Arif berlari kembali ke arah Maya, menangkap tangannya sebelum dia jatuh. “Dapat,” katanya sambil menariknya kembali ke tempat aman. Maya memeluk Arif erat-erat. “Terima kasih. Hampir saja aku terjatuh.” Luki menyeberang terakhir, memastikan tidak ada lagi papan yang rapuh dan mengajak yang lainnya berjalan lebih cepat, akhirnya. “Kita berhasil,” katanya saat mereka semua sudah berada di sisi lain. Namun, perjalanan mereka belum berakhir. Mereka tiba di sebuah ruangan besar dengan lantai berjubel mosaik warna-warni. Di tengah ruangan, terdapat sebuah pintu batu besar yang terlihat sangat kuno. “Lantai ini pasti jebakan,” kata Luki. “Kita harus mencari pola yang benar untuk sampai ke pintu itu.” Arif memperhatikan pola di lantai, mencoba mencari tahu. “Ini seperti teka-teki,” katanya. “Kita harus menginjak hanya pada warna tertentu.” Maya, yang memiliki ingatan visual yang kuat, memperhatikan mosaik dengan cermat. “Aku pikir kita harus menginjak warna biru dan kuning saja,” katan
Maya, Arif dan Luki turun dari gunung senja itu, meninggalkan kekecewaan yang sangat luar biasa karena peti harta Karun yang mereka dapatkan susah payah diambil oleh Dika sang penghianat. "aku tidak menyangka hal ini akan terjadi", kata Maya yang sedih. "sudahlah Maya jangan sedih, aku tahu kamu nampak kecewa, begitupun aku dan Luki", kata Arif yang mencoba menenangkannya. "betul, Maya, perjuangan kita belum berakhir, kita akan rebut kembali peti harta Karun itu, dan aku akan pastikan mereka akan menyesal" ucap Luki yang juga kecewa dan kesal. "tuan Luki, lebih baik kita gunakan jalur pendaki untuk turun dari tempat ini, agar lebih cepat" ucap salah satu anak buahnya yang memberikan idenya. "benar, Maya, Arif kita gunakan jalur pendaki saja biar cepat turun dari sini" jawab Luki kepada anak buahnya dan juga memberikan saran kepada Maya dan Arif. "ayo kita turun melalui jalur itu, agar cepat sampai kebawah" ajak Maya yang memutuskan untuk mengikuti saran dari anak buahnya
Setelah makan siang yang hangat dan penuh canda tawa, Luki memeriksa jam di pergelangan tangannya. "Maaf teman-teman, aku harus kembali ke kantor. Ada beberapa kasus narkoba yang harus aku tangani," katanya, berdiri dari kursinya. Maya mengangguk memahami. "Terima kasih sudah menemani kita, Luki. Hati-hati di jalan." Luki tersenyum dan mengangguk. "Pasti, Maya. Kalian juga hati-hati. Arif, jaga Maya baik-baik," katanya dengan nada serius namun hangat. "Tenang saja, Luki. Aku akan menjaga Maya," balas Arif dengan tersenyum. Luki melambaikan tangan dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Arif dan Maya yang masih duduk menikmati momen mereka. Setelah Luki pergi, Arif mengalihkan pandangannya kepada Maya. "Bagaimana kalau kita pergi ke pantai? Aku ingin menghabiskan waktu berdua denganmu." Maya tersenyum dan mengangguk. "Tentu, aku juga ingin menghabiskan waktu bersamamu," katanya dengan nada lembut. Mereka kemudian menuju pantai yang tidak jauh dari desa mereka. Sesampainya di
Maya terbangun dengan jantung berdebar kencang, keringat dingin membasahi dahinya. Mimpi itu begitu nyata—seorang kakek tua dengan jubah putih berdiri di depannya, menunjuk ke arah rumah tua keluarganya sambil berkata, "Di rumah itulah terletak rahasia besar. Temukan peta harta karun yang tersembunyi." Maya duduk di tepi tempat tidurnya, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar kencang. "Apa ini hanya mimpi biasa, atau ada sesuatu yang harus aku lakukan?" pikirnya. Mimpi itu terlalu nyata untuk diabaikan. Dia memutuskan untuk mengikuti nalurinya. Siang itu, Maya berjalan menuju rumah tua keluarganya yang telah kosong sejak kepergian ayahnya yang tidak jauh dari desa yang dia tinggali yaitu desa Kertamukti. Rumah besar dengan cat yang mulai terkelupas itu selalu memberinya perasaan yang aneh, seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. Sesampainya di sana, Maya berdiri di depan pintu, memandangi bangunan yang penuh kenangan masa kecilnya. "Baiklah, ayo ki
Maya terbangun dari tidurnya dengan perasaan gelisah. Dia khawatir akan ancaman yang akan datang namun rasa penasarannya membuat keteguhan hati untuk melanjutkan pencariannya, setelah sarapan, Maya segera menuju ke rumah Arif untuk membahas langkah selanjutnya. Dia tahu, waktu mereka semakin sempit, dan ancaman bisa datang kapan saja. Setibanya di rumah Arif, Maya langsung mengetuk pintu dengan penuh semangat. "Tok...tok...tok..., Arif... Arif! Apakah kamu ada didalam?". Seperti biasa Maya selalu mengetuk pintu dengan keras jika ingin bertemu Arif. Dan membuat Arif buru-buru membukanya "Kamu kebiasaan, Maya, bisa gak kamu tuh kalau kesini ketuk pintunya pelan-pelan" ujar Arif karena kesal dengan kebiasaan Maya. "Iya, maaf, abis aku terlalu semangat, udah jangan ngomel-ngomel nanti cepat tua loh. Kita harus segera pergi ke lokasi selanjutnya!" seru Maya dengan tersenyum. "Kenapa buru-buru banget, Maya!" Kata Arif dengan nada cemberut. "Kita harus cepat mencari harta Karun it
"Ayo, cepat!" seru Arif sambil menarik Maya keluar melalui pintu tersebut. Mereka berlari secepat mungkin melalui lorong sempit dan gelap, berusaha menjauh dari pria tersebut. Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, mereka akhirnya menemukan jalan keluar dari gua dan berlari menuju hutan. Ketika mereka merasa sudah cukup jauh, mereka berhenti untuk mengatur napas. "Kita harus mencari tempat aman untuk bersembunyi sementara," kata Arif dengan napas terengah-engah. Maya mengangguk setuju. "Aku tahu sebuah tempat di dekat sini. Ayo kita pergi ke sana," katanya sambil memimpin Arif menuju sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan. Setibanya di gubuk, mereka segera menutup pintu dan jendela, memastikan tidak ada yang bisa melihat mereka. "Kita harus tetap di sini sampai kita yakin dia sudah pergi," kata Arif sambil duduk di lantai. Maya duduk di sebelahnya, masih merasakan ketakutan yang luar biasa. "Arif, bagaimana jika dia menemukan kita? Apa yang akan kita lakukan?"
Setelah pembicaraan yang penuh emosi di taman, Maya dan Arif merasa lebih lega. Mereka sepakat untuk menjaga hubungan mereka, apapun yang terjadi. Namun, kedekatan mereka menambah ketegangan yang masih terasa di udara, apalagi dengan petualangan mencari harta karun yang masih menunggu di depan mata. Di pagi hari, Arif datang ke rumah Maya dengan membawa sarapan. Dia mengetuk pintu dengan lembut, namun terdengar cukup jelas di rumah Maya yang tenang. "Tok... tok... tok... Maya, aku Arif. Boleh masuk?" Maya membuka pintu dengan senyum lebar. "Arif, pagi-pagi sudah ke sini. Ada apa?" tanyanya sambil mempersilakan Arif masuk. Arif tersenyum dan mengangkat bungkusan di tangannya. "Aku bawa sarapan. Kupikir kita bisa membahas rencana hari ini sambil makan bersama." Maya merasa hangat dengan perhatian Arif. "Terima kasih, Arif. Ayo masuk. Kita sarapan di dapur," jawab Maya sambil mengajaknya masuk. Mereka duduk di meja makan dan mulai menikmati sarapan sederhana yang dibawa Arif. "J
Arif duduk di depan layar ponselnya dengan perasaan yang berat. Dia tahu dia harus meminta maaf kepada Maya atas kecemburuan yang dialaminya. Dengan gemetar, dia mengetik pesan kepada Maya. Arif: Maafkan aku, Maya. Aku tahu aku terlalu cemburu. Bisa kita bertemu? Saat Arif menunggu balasan dari Maya, dia merasa jantungnya berdebar-debar. Setelah beberapa saat, ponselnya berdering, menandakan ada pesan masuk. Maya: Tentu saja, Arif. Kafe favorit kita, jam 2 sore? Arif merasa lega bahwa Maya mau bertemu dengannya. Dia berharap bisa menjelaskan perasaannya dan memperbaiki hubungan mereka. Ketika mereka bertemu di kafe, Arif merasakan ketegangan di udara. Dia memutuskan untuk memulai pembicaraan. "Maafkan aku, Maya," ucap Arif dengan suara yang rendah. "Aku tahu aku terlalu cemburu kemarin. Aku tidak ingin perasaanku mengganggumu." Maya tersenyum lembut. "Tidak apa-apa, Arif. Kita semua punya masa sulit. Yang penting sekarang adalah kita belajar dari kesalahan kita dan memper