Ann kembali hampir tengah malam dari jadwal pemotretannya. Ia memang sengaja menghindar agar tak bertemu tatap dengan Ben seusai ucapan ngelanturnya sore tadi. Beruntung, meski tak terlalu paham dengan ucapan Ann yang memintanya untuk tidak mati, Ben pergi begitu saja tanpa banyak bertanya lagi. "Ada jadwal sama perempuan laen kan dia pasti jam segini," gumam Ann sambil berjalan menuju kandang Chester, mengecek macan kumbang kesayangan itu. "Oke, semua to do list hari ini aman ya Chest," ucapnya melambai ringan pada Chester yang menatapnya dari tempat tidur hangat. Dari kandang, Ann berbelok ke pintu samping. Ia bertemu dengan Wanto, saling sapa sekenanya, baru masuk ke dalam rumah. Suasana rumah yang temaram sebenarnya cukup menyeramkan bagi Ann. Ia terbiasa hidup dalam gemerlap lampu dan sorot kamera, dan situasi semacam ini membuatnya sedikit ngeri. "Kenapa di rumah sih," keluh Ann hampir saja terlonjak kaget saat melihat Ben membuat suara di satu ruangan luas semacam tempat
"Curigaan amat sih. Enggak, aku ngerawat Chester, bukan kamu atau Om Taka, lagian aku nggak minat sama Om-Om. Kamu aja cukup jadi Sugar Daddy-ku," ucap Ann sembarangan. Mata Ben berkedip dalam frekuensi cepat. Terkadang, ia merasa tidak bisa mengimbangi apa yang tengah Ann ungkapkan, apalagi seperti yang Ann ucapkan sekarang. Ia yang jarang sekali berinteraksi dengan perempuan tentu kesulitan menangkap maksud ucapan Ann. "Masak apa jadinya?" tanya Ann mengalihkan bahasan, takut Ben menyadari sinyal tanpa sadar yang sudah dikirimkannya. "Tar juga tau," gumam Ben tanpa menoleh. Ann menghela napas panjang. Ketimbang banyak bertanya tapi jawaban Ben membuatnya gemas, ia memilih mengamati tangan lelaki itu bekerja. Tahu bahwa Ben sedikit kesulitan karena lukanya, Ann beranjak. Ia rebut pisau dari tangan Ben, dibantunya Ben membersihkan lobak dan memotong daging ayam. Sementara itu, Ben menyalakan kompor dan merebus air, juga menyiapkan komposisi bumbu yang akan dipakainya. "T
"Ini beneran lobak? Kok beda rasanya," gumam Ann sangat menikmati sup lobak ayam yang Ben buatkan. "Bedanya kalau di sini kamu tinggal makan, gratis. Kalau di rumah makan, kamu musti bayar," balas Ben ikut menyeruput kuah supnya. "Tapi ya Mas, aku sering makan lobak buat salad, ada kayak paitnya nggak sih? Kalau ini justru berasa kayak bengkoang." "Beda lobak lokal sama lobak Jepang. Ini namanya daikon, bokap favorit banget ngolah ini." "Pantes. Impor sih, jadi beda," Ann manggut-manggut. "Jadi berasa beda lagi karena kamu yang masak," tukasnya tersenyum sangat cantik. Ben hanya mengangkat pandangannya sebentar untuk menanggapi pujian Ann. Ia sudah sangat terbiasa mendengar banyak orang mengagung-agungkan dirinya, menghormatinya dan tunduk padanya. Pujian Ann padanya saat ini bukan apa-apa meski harus diakui Ben, Ann membuat suasana hatinya jauh lebih ceria. "Kenapa nggak mau nidurin perawan?" celetuk Ann tak terduga. Sebenarnya, pertanyaan ini terus berputar di otakny
"Jangan terlalu sentimentil lah, nggak suka aku atmosfer kayak gini. Naik sana, tidur. Aku juga masih ada urusan," kata Ben beranjak dari kursinya, ia tidak mau terjebak situasi yang akan semakin melemahkan hati dan jiwanya. Akhir-akhir ini, Ann benar-benar sukses meracuninya hingga hampir tak berdaya setelah sekian lama hatinya membeku karena Eriska. "Tangan kamu kudu diobatin dulu Mas," tahan Ann teringat pada telapak tangan Ben. "Kening kamu aja, ayok!" ajak Ben berjalan lebih dulu, ia berlalu dan naik ke tangga menuju kamar Ann. Ann menurut saja saat Ben mendahuluinya naik ke lantai dua. Ia buka pintu kamarnya dan Ben cukup takjub saat mendapati isi di dalam kamar sudah tertata rapi dan wangi. Sebelumnya, kamar yang ditempati oleh Ann ini adalah kamar milik Danisha, bungsu dari keluarga besar Yohan Takahashi. Kini, Danisha menetap di Jepang sana, ikut bersama sang kakek mengelola bisnis kuliner dan penginapan yang juga adalah warisan keluarga. "Kamu emangnya nggak puny
Pasca ciuman mendebarkan itu, Ben tidak pulang ke rumah dan tidak bertemu dengan Ann tiga hari lamanya. Ann bersyukur karena itu, setidaknya ia bisa menata hatinya. Ben memang dingin, asal-asalan, tapi Ann tidak bisa mengingkari bahwa ciuman malam itu membuat hatinya cukup berantakan. "Ann, ditunggu di ruang transit dua ya, ada yang pengin ngobrol," kata Choky, perwakilan agensi yang bertindak sebagai perwakilan Ann dan Tiara, anak baru yang direkrut belum lama ini juga. "Siapa Kak?" tanya Ann menoleh bingung. Apa Ben? Mengapa perlu melalui Choky lebih dulu jika ingin bertemu? "Nanti juga lo tau. Temuin sekarang ya, beliau nggak punya banyak waktu," tukas Choky seraya berlalu. Ann menghela napas panjang. Tadi pagi, ia baru saja menyelesaikan empat kelas kuliah yang melelahkan. Sore harinya, ia harus tampil di Queen's Diary dan standby untuk 4 jenis pakaian dalam berbeda. Kini, setelah tak melihat Ben di antara para member eksklusif sepanjang acara, apa ia harus menemui Ben
"Kita pulang beneran Mas?" tanya Ann memberanikan diri. "Rino tadi mana?" tanya Ben balik, ia menoleh ke belakang tanpa melihat Ann. "Itu!" kata Ann menunjuk ke arah lobi. Dari sana terlihat Arino setengah berlari membawakan tas milik Ann. "Cuma ini kan?" tanya Arino terengah. "Iya, makasih Bang," ucap Ann tersenyum, sorot matanya jelas bertanya-tanya sekarang. "Lo urus sama Choky masalah ini, Rin," kata Ben setelah menghela napas panjang. "Tuntut mereka kalau bisa," tegasnya. "Siap!" jawab Arino sigap. "Nyetir sendiri?" tanyanya. "Hem," desis Ben mengangguk lemah. Tak ada obrolan lagi hingga mobil datang dan Ery turun dari kursi kemudi. Arino dengan sigap membukakan pintu penumpang di depan untuk Ann, ia hanya memberi kode dengan menggerakkan kepalanya. Mood Big Ben sedang tidak baik, jadi, semua orang memilih untuk tidak banyak bicara. Suasana di dalam mobil saat perjalanan juga hening. Ben sama sekali tak bicara, begitupun Ann yang takut untuk mengajak mengobrol. S
Ben sengaja meletakkan pisau dapur yang tengah dipegangnya saat Ann datang menyusul. Gadis ini bahkan tidak mengenakan dress-nya lagi, hanya menutupi rapat tubuhnya dengan jas kepunyaan Ben. Ia duduk di kursi meja makan, enggan menatap lelaki yang kini tengah menyorotnya tajam. "Kenapa?" gumam Ann pura-pura sibuk menata sendok di tempatnya. "Kenapa nggak pake baju?" tanya Ben lantas sibuk meracik masakannya lagi. "Nanti kamu nggak puas liatnya. Makanya sengaja nggak aku pake dulu. Biar kamu makan pake lauknya ngeliat aku," sindir Ann menohok. "Terserahmu," balas Ben sekenanya, tak ingin terlibat perdebatan yang bisa menyulut emosinya lagi. "Ada apa sama Patra? Kenapa kamu marah banget pas tau aku berurusan sama dia?" tanya Ann selalu tak bisa menahan rasa penasarannya. "Dia musuh bisnis," balas Ben. "Musuh bisnis? Semua orang yang jadi member bukannya musuh bisnis juga? Kenapa kamu galak banget sama dia? Kalian ada masalah serius dan bukan cuma soal kontrakku kan
Ann mendesah lemah mendengar jawaban Ben yang mengecewakan itu. Sebenarnya, ia tahu, Ben menyembunyikan banyak hal darinya. Lelaki ini sangat misterius, dingin, tapi hangat di dalam, perhatian dan mudah iba pada perempuan. Ben membungkus dirinya dalam sikap seperti kutub utara agar tak ada yang mendekat dan terlalu ikut campur dalam urusannya. "Minggu depan boleh aku pulang ke Semarang tiga hari? Kebetulan ada libur di show dan aku nggak ada jadwal laen. Aku pengin jenguk seseorang," kata Ann mengganti topik. "Tiga hari terlalu lama," balas Ben. "Tiga hari buat setahun kemudian aku udah nggak akan pulang ke Semarang lagi, Mas," desak Ann setengah memohon. Sesekali ia suap mie hangat buatan Ben yang rasanya sangat nikmat. "Dua hari, nggak lebih," kata Ben tak terbantahkan. "Oke," jawab Ann lemah. "Mas, kamu kursus masak ya? Bisaan banget masak yang seger-seger gini," pujinya. "Buat bisa bertahan di duniaku, kamu harus bisa apa aja, kamu kudu bisa ngandalin diri kamu sendiri,