"Kalian bisa makan bareng sama hewan yang matanya aja udah siap nerkam kalian gini?" bisik Ann saat Ben menggiringnya masuk ke ruang makan.
"Kamu lupa tadi sebelom masuk kusuruh kamu buat apa?" gumam Ben melirik Ann yang duduk di sebelahnya. Ann segera memanyunkan bibir dan membuat gerakan tengah mengunci bibir dengan jemarinya. Ia tak melepas tatapan dari macan kumbang di sebelah lelaki seram itu. "Aku Taka," sebut lelaki seram bertato di seberang Ben ini. "Semua hidangan di meja ini, aku sendiri yang mengolahnya, kamu boleh mencicipinya," tambahnya dengan senyum misterius ke arah Ann. "Makasih, Om," jawab Ann memaksa senyum. "Barang bagus," gumam Taka manggut-manggut, ia menatap Ben tak berkedip. "Namanya Joanna," sebut Ben. Ia mengambil sesendok salad sayur di mangkok besar, "masih kuliah," terangnya. "Jurusan apa?" tanya Taka beralih pada Ann. "Keperawatan, Om," desis Ann singkat. Ia takut akan tiba-tiba diterkam si macam kumbang jika salah bicara atau membuat gerakan yang tiba-tiba. "Chester nggak akan gigit," bisik Ben seolah memahami kekhawatiran Ann. "Dia nggak doyan daging perawan," ledeknya tertawa meremehkan. "Kalian bertiga mirip, nggak tuannya, nggak kucingnya!" sungut Ann mendumal, ia ikut mengambil hidangan di meja. Terlihat sekali bahwa semua yang dimasak oleh Taka adalah hidangan dengan gaya Jepang. "Aku harus pergi," Taka tiba-tiba berdiri, "sengaja meluangkan waktuku untuk ngeliat siapa yang Ben bawa ke sini. Selamat datang di rumah besar, semoga betah," katanya lantas berlalu tanpa berucap lagi. Sepi. Ann kembali mengitarkan pandangannya dan ia masih enggan bergerak karena si macan kumbang tak beranjak dari tempatnya meski Taka sudah hilang dari pandangan. Sementara Ben tampak asik menikmati makanannya, tak terlalu memedulikan Ann yang kebingungan. "Jadi kamu mau ngejual aku lagi ke Om-Om bangkotan tadi?" tanya Ann tak tahan juga untuk bertanya. Ben menghentikan kunyahannya dan meletakkan sumpit di tangannya. Ia tatap Ann tajam, penuh perhitungan. "Karena aku nggak bisa kamu tidurin terus kamu jual aku ke Om Taka itu?" sengal Ann tak sabar menunggu jawaban. "Papa kandung, ada darahnya yang ngalir di tubuhku dan dia biasa kupanggil Papa," jawab Ben tenang sekali. "Dia punya istri yang pantang buat diselingkuhin apalagi buat ditinggal nidurin perawan kayak kamu!" lanjutnya membungkam Ann seketika. Suasana sepi lagi. Ben tampak melanjutkan aktivitas makannya, sebelah tangan kirinya melambai pada Chester. Macan kumbang besar itu beringsut dari posisinya dan mendatangi sang pemanggil, ia menjulurkan kepala begitu manja seperti seekor kucing. Ann di sebelah Ben sudah menahan napas ketakutan sejak awal Chester bergerak mendekat. "Biar kamu berguna dan nggak ngerugiin perjanjian kita, kamu punya tugas buat ngerawat dia," tukas Ben melanjutkan ucapannya setelah ia benar-benar selesai makan. "Dia udah punya istri, udah gede juga, kenapa harus aku yang ngerawat?" sangkal Ann merasa aneh. "Bukan dia Papa Taka, tapi dia ini!" Ben sengaja mendorong Chester lebih dekat pada Ann, "kewajibanmu cuma mastiin makanannya, jadwal makannya, kesehatannya, dan jadwal dia periksa kesehatan. Masalah kotoran dan kandang, itu ada orang laen yang urus," terangnya. "Kamu pasti lagi bercanda!" terdengar Ann tertawa gamang. Ini lelucon, bukan? "Apa mukaku keliatan lagi ngelawak? Aku serius dan aku nggak mau ada penolakan!" "Jelas aku nolak!" sengal Ann spontan, ia lupa bahwa di sebelahnya ada dua predator gila yang siap menerkam. "Aku lagi mau mulai berkarir, aku juga harus kuliah, sementara kamu maen nyuruh-nyuruh aku buat ngerawat hewan yang sedetik ke depan bisa aja nerkam dan nyabik-nyabik badanku? Kamu gila! Aku masih sayang sama nyawaku sendiri!" cecarnya. "Kalau gitu, kamu bayar penalti pelanggaran kontrak. Selesai!" sahut Ben tak acuh. 'Duit bukan gue yang butuh ini.' "Ini penyiksaan namanya! Pemaksaan!" "Kamu yang mutusin buat terjun ke duniaku, dunia di mana kamu nggak punya hak buat nolak sedikitpun." "Diktator!" cerca Ann emosional. Teriakan Ann memicu geraman Chester, membuat hewan buas ini menatap Ann dengan pupil matanya yang menipis, sangat mengancam. Tentu saja Ann membeku langsung, bibirnya bergetar hebat menahan marah, tapi juga dilanda ketakutan yang susah-payah diatasinya. "Dia mau ngapain?" bisik Ann berusaha untuk tidak bergerak, ia melirik bergantian Ben dan Chester yang perlahan mendekatinya. Ben terdiam, matanya yang bergerak mengawasi pergerakan Chester. Sedangkan macan kumbang kesayangan keluarga besar itu terus mengincar Ann, kumisnya bergerak-gerak mengendus aroma perawan yang Ben bawa sebagai calon perawatnya. "Mas!" pekik Ann tak bisa lagi menahan ketakutannya, ia bangun dari duduknya, mendekati Ben dan berlindung di belakang punggung lelaki tinggi menjulang ini. "Do something! Kamu seneng ngeliat dia nyabik-nyabik gue di depan mata kepalamu?" protesnya bingung dan secara tanpa sadar, ia sudah memeluk erat pinggang Ben. ###"Cukup Ches," kata Ben begitu tenang dan pelan, "Ann nggak akan nolak jadi perawatmu, kita bujuk pake cara halus dulu, kalau dia nggak mau, lakukan semaumu," ucapnya lagi. Bak paham apa yang Ben bicarakan, Chester langsung duduk dan menopang dagunya. Pupil matanya sudah kembali normal, ia menjilat kaki depannya dan sengaja bersikap sangat imut. Sementara Ann tak berani menampakkan diri, nyaman di tempat yang sangat terlindungi. "Jangan pernah nolak Chester atau dia yang bakalan maksa kamu buat nerima dia," ucap Ben menoleh gadis yang masih bersembunyi di punggungnya sembari memeluknya itu. "Dia yang memilihmu, jadi jangan berani-berani buat bikin dia jadi pilihan," katanya ambigu. "Ah," tersadar, Ann segera melepas pelukannya. Ia pura-pura menegakkan dagu, tak ingin diremehkan oleh Ben. "Masa hewan ngeri begini disuruh ngerawat kucing rumah kayak aku. Mas, kamu nggak serius kan?" "Kadang hewan justru lebih manusiawi ketimbang manusia itu sendiri." "Tapi tetep, dia bisa aja ny
"Pokoknya selama 1 bulan, kamu harus sama aku, setelah aku bener-bener yakin Chester nggak bakalan makan aku, baru kamu bebas tugas," ucap Ann membuat syarat. "Chester udah duduk santai, sampe kapan kamu bakalan meluk aku gini? Enak? Anget?" ucap Ben tak menjawab syarat yang Ann ungkapkan. "Ya Tuhan!" cepat-cepat Ann melepas pelukannya. 'Nyaman banget sih lo!' "Dan enggak! Aku sama sekali nggak setuju sama syarat kamu." "Harus setuju, karena ini berhubungan dengan nyawa dan di kontrak kita nggak ada klausul yang bunyinya harus berkorban nyawa!" ucap Ann bersikukuh. Ben menghela napas panjang. Ia basahi bibirnya sebentar sambil berpikir, bukankah akan lebih merepotkan jika ia setuju dengan syarat dari Ann? Namun, bukan hanya kehilangan uang yang ia takutkan, kenapa ada hal lain di dalam dirinya yang mencegahnya untuk membatalkan kontrak dan menemukan ide tak masuk akal ini? Chester sama sekali tidak membutuhkan manajer yang harus mengatur jadwal dan kegiatannya. "Cuma k
"Dia udah kenal sama kamu, baumu udah dikenali. Inget! Chester nggak akan nyerang kalau nggak ada yang mulai duluan. Itu aturan penting yang nggak boleh kamu langgar," tukas Ben terdengar tegas tapi Ann merasa ini adalah kalimat terlembut yang pernah Ben ucapkan padanya. Ann mengangguk lemah, ia bak tengah dihipnotis oleh mata indah Ben dan Chester, kehilangan suara. Ternyata inilah yang para seniornya ungkap mengenai pesona Ben, lelaki ini luar biasa dalam kemisteriusannya. "Sekarang anter aku pulang ya," pinta Ann masih bernada sedikit manja. "Aku ada urusan, kamu dianter Ery," jawab Ben. "Cek di rekening kamu satu jam dari sekarang, kujamin kompensasi pertemuan kita hari ini udah bisa kamu pake," tambahnya. "Aku tunggu kamu selesai sama urusan kamu aja kalau gitu," ucap Ann mengejutkan. 'Gue kenapa sih? Kenapa musti nunggu tugu jam ini?' "Sepuluh juta untuk kompensasi kurang? Kamu butuh berapa?" "Bukan gitu," Ann menggeleng cepat, jemarinya masih asik membelai kepala Che
Seperti tanggapan Ben sebelumnya, ia memilih diam saat Ann berusaha menggodanya. Dan hari ini, di saat Ann dibantu Ery dan David membawa barang-barangnya ke kediaman sang Big Ben, lelaki tampan yang meminta Ann untuk tinggal di sana itu justru tak muncul. Ann hanya bertemu dengan Wanto, pawang Chester dan juga Edgar, sang dokter hewan kepercayaan. "Big Ben jarang di rumah ini, seminggu dia biasanya datang 2 kali aja," terang Edgar sambil membawa Ann keliling kandang Chester sambil mengamati kondisi sekitar. Kandang macan kumbang kesayangan keluarga itu sengaja dibangun di halaman belakang. Yang membuat Ann takjub, tidak hanya macan kumbang satu-satunya hewan yang menghuni kandang. Ada dua harimau siberia muda bernama Kenzo dan Luna. "Kenapa gitu? Dia lebih sering di hotel?" tanya Ann penasaran. "Itu salah satunya. Big Ben adalah orang super sibuk yang memang nggak pernah mengijinkan orang lain menyentuh bisnisnya. Selagi bisa, semua bakalan dia urus sendiri," sebut Edgar yang
"Kenapa dibiarin sampe kering gini darahnya?" gumam Ann begitu melihat luka gores cukup dalam menghiasi telapak tangan kanan Ben. "Pisau? Eh, nggak mungkin sepanjang ini kalau pisau doang sih. Ini pedang pasti, kamu kan samurai!" dumalnya nyerocos. "Urus aja barang-barang kamu, nggak usah ngurusin urusanku!" kata Ben ketus. "Aku udah liat ya! Sini!" Ann menarik Ben tanpa peduli ekspresi tak suka lelaki di seberangnya itu. "Aku obatin. Duduk dulu, bentar kucariin obatnya," desisnya otoriter. "Aku bukan bayi dan aku bisa ngobatin sendiri luka begini doang!" "Gimana caranya? Itu tangan kanan yang luka! Jangan ngeyel deh, kayak anak TK bentar napa, manis dikit." "Aku kidal." Ann tak menanggapi, ia lebih sibuk mencari persediaan obatnya. Anehnya, si tampan dingin kidal ini juga setia menunggu meski mulutnya menolak pengobatan yang akan Ann berikan. "Sampe begini?" desis Ann melotot galak. "Ini sih emang nggak niat diobatin," sungutnya. Ben balas diam. Ia bergeser sedikit karen
Ann kembali hampir tengah malam dari jadwal pemotretannya. Ia memang sengaja menghindar agar tak bertemu tatap dengan Ben seusai ucapan ngelanturnya sore tadi. Beruntung, meski tak terlalu paham dengan ucapan Ann yang memintanya untuk tidak mati, Ben pergi begitu saja tanpa banyak bertanya lagi. "Ada jadwal sama perempuan laen kan dia pasti jam segini," gumam Ann sambil berjalan menuju kandang Chester, mengecek macan kumbang kesayangan itu. "Oke, semua to do list hari ini aman ya Chest," ucapnya melambai ringan pada Chester yang menatapnya dari tempat tidur hangat. Dari kandang, Ann berbelok ke pintu samping. Ia bertemu dengan Wanto, saling sapa sekenanya, baru masuk ke dalam rumah. Suasana rumah yang temaram sebenarnya cukup menyeramkan bagi Ann. Ia terbiasa hidup dalam gemerlap lampu dan sorot kamera, dan situasi semacam ini membuatnya sedikit ngeri. "Kenapa di rumah sih," keluh Ann hampir saja terlonjak kaget saat melihat Ben membuat suara di satu ruangan luas semacam tempat
"Curigaan amat sih. Enggak, aku ngerawat Chester, bukan kamu atau Om Taka, lagian aku nggak minat sama Om-Om. Kamu aja cukup jadi Sugar Daddy-ku," ucap Ann sembarangan. Mata Ben berkedip dalam frekuensi cepat. Terkadang, ia merasa tidak bisa mengimbangi apa yang tengah Ann ungkapkan, apalagi seperti yang Ann ucapkan sekarang. Ia yang jarang sekali berinteraksi dengan perempuan tentu kesulitan menangkap maksud ucapan Ann. "Masak apa jadinya?" tanya Ann mengalihkan bahasan, takut Ben menyadari sinyal tanpa sadar yang sudah dikirimkannya. "Tar juga tau," gumam Ben tanpa menoleh. Ann menghela napas panjang. Ketimbang banyak bertanya tapi jawaban Ben membuatnya gemas, ia memilih mengamati tangan lelaki itu bekerja. Tahu bahwa Ben sedikit kesulitan karena lukanya, Ann beranjak. Ia rebut pisau dari tangan Ben, dibantunya Ben membersihkan lobak dan memotong daging ayam. Sementara itu, Ben menyalakan kompor dan merebus air, juga menyiapkan komposisi bumbu yang akan dipakainya. "T
"Ini beneran lobak? Kok beda rasanya," gumam Ann sangat menikmati sup lobak ayam yang Ben buatkan. "Bedanya kalau di sini kamu tinggal makan, gratis. Kalau di rumah makan, kamu musti bayar," balas Ben ikut menyeruput kuah supnya. "Tapi ya Mas, aku sering makan lobak buat salad, ada kayak paitnya nggak sih? Kalau ini justru berasa kayak bengkoang." "Beda lobak lokal sama lobak Jepang. Ini namanya daikon, bokap favorit banget ngolah ini." "Pantes. Impor sih, jadi beda," Ann manggut-manggut. "Jadi berasa beda lagi karena kamu yang masak," tukasnya tersenyum sangat cantik. Ben hanya mengangkat pandangannya sebentar untuk menanggapi pujian Ann. Ia sudah sangat terbiasa mendengar banyak orang mengagung-agungkan dirinya, menghormatinya dan tunduk padanya. Pujian Ann padanya saat ini bukan apa-apa meski harus diakui Ben, Ann membuat suasana hatinya jauh lebih ceria. "Kenapa nggak mau nidurin perawan?" celetuk Ann tak terduga. Sebenarnya, pertanyaan ini terus berputar di otakny