Share

Bab 4: Cemburu

Setelah pembicaraan yang penuh emosi di taman, Maya dan Arif merasa lebih lega. Mereka sepakat untuk menjaga hubungan mereka, apapun yang terjadi. Namun, kedekatan mereka menambah ketegangan yang masih terasa di udara, apalagi dengan petualangan mencari harta karun yang masih menunggu di depan mata.

Di pagi hari, Arif datang ke rumah Maya dengan membawa sarapan. Dia mengetuk pintu dengan lembut, namun terdengar cukup jelas di rumah Maya yang tenang. "Tok... tok... tok... Maya, aku Arif. Boleh masuk?"

Maya membuka pintu dengan senyum lebar. "Arif, pagi-pagi sudah ke sini. Ada apa?" tanyanya sambil mempersilakan Arif masuk.

Arif tersenyum dan mengangkat bungkusan di tangannya. "Aku bawa sarapan. Kupikir kita bisa membahas rencana hari ini sambil makan bersama."

Maya merasa hangat dengan perhatian Arif. "Terima kasih, Arif. Ayo masuk. Kita sarapan di dapur," jawab Maya sambil mengajaknya masuk.

Mereka duduk di meja makan dan mulai menikmati sarapan sederhana yang dibawa Arif. "Jadi, apa rencanamu hari ini, Maya?" tanya Arif sambil mengunyah roti.

Maya menatap piring itu sambil tersenyum. "Aku pikir, kita harus memikirkan langkah berikutnya. Peta baru itu menunjukkan harta karun ada di puncak gunung Senja. Tapi kita perlu persiapan yang lebih baik."

Arif mengangguk setuju. "Kamu benar. Kita juga harus mencari tahu lebih banyak tentang tempat itu. Mungkin ada sesuatu yang bisa membantu kita."

Maya mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari informasi tentang gunung Senja. Sambil menunggu halaman web terbuka, dia tak sengaja melihat notifikasi dari Dika, teman kuliahnya, yang bertanya kabar. Maya membalas pesan itu dengan cepat, sambil tertawa kecil mengingat masa-masa kuliah dulu.

Arif yang duduk di depannya memperhatikan dengan seksama. "Siapa yang kamu chat, Maya?" tanyanya dengan nada yang berusaha terdengar santai.

"Oh, ini Dika. Teman kuliahku yang kemarin aku ceritakan. Dia cuma nanya kabar," jawab Maya tanpa menyadari nada cemburu di suara Arif.

Arif menghela napas pelan, mencoba menahan diri. "Maya, kamu masih sering komunikasi sama dia?"

Maya menatap Arif, sedikit bingung. "Ya, kadang-kadang. Kenapa, Arif? Kamu cemburu lagi?"

Arif terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk jujur. "Iya, Maya. Aku cemburu. Aku nggak bisa bohong soal itu. Aku hanya takut kamu lebih dekat sama dia dibandingkan denganku."

Maya tersenyum lembut, mencoba menenangkan Arif. "Arif, kamu sahabatku. Dan sekarang setelah kamu jujur soal perasaanmu, aku juga mulai memikirkan kamu lebih dari sekedar sahabat. Jadi, tolong, jangan cemburu tanpa alasan."

Namun, meskipun kata-kata Maya menenangkan, rasa cemburu itu masih bersemayam di hati Arif. Mereka menyelesaikan sarapan dengan sedikit keheningan yang canggung. Setelah itu, mereka kembali ke kamar untuk bersiap-siap melanjutkan rencana mereka mencari informasi tentang gunung Senja.

Tiba-tiba, terdengar ketukan di pintu. Maya bangkit untuk membukanya dan terkejut melihat Dika, teman kuliahnya, berdiri di depan rumah. "Selamat pagi, Maya! Maaf mendadak, aku kebetulan ada urusan di dekat sini dan ingat kamu tinggal di desa ini. Jadi, aku putuskan untuk mampir," katanya dengan ramah.

Arif mengernyitkan dahi. "Maya, kamu nggak bilang ada teman kuliah yang akan datang," katanya dengan nada yang berusaha terdengar tenang.

Maya, yang juga terkejut dengan kedatangan Dika, menjawab. "Aku juga nggak tahu, Arif. Ini juga mendadak."

Dika melihat ketegangan di antara Maya dan Arif. "Maaf kalau aku mengganggu. Kalau tidak keberatan, bisakah kita berbicara sebentar, Maya? Aku tidak akan lama."

Maya menoleh ke Arif yang terlihat tak senang, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, Dika. Ayo kita bicara di luar."

Mereka berjalan keluar, meninggalkan Arif dengan perasaan campur aduk. Arif menatap pintu yang tertutup, merasa semakin tidak nyaman dengan situasi ini. "Kenapa semua jadi rumit?" gumamnya pelan.

Di luar, Dika dan Maya duduk di bangku taman kecil di depan rumah. "Maya, aku sebenarnya ingin minta maaf karena dulu kita sempat bertengkar. Aku merasa bersalah dan ingin memperbaiki hubungan kita sebagai teman," kata Dika dengan nada tulus.

Maya tersenyum kecil. "Dika, itu sudah lama sekali. Aku sudah melupakan semua itu. Terima kasih sudah datang dan minta maaf."

Dika mengangguk lega. "Terima kasih, Maya. Aku senang mendengarnya. Bagaimana kabarmu sekarang? Apa ada yang baru?"

Maya menceritakan sedikit tentang petualangannya mencari harta karun bersama Arif, namun tanpa terlalu banyak detail. Dia tidak ingin terlalu membuka cerita mereka pada orang lain. Sementara itu, Arif yang mendengarkan dari dalam rumah merasa semakin gelisah. Dia memutuskan untuk keluar dan bergabung dengan mereka.

"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Arif dengan nada dingin.

Maya menoleh dan melihat Arif dengan ekspresi tak senang. "Kami cuma ngobrol, Arif. Tenang saja."

Dika merasakan ketegangan di udara dan memutuskan untuk pamit. "Maya, aku harus pergi sekarang. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Arif, terima kasih sudah mengizinkan aku mampir."

Arif mengangguk kaku, tidak mengatakan apa-apa. Setelah Dika pergi, Maya dan Arif kembali masuk ke dalam rumah. Namun, suasana hati Arif masih buruk. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa cemburunya.

"Maya, aku nggak suka caramu berbicara dengan Dika tadi," kata Arif dengan nada marah.

Maya yang mulai kesal dengan sikap Arif, menjawab dengan tegas. "Arif, Dika hanya teman lama. Aku nggak ngerti kenapa kamu harus cemburu seperti ini."

Arif berdiri dari kursinya, mencoba mengendalikan emosinya. "Kamu bilang dia cuma teman, tapi kenapa kamu terlihat sangat senang bertemu dengannya? Apa aku tidak cukup penting bagimu?"

Maya menggelengkan kepala dengan frustrasi. "Arif, kamu tahu betapa pentingnya kamu bagiku. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan cemburu tanpa alasan. Ini melelahkan."

Arif menatap Maya dengan mata yang penuh amarah dan kesedihan. "Mungkin kamu nggak pernah tahu betapa sulitnya bagiku melihatmu dekat dengan orang lain. Aku mencintaimu, Maya. Tapi kamu nggak pernah peka."

Maya terdiam sejenak, terkejut mendengar pengakuan Arif yang langsung dan emosional. "Arif, aku... aku nggak tahu harus bilang apa."

Arif menghela napas panjang, mencoba meredakan kemarahannya. "Maya, aku hanya ingin kamu mengerti perasaanku. Aku nggak mau kehilangan kamu."

Maya merasa bingung dan tersakiti. "Arif, aku juga peduli padamu. Tapi aku nggak bisa terus menghadapi kecemburuanmu yang berlebihan. Ini membuatku merasa tertekan."

Pertengkaran itu mencapai puncaknya ketika Maya tidak tahan lagi dengan sikap Arif. "Arif, aku butuh waktu sendiri. Aku nggak bisa terus begini," kata Maya dengan tegas, lalu beranjak keluar dari rumahnya sendiri.

Arif hanya bisa menatap kepergian Maya dengan perasaan hancur. "Kenapa semua jadi seperti ini? Kenapa Maya nggak pernah mengerti?" gumamnya dengan suara pelan.

Sementara itu, Maya berjalan cepat menuju rumahnya sendiri. Setibanya di kamar, dia duduk di tepi tempat tidurnya, merasa sangat kesal dan bingung. "Kenapa Arif harus begitu? Kenapa dia nggak bisa percaya padaku?" pikir Maya dengan frustrasi.

Maya mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Dia tahu bahwa Arif sangat berarti baginya, tapi sikap cemburu yang berlebihan itu sangat menyakitkan. "Aku harus berbicara lagi dengan Arif, tapi mungkin butuh waktu untuk menenangkan diri dulu," pikirnya.

Hari itu berlalu dengan perasaan yang campur aduk bagi keduanya. Arif yang merasa bersalah dan bingung, serta Maya yang merasa terluka dan kesal. Mereka berdua tahu bahwa ada banyak hal yang harus dibicarakan dan diselesaikan, namun mereka juga sadar bahwa perasaan mereka satu sama lain sangat dalam dan tulus.

Malam itu, Maya berbaring di tempat tidurnya, memikirkan semua yang terjadi. Dia merasakan campuran emosi antara rasa sayang, kesal

, dan bingung. "Aku harus bicara lagi dengan Arif, tapi dengan kepala yang lebih dingin," pikirnya sebelum akhirnya tertidur.

Di sisi lain, Arif juga berbaring di kamarnya, memikirkan bagaimana cara memperbaiki hubungan mereka. Dia merasa sangat bersalah telah membuat Maya merasa tidak nyaman. "Aku harus belajar lebih percaya padanya. Aku tidak ingin kehilangan dia," gumamnya sebelum akhirnya tertidur dengan harapan bahwa besok akan menjadi hari yang lebih baik.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status