Share

Bab 0014

Lingkaran pergaulan Yara memang kecil sejak dulu, apalagi selama setahun dia menikah, dia hanya menelepon Siska beberapa kali saja.

Siapa yang ingin menyakitinya?

Satu-satunya orang yang terpikir akan menyakitinya hanyalah teman-teman Melanie.

Di hari pesta penyambutan, Yara mengambil beberapa foto dengan mereka di dalamnya.

Namun, ketika dia menunjukkannya pada Xilla satu per satu, wanita itu menggelengkan kepalanya.

Akhirnya Yara mengeluarkan foto Melanie dan menatap Xilla dengan wajah cemas.

"Kalau yang ini?"

Wajah Xilla jelas terlihat aneh, tetapi dia segera menggelengkan kepalanya.

"Wanita itu pakai kacamata hitam, wajahnya nggak kelihatan jelas."

Yara memperhatikan Xilla melirik foto Melanie beberapa kali.

Terlalu aneh.

Namun, Melanie tidak punya alasan untuk menyakitinya.

Melihat dirinya sedang melamun, Xilla segera bangkit dan lari.

Dari kejauhan, dia mengingatkan Yara, "Wanita itu kaya dan berkuasa, bukan seseorang yang bisa kamu lawan. Mundurlah saja dari pekerjaanmu."

Yara menyaksikan wanita itu pergi sambil berpikir.

Dia mengangkat ponselnya dan ketika melihat foto Melanie, jantungnya berdetak kencang entah kenapa.

Tidak mungkin.

Tak ada alasan dia melakukannya.

Dia membuka ponselnya lagi.

Saat menginterogasi Xilla tadi, diam-diam dia merekamnya.

Dengan rekaman itu, dia bisa membuktikan bahwa dia dijebak.

Reaksi pertama Yara adalah ingin mengirimkan rekaman ini kepada Melanie, tetapi dia segera berubah pikiran.

Dia memutuskan untuk menemui Anita.

Karena telah melewatkan waktu kerja, dia menunggu di luar gedung perusahaan hingga jam pulang kerja. Akhirnya dia bertemu dengan Anita.

"Kamu ngapain datang ke sini?"

Tatapan mata Anita dingin dan dia mempercepat langkahnya.

"Bu Anita, soal kejadian kemarin, saya dijebak."

Yara buru-buru menyusulnya. "Saya punya rekamannya, silakan didengarkan."

"Nggak tertarik." Anita berjalan semakin cepat.

Yara tak menyerah dan terus mengejarnya. "Pernahkah Bu Anita curiga pada Xilla itu? Dia jelas bukan orang kaya. Dia Cuma orang bayaran."

Langkah Anita terhenti.

Bukannya Xilla orang kaya baru?

"Pagi ini saya melihat dia berpakaian sangat biasa, naik taksi di pinggir jalan. Saya pikir terlalu aneh, jadi saya membuntuti dia."

"Ternyata dia tinggal di lingkungan kumuh dan sama sekali bukan orang kaya."

Yara menyerahkan ponselnya. "Aku diam-diam merekam saat aku menanyai dia."

Anita mengambil ponselnya tanpa berharap terlalu banyak dan mendengarkan rekamannya.

Dia merasa sangat sulit percaya. "Kamu nggak memalsukan rekaman ini, 'kan?"

Yara hanya seorang pemula. Untuk apa ada seseorang berusaha sekeras itu untuk menyakitinya?

"Bu Anita, saya tahu kamu punya prasangka tersendiri terhadapku, tapi aku bersumpah demi Tuhan, aku nggak pernah menjiplak siapa pun."

Anita tertawa lepas. "Yara, menurutmu aku bodoh?"

Yara tahu yang dia maksud adalah hasil karya yang dia bawa saat wawancara.

Dia berjanji pada Melanie untuk merahasiakan soal lukisan-lukisan itu, jadi dia tidak menjelaskan apa-apa.

"Baiklah, aku akan melaporkan hal ini kepada pihak atas." Anita mengembalikan ponsel Yara padanya. "Pulanglah dulu dan tunggu kabarnya."

Yara kegirangan. "Terima kasih, Bu Anita."

"Ngomong-ngomong, Bu Anita," panggilnya lagi pada Anita, "Bu Melanie sudah kembali?"

"Melanie?" Anita mengerutkan keningnya. "Dia baru kembali tadi pagi."

Tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Yara, kamu nggak mencurigai Bu Melanie sebagai orang yang ingin mencelakakan kamu, 'kan?"

Yara buru-buru menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin."

"Baguslah kalau nggak. Tanpa Bu Melanie, kamu harusnya sudah lama diusir."

Anita berjalan pergi.

Reaksi Xilla saat melihat foto itu memang mencurigakan. Saat menghubungkan kejadian baru-baru ini, dia selalu merasa seperti ada tangan tak kasat mata yang mengendalikan di kegelapan.

Setelah pulang, Yara menceritakan keseluruhan cerita kepada Siska.

"Aku tahu. Melanie ini bukan orang baik!"

Pikiran Yara kacau-balau. "Siska, aku juga nggak ngerti. Tapi reaksi Xilla saat melihat foto itu ...."

"Sudahlah, Rara, jangan dipikirkan lagi untuk sekarang. Kita tunggu kabarnya dulu."

Siska tahu, mencurigai Melanie merupakan siksaan tersendiri bagi Yara.

Siang keesokan harinya, Melanie menelepon.

"Selamat, Rara, masalahnya sudah diusut. Kamu bisa berangkat kerja lagi."

"Benarkah?" Yara sangat gembira. "Terima kasih, Melanie."

"Aku nggak ngapa-ngapain sebenarnya, semua itu berkat rekaman darimu."

Tak disangka, justru Melanie yang pertama mengungkit soal rekaman itu.

"Dia nggak mau bilang siapa orang yang ingin mencelakakan kamu?" Melanie berkata dengan marah, "Rara, sore ini, biar kutemani kamu bertemu Xilla itu lagi."

"Hah?" Yara jadi semakin menyalahkan dirinya sendiri, merasa bahwa tidak seharusnya dia meragukan Melanie.

"Oke kalau begitu, tunggu aku di rumah."

Yara cepat-cepat menolak. "Nggak usah. Tempat itu terlalu luas, aku nggak tahu dia tinggal di rumah yang mana, Sekarang setelah masalahnya terbongkar, mungkin dia sudah pindah semalam."

"Ah ...." Melanie menghela napas. "Harusnya kamu langsung telepon polisi."

"Percuma saja telepon polisi untuk urusan pribadi seperti ini."

Yara tersenyum pahit dan berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Melanie, lalu menutup telepon.

Dia merasa sangat bersalah. "Siska, apa aku terlalu jahat?"

"Mungkin terlalu banyak hal terjadi akhir-akhir ini, akhirnya kamu jadi terlalu sensitif."

Siska mengusap kepala Yara.

Dia tahu ada kemungkinan lain di sini, yaitu bahwa Melanie terlalu licik.

Dia memberi Yara satu peringatan terakhir. "Apa pun yang terjadi, kamu harus lebih berhati-hati saat kembali ke bekerja kali ini."

Keesokan harinya, Yara kembali bekerja.

Anita sedikit melunakkan sikapnya dan memberinya beberapa pesanan kecil satu demi satu.

Dia menyelesaikan semuanya dengan sangat sempurna sehingga semua orang mau tak mau kagum.

Suatu hari, Anita menawarkan ingin mengajaknya bertemu klien lagi.

Nona Baskoro ini adalah klien besar, tetapi dia sangat pemilih. Mereka telah menerima pesanan darinya beberapa kali, tetapi masih belum mengambil hatinya.

Yara mengangguk. "Saya akan menampilkan yang terbaik."

Namun, saat membuka pintu ruang VIP, ekspresi Yara berubah.

Nona Baskoro itu ternyata adalah Judy Baskoro, teman Melanie.

"Jadi ini seniman berbakat baru kalian yang terkenal itu?"

Judy tentu saja juga melihat Yara.

Dia menyilangkan tangannya dengan wajah jijik.

"Orang rendahan yang suka membius pria dan menjebak pria itu untuk menidurinya? Bahkan suami sepupunya masih digelayuti!"

Dia mengambil tasnya dan hendak pergi.

"Heran aku, bisa-bisanya pergi ke perusahaan seperti ini. Rasanya jadi seperti mengotori sepatuku saja."

Ketika berpapasan melewati Yara, dia berhenti.

"Yara, dasar murahan. Membius suamimu sendiri? Kamu terlalu nggak terpuaskan sampai harus pakai cara seperti itu?"

Pintu ruang VIP selalu terbuka dan semua orang mendengar perkataan Judy.

"Suami sepupu? Bukankah sepupu Yara Bu Melanie?"

"Yara memaksa kakak iparnya tidur dengannya? Serius?"

"Dia bisa bergabung dengan perusahaan kita, ya karena Bu Melanie. Bu Melanie sungguh terlalu baik."

"Sampai memberikan suami sendiri ... ck ck, anak muda zaman sekarang mainnya aneh-aneh."

Dan seterusnya.

Diskusi berlanjut silih berganti dan kata-katanya semakin tidak enak didengar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status