Share

2. Biarkan kupergi

Dengan terburu-buru Edi datang ke rumah sakit setelah di telepon bosnya. Dia belum tahu ceritanya seperti apa, sebagai asisten pribadi Hendriyanto, Edi Setiadi paham betul apa yang terjadi dengan rumah tangga atasannya itu. Lima tahun menempel terus dengan Hendriyanto dia tahu seluk beluk kehidupan Hendriyanto, bahkan bahasa tubuh lelaki itu hanya dia yang paling memahami. Namun satu bulan terakhir, bosnya ini benar-benar sudah berubah.

"Apa yang terjadi, Pak?" tanya Edi hati-hati.

"Mira mengalami pendarahan, dokter masih menanganinya," ujar Hendri dengan suara dingin, nampak kesedihan di matanya.

Tiba-tiba datang seorang wanita berambut panjang dengan tahi lalat di bawah dagu, wajahnya yang lembut dan polos tengah berkaca-kaca, dia menghampiri Hendriyanto dengan terburu-buru.

"Apa yang terjadi Hendri? Mendapat telpon darimu aku langsung panik dan kemari," ujar wanita itu, suaranya begitu lembut.

"Sarah, kenapa kau kemari?" Hendri kaget melihat kehadiran wanita itu.

"Bagaimana aku tidak kemari? Ini semua salahku, jika aku tidak menelponmu tadi, kau pasti tidak marah pada Mira, sehingga insiden ini tidak akan terjadi. Aku merasa sangat bersalah jika anak itu sampai tiada." Sarah terkulai di lantai dan menangis dengan sedih.

"Ini bukan salahmu. Ayo berdiri, jangan seperti ini." Hendri menenangkan wanita itu.

"Aku tidak bisa, Hend. Aku benar-benar merasa berdosa," Wanita ini masih menangis sedih.

Edi yang menyaksikan semua itu benar-benar merasa muak. Sarah Wulandari, aktingmu sungguh luar biasa. 

Hendri terus menenangkan Sarah dan memeluknya. Dokter keluar dari ruang tindakan.

"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Hendri tidak sabar, semoga saja ada kabar baik. Hendri bersungguh-sungguh tidak ingin kehilangan bayi itu.

"Keadaan pasien sangat kritis, dia banyak kehilangan darah, jika bayinya dipertahankan maka bisa mengancam nyawa ibunya. Tindakan yang tetap hanyalah melakukan kuret, maaf bayinya tidak bisa dipertahankan."

Sarah menangis dengan pilu dalam dekapan Hendri. Lelaki itu bersyukur, Sarah ternyata wanita yang pengasih, walau anak itu bukan darah dagingnya, tetapi dia merasa sangat kehilangan. 

"Sekarang tolong tanda tangani surat persetujuan tindakan di ruang administrasi," ucap dokter itu, dia segera kembali ke ruang tindakan.

"Edi, urus semua administrasi rumah sakit, aku akan pulang mengantar Sarah," kata Hendri.

"Tapi, Pak. Andakan suaminya? Anda yang berhak mengambil keputusan," ujar Edi kurang puas dengan tindakan bosnya.

"Semua kuserahkan padamu." Hendri segera pergi sambil menuntun Sarah yang terus menangis. 

Sudut mata Mira memanas, air mata tak bisa lagi dibendung, urusan nyawa istrinya, Hendri serahkan pada asistennya? Setan mana yang sudah merasuki lelaki itu? Mira dapat melihat adegan wanita jalang itu menangis pilu dari tempatnya berbaring karena pintu tidak tertutup. Dia sengaja meminta Hasbi, untuk membukanya. Sebagai teman SMA yang sering hang out bareng, Hasbi bersedia membantunya, walau permintaan Mira tidak sesuai dengan kode etik profesinya sebagai seorang dokter, namun ketika menyaksikan drama suami temannya tadi dengan wanita itu, tidak ada penyesalan di dalam hati Hasbi membantu temannya, dia justru berpikir, dia harus membantu menyelamatkan temannya.

"Bu, sabar ya, Bu. Kitakan tahu, itu bukan sikap  Pak Hendri yang sebenarnya. Dia dalam pengaruh wanita itu." Edi merasa teriris menyaksikan Mira menangis dengan pilu.

 "Sudah, Mir. Lelaki seperti itu tidak usah ditangisi," ujar Hasbi.

"Dia tidak seperti itu, aku ingin mengembalikan dia seperti semula, namun itu mustahil. Aku hanya bisa merelakannya, terima kasih atas bantuan kalian semua." Mira menyeka air matanya dengan kedua tangannya.

"Aku pendarahan, apakah tidak kenapa-kenapa dengan bayiku?" tanya Mira pada Hasbi.

"Tidak terjadi apapun pada kandunganmu, anakmu kuat, dia seorang bayi perempuan yang kuat seperti ibunya, aku tinggal memberimu obat penguat kandungan, kau akan mampu melewati trimester awal kehamilan, jika fase ini sudah kau lewati, selanjutnya aman," ucap Hasbi menguatkan Mira, wanita itu tersenyum lega.

"Rencana selanjutnya, Edi, segera kau hubungi Leo, aku tidak mungkin berada di kota ini bahkan negara ini, jika Hendri tahu aku tidak keguguran, dia pasti akan merampas anakku dan memberikannya pada perempuan itu," ujar Mira.

"Baik, Bu Mira. Saya akan mengurus surat perceraian anda juga," ujar Edi patuh.

"Berikan surat itu di depan wanita itu, jika wanita itu turut campur, dia pasti segera menandatanganinya."

"Baik."

Sandiwara ini sudah dua Minggu yang lalu dia rencanakan dengan Edi, namun selalu momennya tidak tepat. Setelah dia menyadari perubahan suaminya, lelaki itu sering menyebut akan memberikan pengasuhan anaknya pada Sarah. Siapa yang rela memberikan anak yang dikandungnya pada perempuan itu.

Ternyata momen yang mereka rencanakan datang dengan sendirinya, bahkan yang menyebabkan ini semua adalah Hendri. Mira tidak perlu merencanakan kejadian apapun. 

Edi segera menghubungi Leo Kusuma, adik bosnya. Dia mengabarkan apa yang terjadi, Edi sebenarnya merasa takut jika Hendri mengetahui dia terlibat dan berpihak pada Mira daripada Sarah, namun hati nuraninya selalu condong pada rasa keadilan dan kebenaran, dan baginya Mira adalah istri sah yang harus didukungnya, dia adalah majikannya yang sebenarnya.

Leo hanya bertemu Mira sekali, saat Mira dan Hendri sedang melangsungkan ijab qobul, hari-harinya dihabiskan di luar negeri mengambil studi doktoral. Sebagai pengajar di sebuah perguruan tinggi, Leo semangat menambah ilmu dan wawasan. Walau bertemu hanya sekali, namun mereka sudah bercengkrama dengan akrab. 

"Kak Hendri, kau beruntung mendapatkan istri  secantik Mira, jangan kau sia-siakan, jika kau sia-siakan maka adikmu yang masih singel ini akan merebutnya," ujar Leo menggoda Hendri. 

"Buang jauh-jauh pikiran brengsekmu itu, bujang tengik! Bagaimana aku akan menyia-nyiakannya? Aku saja mendapatkannya dengan susah payah." Hendri memelototi Leo dengan geram.

Waktu itu Mira tertawa melihat reaksi suami yang baru dinikahinya, dengan adiknya saja dia cemburu, pantasan saja lelaki itu pernah menghanjar Doni rekan kerjanya yang mengantarkan Mira pulang kerja dan merayunya di depan rumahnya. Tapi itu dulu, ketika mereka mulai saling menyukai, sekarang keadaan lelaki itu berbalik tanpa perasaan.

"Kak Mira, Edi akan mengurus paspor dan visa-mu, aku akan mempersiapkan kepindahanmu di sini. Kau tidak perlu kuatir, aku akan menantimu di sini," pesan Leo melalui telepon.

Mira sadar, hanya Leo keluarganya yang tersisa, walaupun hanya saudara ipar. Mira sendiri tidak berani mengakui Leo sebagai adik, karena usianya berbeda tiga tahun di bawah lelaki itu. Selama ini Mira lebih nyaman menganggap Leo sebagai temannya. Walau Leo selalu memanggil kakak kepadanya untuk menghormati hubungan ipar diantara mereka. 

"Baik, Leo. Secepatnya aku akan terbang ke tempatmu."

****

Mira di rawat selama dua hari di rumah sakit, selama masa itu, Hendri sama sekali tidak menjenguknya. Hari itu Edi datang membawa paspor dan tiket pesawat ke Jerman, negara di mana Leo tengah menyelesaikan studi doktoralnya. 

"Tanda tangani di sini, Bu. Saya akan urus surat cerai Bu Mira. Malam ini jadwal penerbangan Ibu," ucap Edi dengan sopan.

"Terima kasih, Edi. Jasamu tidak akan aku lupakan. Apakah kondisiku sudah siap untuk melakukan perjalanan sekarang, Hasbi?"

"Tenang saja, kau sudah siap. Berbahagialah, jangan mikir yang berat-berat. Hindari stres demi kesehatan janinmu, Mira," ujar Hasbi yang selalu setia mengecek kondisinya. 

"Baiklah, aku siap menjalani kehidupan baruku di sana."

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Nim Ranah
semangat Mira
goodnovel comment avatar
Yati Syahira
good mira ,sahabat yg baik ,slmat deritami hendri bye ,semangat hapy sama debay dan leo
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status