Dengan terburu-buru Edi datang ke rumah sakit setelah di telepon bosnya. Dia belum tahu ceritanya seperti apa, sebagai asisten pribadi Hendriyanto, Edi Setiadi paham betul apa yang terjadi dengan rumah tangga atasannya itu. Lima tahun menempel terus dengan Hendriyanto dia tahu seluk beluk kehidupan Hendriyanto, bahkan bahasa tubuh lelaki itu hanya dia yang paling memahami. Namun satu bulan terakhir, bosnya ini benar-benar sudah berubah.
"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Edi hati-hati."Mira mengalami pendarahan, dokter masih menanganinya," ujar Hendri dengan suara dingin, nampak kesedihan di matanya.Tiba-tiba datang seorang wanita berambut panjang dengan tahi lalat di bawah dagu, wajahnya yang lembut dan polos tengah berkaca-kaca, dia menghampiri Hendriyanto dengan terburu-buru."Apa yang terjadi Hendri? Mendapat telpon darimu aku langsung panik dan kemari," ujar wanita itu, suaranya begitu lembut."Sarah, kenapa kau kemari?" Hendri kaget melihat kehadiran wanita itu."Bagaimana aku tidak kemari? Ini semua salahku, jika aku tidak menelponmu tadi, kau pasti tidak marah pada Mira, sehingga insiden ini tidak akan terjadi. Aku merasa sangat bersalah jika anak itu sampai tiada." Sarah terkulai di lantai dan menangis dengan sedih."Ini bukan salahmu. Ayo berdiri, jangan seperti ini." Hendri menenangkan wanita itu."Aku tidak bisa, Hend. Aku benar-benar merasa berdosa," Wanita ini masih menangis sedih.Edi yang menyaksikan semua itu benar-benar merasa muak. Sarah Wulandari, aktingmu sungguh luar biasa. Hendri terus menenangkan Sarah dan memeluknya. Dokter keluar dari ruang tindakan."Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Hendri tidak sabar, semoga saja ada kabar baik. Hendri bersungguh-sungguh tidak ingin kehilangan bayi itu."Keadaan pasien sangat kritis, dia banyak kehilangan darah, jika bayinya dipertahankan maka bisa mengancam nyawa ibunya. Tindakan yang tetap hanyalah melakukan kuret, maaf bayinya tidak bisa dipertahankan."Sarah menangis dengan pilu dalam dekapan Hendri. Lelaki itu bersyukur, Sarah ternyata wanita yang pengasih, walau anak itu bukan darah dagingnya, tetapi dia merasa sangat kehilangan. "Sekarang tolong tanda tangani surat persetujuan tindakan di ruang administrasi," ucap dokter itu, dia segera kembali ke ruang tindakan."Edi, urus semua administrasi rumah sakit, aku akan pulang mengantar Sarah," kata Hendri."Tapi, Pak. Andakan suaminya? Anda yang berhak mengambil keputusan," ujar Edi kurang puas dengan tindakan bosnya."Semua kuserahkan padamu." Hendri segera pergi sambil menuntun Sarah yang terus menangis. Sudut mata Mira memanas, air mata tak bisa lagi dibendung, urusan nyawa istrinya, Hendri serahkan pada asistennya? Setan mana yang sudah merasuki lelaki itu? Mira dapat melihat adegan wanita jalang itu menangis pilu dari tempatnya berbaring karena pintu tidak tertutup. Dia sengaja meminta Hasbi, untuk membukanya. Sebagai teman SMA yang sering hang out bareng, Hasbi bersedia membantunya, walau permintaan Mira tidak sesuai dengan kode etik profesinya sebagai seorang dokter, namun ketika menyaksikan drama suami temannya tadi dengan wanita itu, tidak ada penyesalan di dalam hati Hasbi membantu temannya, dia justru berpikir, dia harus membantu menyelamatkan temannya."Bu, sabar ya, Bu. Kitakan tahu, itu bukan sikap Pak Hendri yang sebenarnya. Dia dalam pengaruh wanita itu." Edi merasa teriris menyaksikan Mira menangis dengan pilu. "Sudah, Mir. Lelaki seperti itu tidak usah ditangisi," ujar Hasbi."Dia tidak seperti itu, aku ingin mengembalikan dia seperti semula, namun itu mustahil. Aku hanya bisa merelakannya, terima kasih atas bantuan kalian semua." Mira menyeka air matanya dengan kedua tangannya."Aku pendarahan, apakah tidak kenapa-kenapa dengan bayiku?" tanya Mira pada Hasbi."Tidak terjadi apapun pada kandunganmu, anakmu kuat, dia seorang bayi perempuan yang kuat seperti ibunya, aku tinggal memberimu obat penguat kandungan, kau akan mampu melewati trimester awal kehamilan, jika fase ini sudah kau lewati, selanjutnya aman," ucap Hasbi menguatkan Mira, wanita itu tersenyum lega."Rencana selanjutnya, Edi, segera kau hubungi Leo, aku tidak mungkin berada di kota ini bahkan negara ini, jika Hendri tahu aku tidak keguguran, dia pasti akan merampas anakku dan memberikannya pada perempuan itu," ujar Mira."Baik, Bu Mira. Saya akan mengurus surat perceraian anda juga," ujar Edi patuh."Berikan surat itu di depan wanita itu, jika wanita itu turut campur, dia pasti segera menandatanganinya.""Baik."Sandiwara ini sudah dua Minggu yang lalu dia rencanakan dengan Edi, namun selalu momennya tidak tepat. Setelah dia menyadari perubahan suaminya, lelaki itu sering menyebut akan memberikan pengasuhan anaknya pada Sarah. Siapa yang rela memberikan anak yang dikandungnya pada perempuan itu.Ternyata momen yang mereka rencanakan datang dengan sendirinya, bahkan yang menyebabkan ini semua adalah Hendri. Mira tidak perlu merencanakan kejadian apapun. Edi segera menghubungi Leo Kusuma, adik bosnya. Dia mengabarkan apa yang terjadi, Edi sebenarnya merasa takut jika Hendri mengetahui dia terlibat dan berpihak pada Mira daripada Sarah, namun hati nuraninya selalu condong pada rasa keadilan dan kebenaran, dan baginya Mira adalah istri sah yang harus didukungnya, dia adalah majikannya yang sebenarnya.Leo hanya bertemu Mira sekali, saat Mira dan Hendri sedang melangsungkan ijab qobul, hari-harinya dihabiskan di luar negeri mengambil studi doktoral. Sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi, Leo semangat menambah ilmu dan wawasan. Walau bertemu hanya sekali, namun mereka sudah bercengkrama dengan akrab. "Kak Hendri, kau beruntung mendapatkan istri secantik Mira, jangan kau sia-siakan, jika kau sia-siakan maka adikmu yang masih singel ini akan merebutnya," ujar Leo menggoda Hendri. "Buang jauh-jauh pikiran brengsekmu itu, bujang tengik! Bagaimana aku akan menyia-nyiakannya? Aku saja mendapatkannya dengan susah payah." Hendri memelototi Leo dengan geram.Waktu itu Mira tertawa melihat reaksi suami yang baru dinikahinya, dengan adiknya saja dia cemburu, pantasan saja lelaki itu pernah menghanjar Doni rekan kerjanya yang mengantarkan Mira pulang kerja dan merayunya di depan rumahnya. Tapi itu dulu, ketika mereka mulai saling menyukai, sekarang keadaan lelaki itu berbalik tanpa perasaan."Kak Mira, Edi akan mengurus paspor dan visa-mu, aku akan mempersiapkan kepindahanmu di sini. Kau tidak perlu kuatir, aku akan menantimu di sini," pesan Leo melalui telepon.Mira sadar, hanya Leo keluarganya yang tersisa, walaupun hanya saudara ipar. Mira sendiri tidak berani mengakui Leo sebagai adik, karena usianya berbeda tiga tahun di bawah lelaki itu. Selama ini Mira lebih nyaman menganggap Leo sebagai temannya. Walau Leo selalu memanggil kakak kepadanya untuk menghormati hubungan ipar diantara mereka. "Baik, Leo. Secepatnya aku akan terbang ke tempatmu."****Mira di rawat selama dua hari di rumah sakit, selama masa itu, Hendri sama sekali tidak menjenguknya. Hari itu Edi datang membawa paspor dan tiket pesawat ke Jerman, negara di mana Leo tengah menyelesaikan studi doktoralnya. "Tanda tangani di sini, Bu. Saya akan urus surat cerai Bu Mira. Malam ini jadwal penerbangan Ibu," ucap Edi dengan sopan."Terima kasih, Edi. Jasamu tidak akan aku lupakan. Apakah kondisiku sudah siap untuk melakukan perjalanan sekarang, Hasbi?""Tenang saja, kau sudah siap. Berbahagialah, jangan mikir yang berat-berat. Hindari stres demi kesehatan janinmu, Mira," ujar Hasbi yang selalu setia mengecek kondisinya. "Baiklah, aku siap menjalani kehidupan baruku di sana."Mira sudah berada dalam pesawat kelas bisnis malam ini, Leo yang telah memesankan tiketnya. Adik iparnya itu tahu cara menghargainya yang tengah hamil muda, Mira tidak bakal tahan melakukan penerbangan panjang di bangku ekonomi. Walau sebenarnya Mira mampu membeli tiket pesawat sendiri, dia adalah anak tunggal, ayahnya telah memberi warisan yang tidak sedikit dalam bentuk investasi saham dan deposito. Setiap bulan deviden saham akan masuk ke rekening khusus, hasil deposito juga dibuatkan rekening khusus. Sejak ayahnya meninggal enam bulan yang lalu, dia tidak pernah memakai uang di rekening itu sama sekali, karena ada suaminya yang memenuhi kebutuhannya.Suaminya? Sekarang lelaki bermata almond itu bukan lagi suaminya, Mira sudah menandatangani surat gugatan cerai tadi pagi. Semoga saja Edi dan Hasbi dapat mengurusnya, sehingga dia bisa lepas dari Hendriyanto ..."Hendriyanto ...," bisik Mira menyebut nama lelaki itu, dadanya terasa sesak, masih ada kerinduan yang mendalam di lubuk ha
"Aku pasti akan menandatangi berkas ini, tetapi aku yang akan mengajukan gugatan cerai dan menalaknya. Aku yang akan mencampakannya bukan dia," ujar Hendriyanto geram, dihempaskan kertas di tangannya ke atas meja.Sudut mata Edi menangkap raut wajah Sarah, selintas Edi melihat perempuan itu tersenyum puas, namun seketika wajahnya kembali menyamar menjadi begitu sedih. Edi menyadari perempuan di dekatnya bukan hanya pandai bersandiwara, namun di balik wajah polos dan tulus Sarah, ada serinai kebalikan dari itu, bahkan mungkin lebih bengis. "Baiklah, Mas ... Mas Hendri harus mengontrol emosi, jangan terlalu tertekan, tidak bagus untuk kesehatan spikologimu," ucap Sarah dengan nada lembut penuh perhatian."Yah, untung ada kamu, Sarah. Aku menjadi tidak terlalu tertekan," ucap Hendri, tatapannya yang garang jadi melunak."Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." Edi segera keluar dari ruangan bosnya, dia muak melihat pasangan itu saling memberikan perhatian. Bosnya itu benar-benar sudah bu
Leo menjemput Mira di stasiun, dengan memakai pakaian casual, lelaki itu tampak lebih macho dari yang dilihat Mira enam bulan yang lalu. Tubuhnya yang tinggi nampak begitu menjulang di hadapan Mira, wajahnya dihiasi jenggot tipis dan sedikit cambang menambah aura maskulinnya begitu kentara."Hai, Kakak Ipar! Bagaimana perjalananmu?" sapa lelaki itu dengan wajah gembira."Hai ...." Mira merasa canggung dengan lelaki di hadapannya, rasa gugup terlihat jelas di matanya, bagaimana tidak? Dia baru sekali bertemu dengan adik suaminya, maaf ralat, mungkin sudah menjadi mantan suaminya saat ini. Berkomunikasi jarak jauh lewat sambungan Vidio call juga cuma sekali ketika Hendri mengabarkan kehamilannya dengan gembira, selanjutnya hanya menelponnya ketika dia berencana untuk pergi dari sisi Hendri. Mira hanya tahu jika lelaki ini selalu melanjutkan studi, belum pernah menginjak dunia kerja, tetapi sering melakukan berbagai penelitian di dunia sains dan teknologi, wajar saja jika diusianya ke
Hari itu Mira benar-benar kelelahan, sehingga dia memutuskan istirahat seharian di apartemennya, padahal dia rencananya akan berbelanja pakaian bersama Leo. Kondisinya yang sedang hamil muda membuatnya sering muntah dan tidak enak badan. "Sebaiknya kau istirahat saja, biarkan aku saja yang membelikan pakaian dan keperluanmu," ujar Leo setelah melihat kondisi Mira."Tidak perlu, Leo. Nanti merepotkan mu. Setelah aku sembuh, aku akan membeli semua keperluanku." Mira merasa sungkan selalu merepotkan pria ini."Sebaiknya mulai sekarang kau tidak usah mengatakan seperti itu, karena berani datang padaku, kau harus menerima resikonya, kau harus menerima semua pemberianku dan menerima jika aku mengatur semua kebutuhanmu," ujar Leo dengan arogan.Mira mengatupkan bibirnya mendengar perkataan lelaki itu, dia melihat sisi lain dari seorang Leo. Jika seperti ini, Leo tampak mirip dengan Hendri, apakah semua pria di keluarga Kusuma selalu bersikap demikian? Ya, mungkin saja, Meraka kan memiliki g
Sarah datang lagi mengunjungi Hendri di kantornya, tidak ada yang bisa menghentikannya. Walaupun ketika Mira masih di sini, wanita itu akan bebas melenggang menemui Hendri di kantornya. Sudah menjadi rahasia umum bagi karyawan di kantor Hendriyanto jika Sarah mutlak menjadi penyebab keretakan rumah tangga bosnya. Para karyawan di kantor ini telah menjadi saksi bagaimana kisah cinta antara bos dan karyawan ini, bagaimana bos mereka mengejar Mira dengan menyingkirkan rasa malu dan meruntuhkan keegoannya.Awal pertemuan mereka sebenarnya bencana yang tidak disengaja bagi Mira. Sudah satu tahun menganggur setelah lulus kuliah, dan berjibaku mencari kerja, mengesampingkan rasa malu setiap saudara atau tetangga akan menanyakan, kerja di mana? Berpendidikan tinggi-tinggi akhirnya nganggur juga. Pada awalnya Mira tidak menggubris cemoohan yang tertuju padanya, namun sejak ayahnya mengidap penyakit gagal ginjal, Mira terpacu mencari kerja menggantikan ayahnya mencari nafkah. Hari itu Mira be
Mira berkunjung ke apartemen Leo di sore hari. Tujuannya sebenarnya mencari bibi Marni, dia selalu merasa pusing, sehingga tidak selera makan. Dia ingin bibi Marni memijit punggungnya yang sakit. Leo tidak masalah jika Mira selalu berkunjung, lelaki itu justru gembira dengan kedatangannya. Saat Mira berkunjung ternyata Leo sedang makan malam sendirian. Melihat apartemen Leo, Mira begitu terpukau, ternyata ruangannya lebih luas dari apartemennya, memiliki tiga kamar namun dua kamar berada di ruang atas. Di bawah tangga dijadikan rak buku yang berjajar rapi, membuat Mira benar-benar terkesan, Leo memang seorang pembelajar yang pintar."Apartemenmu ternyata tingkat, ya?" seru Mira membuka obrolan di ruang makan."Ya," jawab Leo singkat sambil menyuap makanan."Aku akan sering ke mari untuk membaca semua koleksi bukumu, ada buku-buku novel tidak?" tanya Mira antusias."Sayangnya tidak, buku itu semua buku non fiksi," ujar Leo."Dari buku sebanyak ini gak ada buku novel? Ah, sayang sekali
Tiga bulan sudah Mira berada di negeri Adolf Hitler ini, musim gugur telah tiba, membuat daun maple berserak di setiap sudut jalan. Mira sedikit was-was karena nanti dia akan melahirkan ketika musim dingin datang. Dia sudah menyiapkan sebuah nama untuk putrinya kelak yang berhubungan dengan musim dingin. Salju, winter, mantel? Mira tersenyum geli jika membayangkan itu semua, tetapi jika mengingat Leo ada di sini, rasa cemasnya sedikit berkurang.Malam hari Mira akan mengajak Leo makan malam bersama, makan masakan rumahan yang dibuat Bibi Marni sudah cukup, dia juga tidak tahan dengan udara dingin di luar."Kau akan pergi?" tanya Mira setelah melihat Leo sudah bersiap dengan mantel abu-abunya dan mengenakan sepatu kulit."Ya.""Padahal aku ingin makan malam bersamamu," keluh Mira."Kalau begitu ikutlah denganku, di sana juga ada acara makan-makan," ajak Leo."Acara apa? Memangnya boleh ngajak orang lain?""Terbuka untuk umum. Sebaiknya segera pakailah mantelmu, jangan lupa memakai syal
Tiga bulan sudah Mira berada di negeri Adolf Hitler ini, musim gugur telah tiba, membuat daun maple berserak di setiap sudut jalan. Mira sedikit was-was karena nanti dia akan melahirkan ketika musim dingin datang. Dia sudah menyiapkan sebuah nama untuk putrinya kelak yang berhubungan dengan musim dingin. Salju, winter, mantel? Mira tersenyum geli jika membayangkan itu semua, tetapi jika mengingat Leo ada di sini, rasa cemasnya sedikit berkurang.Malam hari Mira akan mengajak Leo makan malam bersama, makan masakan rumahan yang dibuat Bibi Marni sudah cukup, dia juga tidak tahan dengan udara dingin di luar."Kau akan pergi?" tanya Mira setelah melihat Leo sudah bersiap dengan mantel abu-abunya dan mengenakan sepatu kulit."Ya.""Padahal aku ingin makan malam bersamamu," keluh Mira."Kalau begitu ikutlah denganku, di sana juga ada acara makan-makan," ajak Leo."Acara apa? Memangnya boleh ngajak orang lain?""Terbuka untuk umum. Sebaiknya segera pakailah mantelmu, jangan lupa memakai syal