Share

Bab 3: Foto Siapa Itu?

"Ayo, cepat!" seru Arif sambil menarik Maya keluar melalui pintu tersebut.

Mereka berlari secepat mungkin melalui lorong sempit dan gelap, berusaha menjauh dari pria tersebut. Setelah beberapa menit berlari tanpa henti, mereka akhirnya menemukan jalan keluar dari gua dan berlari menuju hutan.

Ketika mereka merasa sudah cukup jauh, mereka berhenti untuk mengatur napas. "Kita harus mencari tempat aman untuk bersembunyi sementara," kata Arif dengan napas terengah-engah.

Maya mengangguk setuju. "Aku tahu sebuah tempat di dekat sini. Ayo kita pergi ke sana," katanya sambil memimpin Arif menuju sebuah gubuk tua yang tersembunyi di dalam hutan.

Setibanya di gubuk, mereka segera menutup pintu dan jendela, memastikan tidak ada yang bisa melihat mereka. "Kita harus tetap di sini sampai kita yakin dia sudah pergi," kata Arif sambil duduk di lantai.

Maya duduk di sebelahnya, masih merasakan ketakutan yang luar biasa. "Arif, bagaimana jika dia menemukan kita? Apa yang akan kita lakukan?" tanyanya dengan suara gemetar.

Arif menggenggam tangan Maya dengan lembut. "Kita akan baik-baik saja, Maya. Kita sudah melewati banyak hal bersama, akinakan menjaga kamu, Maya, tenang saja," katanya dengan suara menenangkan.

Mereka duduk di dalam gubuk itu, mendengarkan suara alam di luar yang terdengar menenangkan. Meski ancaman masih mengintai, dan mereka merasa sedikit lebih tenang karena tahu mereka memiliki satu sama lain.

"Arif, terima kasih sudah selalu ada untukku," kata Maya dengan suara pelan.

Arif tersenyum dan meremas tangan Maya dengan lembut. "Kita adalah sahabat, Maya. Selalu bersama, apa pun yang terjadi," jawabnya dengan penuh keyakinan.

Mereka berdua tahu bahwa petualangan ini belum berakhir. Bahaya masih mengintai di setiap sudut, dan mereka harus selalu waspada. Namun, dengan keberanian dan tekad yang kuat, mereka siap menghadapi apa pun yang akan datang.

Malam itu, mereka berdua beristirahat di dalam gubuk, memulihkan tenaga untuk menghadapi hari berikutnya. Meski rasa takut dan cemas masih ada, mereka percaya bahwa mereka bisa melewati semua ini bersama-sama.

Setelah berhasil menemukan kunci pertama di kuil puncak gunung, Maya dan Arif memutuskan untuk kembali ke desa dan beristirahat di rumah Arif. Perjalanan pulang terasa lebih ringan, meskipun tantangan yang mereka hadapi sebelumnya masih membekas dalam pikiran mereka.

Di rumah Arif, suasana lebih santai. Mereka berdua duduk di ruang tamu sambil menikmati teh hangat. Kedekatan mereka semakin terlihat, terutama ketika Maya tertawa mendengar lelucon Arif yang biasanya garing namun kali ini terasa lebih lucu.

"Arif, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kamu," kata Maya sambil tersenyum lembut.

Arif mengangguk. "Kita ini tim, Maya. Kita harus saling mendukung. Lagipula, petualangan ini lebih menyenangkan dengan kamu," jawab Arif dengan tatapan yang lebih dalam.

Namun, suasana hangat itu perlahan berubah. Maya yang sedang asyik bermain ponsel, tanpa sengaja memperhatikan foto seorang cowok yang merupakan teman kuliahnya dulu. Arif melihat ekspresi Maya yang tersenyum sendiri, dan rasa cemburu mulai merayap di hatinya.

"Maya, siapa yang kamu lihat di HP itu?" tanya Arif dengan nada yang mulai terdengar dingin.

Maya, yang tidak menyadari perubahan sikap Arif, menjawab santai. "Oh, ini teman kuliahku dulu, namanya Dika. Kami sering satu kelompok tugas."

Arif mengerutkan kening, rasa cemburunya semakin kuat. "Kenapa kamu tersenyum-senyum sendiri lihat fotonya? Ada yang spesial dari dia?"

Maya terkejut dengan nada bicara Arif yang tiba-tiba berubah. "Arif, kamu kenapa sih? Ini cuma teman biasa, nggak lebih," jawab Maya, mencoba menenangkan.

Namun, Arif tetap dingin. "Ya, tapi kelihatannya kamu senang sekali lihat fotonya. Apa dia lebih penting daripada petualangan kita sekarang?"

Maya mulai kesal dengan sikap Arif yang tiba-tiba berubah. "Arif, kamu cemburu? Ini nggak masuk akal. Aku di sini bersama kamu, bukan dengan dia."

Arif berdiri dan berjalan menjauh, suasana hatinya semakin buruk. "Mungkin aku yang nggak masuk akal, tapi aku nggak bisa tahan lihat kamu senyum-senyum sendiri lihat foto orang lain," katanya dengan nada ketus.

Maya semakin bingung dan marah. "Arif, aku nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba jadi kayak gini. Aku pikir kita sedang baik-baik saja."

Arif hanya diam, tidak ingin memperpanjang perdebatan. Namun, sikapnya yang dingin membuat Maya merasa tertekan. "Kalau kamu mau marah tanpa alasan yang jelas, silakan. Aku nggak mau berdebat lagi," kata Maya sambil mengambil tasnya dan menuju pintu keluar.

"Ke mana kamu mau pergi?" tanya Arif, meskipun dia tahu jawabannya.

Maya berhenti sejenak di pintu. "Aku butuh waktu sendiri. Aku nggak ngerti kenapa kamu bisa berubah secepat ini," katanya sebelum melangkah keluar dengan perasaan kesal.

Arif hanya bisa menatap pintu yang tertutup. Dalam kesendirian, dia merasakan kegetiran yang mendalam. "Kenapa Maya nggak pernah peka? Kenapa dia nggak bisa lihat ketulusan cintaku dari dulu?" gumam Arif pelan.

Sementara itu, Maya berjalan cepat menuju rumahnya dengan perasaan campur aduk. Di kamar, dia duduk di tepi tempat tidurnya, memikirkan semua yang baru saja terjadi. "Kenapa Arif tiba-tiba jadi seperti itu? Aku nggak ngerti apa yang salah," gumam Maya dengan frustrasi.

Maya mengambil ponselnya dan melihat kembali foto Dika. "Apa ini yang membuat Arif cemburu? Tapi kenapa? Bukankah dia tahu aku hanya menganggap Dika sebagai teman?" pikir Maya sambil menghela napas panjang.

Di sisi lain, Arif masih duduk di ruang tamu dengan perasaan yang campur aduk. Dia tahu dia cemburu, tapi dia juga tahu itu bukan cara yang benar untuk mengungkapkan perasaannya. "Maya, kalau saja kamu tahu betapa aku peduli padamu. Betapa aku ingin kamu melihatku lebih dari sekedar sahabat," bisiknya pada dirinya sendiri.

Hari itu berlalu dengan perasaan tidak menentu bagi keduanya. Malam tiba, dan Maya masih belum bisa tidur. Pikirannya terus menerus memutar ulang kejadian tadi. "Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaiki ini? Haruskah aku berbicara dengan Arif lagi?" tanyanya pada dirinya sendiri.

Sementara itu, di rumahnya, Arif juga belum bisa tidur. Dia menatap langit-langit kamarnya dengan perasaan bersalah. "Aku harus minta maaf pada Maya. Aku nggak bisa membiarkan perasaan cemburuku merusak hubungan kami," pikirnya.

Keesokan paginya, Maya memutuskan untuk menghubungi Arif. Dia tidak bisa membiarkan masalah ini berlarut-larut. "Arif, bisakah kita bicara? Aku nggak mau kita berakhir seperti ini," tulisnya dalam pesan singkat.

Arif yang menerima pesan itu langsung merasa lega. Dia segera membalas, "Tentu, Maya. Aku juga ingin kita menyelesaikan ini. Temui aku di taman dekat rumahku."

Maya setuju dan segera bersiap-siap untuk pergi. Dia merasa gugup, tapi juga tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil.

Di taman, mereka duduk di bangku yang sama seperti biasa, namun kali ini suasananya berbeda. Arif memulai pembicaraan. "Maya, aku minta maaf. Aku nggak seharusnya cemburu tanpa alasan. Aku hanya... aku hanya takut kehilangan kamu."

Maya menatap Arif dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Arif, aku juga minta maaf kalau aku membuat kamu merasa tidak nyaman. Aku nggak pernah bermaksud begitu. Kamu adalah sahabatku, dan aku nggak mau kehilangan kamu juga."

Arif menghela napas panjang, merasa lega karena Maya masih peduli padanya. "Maya, aku ingin kamu tahu sesuatu. Selama ini, aku... aku selalu punya perasaan lebih untuk kamu. Mungkin itulah yang membuat aku cemburu."

Maya terkejut mendengar pengakuan Arif. "Arif, aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Aku selalu menganggap kamu sebagai sahabat terbaikku. Tapi aku nggak pernah berpikir kalau kamu punya perasaan lebih."

Arif menunduk, merasa sedikit malu. "Aku tahu ini mungkin mengejutkan. Tapi aku nggak bisa menyimpan perasaan ini lagi. Aku hanya ingin kamu tahu."

Maya terdiam sejenak, merenungkan perasaan Arif dan perasaannya sendiri. "Arif, aku butuh waktu untuk memikirkan ini. Tapi yang pasti, aku nggak mau hubungan kita rusak. Aku menghargai keberanianmu untuk jujur."

Arif mengangguk. "Aku mengerti, Maya. Aku juga nggak mau kita kehilangan apa yang kita punya sekarang. Terima kasih sudah mendengarkan."

Mereka berdua tersenyum, meskipun suasana masih terasa canggung. Namun, mereka tahu bahwa ini adalah langkah penting untuk menjaga hubungan mereka.

"Arif, mari kita lanjutkan petualangan ini bersama. Kita masih punya banyak yang harus dilakukan," kata Maya dengan semangat yang kembali muncul.

Arif tersenyum, merasa lebih ringan. "Benar, Maya. Kita masih punya harta karun yang harus ditemukan. Dan aku akan selalu ada di sampingmu, apa pun yang terjadi."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status