibeber di depan CEO Brondong ini. “Bukannya ini untuk Raya, Bu?” “Raya sudah sering mendapatkan ini. Dia sudah bosan. Kalau Nak Alex kan baru sekarang. Ayo pilihyang mana? Ibu tinggal bikin minum, ya. Ibu bawa minuman ramuan untuk pegel linu.” ‘Dasar penjilat,’ runtukku dalam hati. Lelaki bocah ini, meraih tangan ibu sambil berucap ala pencari muka. “Duduk saja. Ibu pasti pegal perjalanan jauh. Saya tidak haus, kok. Lain kali kalau akan berkunjung ke sini, telpon saya u
Canggung. Itu yang menguar di mobil besar ini. Dalam perjalanan sampai tiba di rumah pun, kami diam tak berbincang. Rasa serba salah karena kejadian tadi benar-benar menciptakan jarak. Sampai di hunianku, kawasan mulai sepi. Memang tempat aku menjadikan pilihan karena lingkungannya tidak terlalu padat dan nyaman.Lampu depan sudah menyisakan keremangan, pertanda ibu sudah merajut mimpi di kamar. Tangan ini yang sedari awal meremat sabuk pengaman, mulai mengendur. Kami sudah sampai, dan aku bisa mengistirahatkan jantungku yang berjingkrak tak karuan.“Raya.”“Hmm ...?”Dia tidak kunjung berucap, justru melepas sabuk pengaman dan mengarahkan badan ke arahku.“Kamu pasti bertanya-tanya, kenapa dari pertama kita bertemu aku berupaya dekat denganmu?”Hatiku bersorak. Akhirnya, rasa penasaranku sebentar lagi terbayar.“Iya. Aku sangat penasaran. Kamu bukan laki-laki yang tidak laku atau susah memilih wanita. Tanpa kamu berusahapun, wanita cantik, pintar, mempunyai kelebihan akan berkerub
Aku terbangun, di sebelahku ibu masih tertidur dengan ponsel di genggaman. Senyumku terbersit mengingat tadi malam. “Malam-malam kok masih telponan, to, Nduk. Apa tidak tidur?” “Iya, Bu. Ini Alex sungkan karena tadi tidak pamit,” jawabku sekenanya. Tidak mungkin aku bilang, kami telponan gara-gara dia kirim pesan- aku kangen. Justru ini awal mula kejadian. Ibu justru bergabung video call dengan kami. Dari ruang depan, dan pindah ke dalam kamar. Pembicaraan yang lama-lama didominasi, membuatku tersingkir dengan teratur. Entah sampai pukul berapa ibu dan Alex berbincang. Aku pun tidak kuat, menyerah, dan tertidur. Jarum jam menunjuk angka tiga, aku masih ada waktu untuk menulis. Sekali lagi aku menatap ibu. Wajahnya yang menunjukkan usia, terlihat damai dengan senyum tersungging. Mungkin bermimpi bertemu bapak, atau justru memimpikan terkabul keinginannya. Bersalaman di resepsi pernikahan dengan membusungkan dada, seolah menyatakan kalau anak semata wayangnya bukan wanita yang tida
“Aku turun di sini,” seruku sambil menunjuk gerbang kampus yang sudah dekat.“Kenapa?”“Pokoknya__”“Iya, iya,” jawabnya, kemudian memelankan mobil dan akhirnya berhenti.Di depan ATM, tidak jauh dari pintu gerbang. Untuk ke perpustakaan, aku lumayan jauh berjalan. Akan tetapi tidak apalah, dari pada mendapat tatapan aneh dari orang-orang. Raya yang biasanya naik ojek onlen, sekarang naik mobil. Itupun mobil aneh yang jarang ditemui di parkiran kampus. Mungkin, malah tidak pernah.Kalau dosen membawa mobil seperti yang dikendarai Alex, bisa mendapat dakwaan korupsi. Diusut tuntas asal muasal harta dan bisa jadi berujung di balik terali besi.“Kamu malu diantar kekasih sepertiku?”Aku tertawa. “Belum waktunya kita terlihat bersama. Terus, memang sejak kapan kita menjadi sepasang kekasih?”Dia menatapku lekat, kemudian senyum dikulum.“Tadi malam bukankan kita sudah melakukan seperti sepasang kekasih? Aku pun sudah menyatakan I love you.”“Alex. Mana bisa itu menjadi awal sebuah hubung
Pasangan itu disebut pacaran, kalau ada deklarasi. Kalau belum, bagaimana bisa menyebut dia kekasihku?“Harus seperti itu, Raya? Apa yang yang kulakukan kurang menunjukkan kalau aku ini kekasihmu?”“Ck! Dasar anak kemarin sore. Negara merdeka saja ada proklamasi. Begitu saja kok tidak mengerti,” ucapku sambil mencuri pandang ke arahnya.Dia justru tertawa terbahak-bahak. Aku makin kesal. Dipikirnya ucapanku lawakan, apa?Banyolannya yang mengatakan aku ini cinta pertamanya saja, tidak aku tertawa. Bahkan itu masih menjadi beban pikiran.Coba kalau dia menyisihkan otak pintarnya untuk berpikir. Bukan dipenuhi dengan penelitian dan bisnis saja. Dia pasti tahu, kalau ada istilah ‘hari jadi.’ Setiap tanggal itu, pasangan akan merayakan. Bukan untuk pamer foto di media sosial, tetapi untuk menilik apakah hubungan baik-baik saja, sekaligus menjadi momen untuk mengucapkan syukur.Kalau tidak ada tanggal yang pas bagaimana? Misal ada yang tanya, jadian mulai kapan? Terus apa harus menjawab, m
Seperti lagu yang sering diputar ibu, penyanyi Vina Panduwinata itu mewakili apa yang aku rasakan. Hatiku berlomba menyanyikan lagu cinta. Dengan alasan yang masuk akal, aku menyelinap ke jajaran rak-rak buku.“Tidak lama kan, Yak?”“Tidak, Mbak. Cuma memastikan hitungan buku yang selisih,” ucapku tadi sambil beranjak.Aku mengambil buku Bioteknologi Pertanian. Buku tebal ini aku jadikan cover lembar kertas yang aku keluarkan dari amplop biru.Sesaat aku menghela napas, meredam jantung yang tak mau kalah dengan hati. Senyumku mengembang melihat tulisan yang terlalu indah untuk ukuran laki-laki. Tinta hitam ini seperti menari membentuk tulisan latin yang indah.Kata demi kata merajut dan perlahan melemparkan aku ke dunia lain. Tidak ada tumpukan buku atau rak-rak yang menjuang. Sepanjang mata memandang hanya ada taman bunga dengan kupu-kupu berterbangan. Bibirku tersenyum membaca keromantisan ala Alexander Dominic.~~Nayaka Raya, Saat mata ini membaca namamu, seketika itu juga otakk
Tidak peduli dengan tatapan heran Mbak Leni dan teman-teman lainnya, tangan ini dipaksa mengikutinya. Tidak mungkin aku berbuat drama dengan menolaknya. Terpaksa aku pasrah saat pintu mobil dibuka dan aku di dorong masuk. Sepintas, aku mendengar bisik-bisik mereka.“Saya duluan,” serunya sambil melambaikan tangan dan senyuman seperti biasa.Mobil hitam ini berjalan pelan, melewati jalan yang dipadati dengan karyawan yang bersamaan pulang. Namun, setelah masuk ke jalan raya, aku merasa kecepatan semakin bertambah.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Jarum penunjuk kecepatan bergeser dari angka seratus. Ingin berbicara. Akan tetapi melihat wajahnya mengeras. Aku pasrah sampai mobil berhenti dengan sendirinya.“Apa maksudnya ini?”Dia menunjukkan ponsel dengan menghujam tatapan tajam.Mataku mengerjap. Melihat wajahnya yang begitu serius, diri ini mengerut dengan sendirinya. Bukannya takut, tetapi rasa bersalah mendominasi.“A-aku bingung.”Dia memejamkan mata sambil menghela napas.“A
Aku merasa kehilangan raga dan tidak menapak di bumi. Mata ini tetap tertuju pada bukti kisah cinta pertama. Mungkin bagi orang lain ini terlihat romantis, tapi bagiku ini patut disembunyikan."Kenapa, Ray?".Kedua tangan besarnya menangkup bahuku dan menghadapkan badan ini ke arahnya. Manik hazel menilik tajam memaksa diriku untuk menatapnya seorang."Aku mau pulang sekarang," ucapku kemudian mengurai kedua tangannya, dan bergegas berdiri.“Raya! Kita perlu bicara.”“Bicara apa? Aku sudah tahu kalau aku terlalu tua untuk kamu!”Tak kuindahkan panggilan Alex. Langkah cepatnya tergesa untuk mensejajariku yang setengah berlari. Tujuanku hanya satu, segera berkemas dan pulang. "Raya!" teriaknya sembari mencekal tanganku.Mungkin dia kebingungan melihat reaksiku ini. Yang seharusnya tersenyum senang karena ungkapan cinta pertama yang tersematkan kepadaku, adalah nyata. Namun, kasusku ini lain. Dia jatuh cinta kepadaku disaat dia masih bocah, dan kenyataan yang tidak bisa diubah ini sema