"Ya, kami sudah masuk lewat pintu belakang," ucap salah satu petugas polisi itu, seolah Ia tengah berbicara dengan seseorang yang lain selain mereka berdua. Aku mematung saat dua orang berseragam polisi itu meringsek masuk lewat pintu belakang. Pandangannya tak sedikit pun melihat ke arahku. Mereka hanya mencari sesuatu ke setiap arah seraya terus melangkah masuk. "Upss... Maaf Mbak!" tukas Salah seorang diantara mereka karena tak sengaja menginjak pengki yang sedang ku pegang. "Pak Yanto hati-hati. Kasihan Mbak nya lagi bertugas," kilah petugas yang lain sambil terkekeh, yang sudah berjalan lebih depan. "Sudah, Saya sudah minta maaf." "Kurang tulus," sahut kawannya sedikit berteriak karena sudah berada di ruangan lain. "Saya dimaafkan kan, Mbak? Atau mau Saya bantu buat nyapu dulu?" tanya polisi yang tadi menginjak pengki, seraya kembali mendekatiku yang masih mematung di sana. "Ah, eng... enggak perlu, Pak,
"Udah, tiduran dulu lagi! Di sini masih belum aman, " titah Zen seraya berbalik ke belakang, berusaha menekan kepalaku agar kembali merunduk. Tapi Aku menolak dengan keras. "Enggak," sahutku lantang. Mati-matian Aku bertahan untuk tetap duduk dengan bertumpu pada kaki, meskipun masih di bagasi. "Nunduk! Kamu bisa ketangkep," ulang Zen dengan suara yang terdengar begitu geram. "Enggak," sahutku lagi, meskipun pada akhirnya kepalaku berada di bawah, ditekan oleh Zen. Aku memang bukan tandingan Zen, tenaganya terlalu kuat dibandingkan denganku. "Sudah, kalian ini bagaimana? Lihat tuh, pak Andi terganggu," ucap pak Fandi terdengar begitu bijak. Tapi, sebijak apapun, jika dia berniat mau menyerahkanku kepada polisi, percuma saja. "Enggak bisa, Pak. Ini anak memang harus dikasih tahu pake cara begini. Kalau enggak, ngeyel banget." Zen tetap berpendirian agar Aku tetap bersembunyi di balik kain dan tak mengangkat kepala sama sekali.
Kuhempaskan diriku, menjauh sebisa mungkin dari Zen. Kini, Aku berada di sisi jendela, letak yang berjauhan dengan Zen. Hanya saja, sejauh apapun ketika kami di mobil berada dalam jajaran jok yang sama, maka tetaplah dekat. Aku memalingkan wajah, melihat ke arah jendela. Naluri perempuan jika disebut bau maka akan sangat terluka dan merasa terhina. "Pindah lagi lah, sono ke depan!" titahku tanpa menoleh ke arahnya. "Bau... bau cinta... hahahahahaha... " tawa Zen meledak seketika, seolah meledek sikapku yang mudah terbawa emosi. "Idihhh, gak jelas." Aku memutar bola mata, jengah dengan sikapnya, namun merasa bersemu merah di kedua pipiku. Tuhan, makhluk apa yang kau kirimkan padaku ini? Kadang Ia begitu lembut, kadang menjadi raja tega dan kadang juga menjadi sosok tengil seperti badboy di masa-masa SMA sepertiku. Aku terkekeh sendiri, teringat dengan segala ke-absurd-an yang Ia tampilkan di hadapanku."Ciee...
"Zen, kenapa berhenti di sini?" tanyaku seraya memegang ujung bajunya erat."Nggak apa-apa. Rumah Ibuku ada di belakang sini, " jawabnya seraya menunjuk ke ujung Jalan.Aku celingukan mencari sesuatu yang ditunjuk oleh Zen, karena aku tak melihatnya sama sekali."Ayo, turun dulu!" Ajak Zen. Ia pun segera melangkahkan kakinya keluar, melewati deretan bangku tengah yang telah dilipat oleh Pak Fandi.Pandanganku kutundukkan ke bawah dengan masker yang masih terpasang di wajah. Tangan ini pun tak lepas dari ujung kaos miliknZen. Aku takut, sangat merasa takut sampai-sampai lupa jika Zen adalah orang baru bagiku. Takut jika saja ada orang yang mengenaliku dan melaporkanku kepada polisi."Sebelah mana nak Zen?" tanya Pak Fandi."Ayo, sebelah sini!" Ajak Zen seraya melangkahkan kakinya terlebih dahulu. Aku masih saja mengikuti Zen seraya memegang ujung bajunya. Sedangkan Pak Fandi berada di belakangku. "Pak Andi di sini y
"Ada apa?" tanya Zen seraya mendekati wanita cantik, yang menurut Zen adalah adiknya itu.Dina tak menanggapi pertanyaan Zen. Ia masih melongo seperti kaget mendengar sesuatu."Kamu sakit?" tanya Zen seraya memegangi dahinya Dina. "Ah, enggak Kak."Sikap Dina tidak seperti pas awal tadi, ketika Ia bertemu dengan Zen. Sikapnya lebih dingin dan tak antusias. Dina jongkok dan langsung membersihkan bekas pecahan gelas yang berserakan di mana-mana. Ia mengumpulkan pecahan-pecahan gelas itu dan meletakkannya di atas nampan yang tidak pecah."Sudah, sini sama kakak aja!" pinta Zen seraya membawa sapu ijuk dan pengki dari ruang belakang, meminta Dina yang masih mengumpulkan pecahan-pecahan beling tersebut untuk menyingkir."Nggak usah Kak, nggak apa-apa. Sini sapunya, sama aku aja, " ucap Dina seraya berdiri, kemudian Ia pun melangkah dengan niat untuk mengambil sapu dari tangan Zen. "Auww..."Dina meng
"Sini!" Kakiku terseret oleh langkah. Zen tak kira-kira saat harus menarikku ke belakang. Ceklek... "Aduh, kotor banget."Zen mengeluh karena lantai kamar cukup kotor. Lantai kamar ini nampak seperti sudah beberapa hari tak disapu. Ranjangnya diisi oleh kasur kapuk yang digulung sampai di ujung ranjang. "Ada apa, Zen?" tanyaku heran. Kenapa juga Ia membawaku masuk ke kamar dengan terang-terangan, di hari masih terang pula. "Enggak apa-apa, Sayang." Zen langsung memelukku, kemudian mengecupi pucuk kepalaku. "Ya Tuhan, apa sesiang ini dia akan meminta jatah dariku? Aduh, memikirkannya saja Aku takut. Bagaimana ini?" gumamku di dalam hati, seraya menutup mataku. Tok... tok... tok"Masuk saja, Bu. Enggak dikunci," ucap Zen. Krieettt... Pintu pun langsung terbuka, berganti dengan wajah bu Asih yang kini tersenyum melihat kami. "Anak Ibu senang banget," ucapnya sambil berseri-seri. Aku berusaha melepaskan pelukan Zen, malu dilihat sama bu Asih. Hanya saja, Zen tidak melepaskan pe
"Maksudnya apa?" tanyaku berusaha sedatar mungkin. Bahkan, Aku kembali sibuk untuk membereskan memasang seprai. Rasanya, Aku ingin segera beristirahat untuk sekedar melepas lelah yang melanda. "Nanya maksudnya? Masa iya babu enggak ngerti!" ucap Dina lebih ketus lagi. Aku tetap cuek, bahkan kali ini Aku tak menyahut ucapannya sama sekali. Biar saja jika Ia mau bicara, biarlah Ia bicara sama tembok. "Atau kalau enggak, please talk to my hand. Hahahahahaha... " teriakku dalam hati. Terbukti setelah ku diamkan, Dina semakin menjadi. "Heh, kamu itu budeg, gagu atau tuli sih?" pekiknya seperti sedang datang bulan, amarahnya full. Ia pun mendekat dan hendak memukulkan sapu ke bagian kakiku. "Jangan sekalipun kamu ngancem Aku. Karena apa? Karena Aku enggak takut, juga karena Aku bisa yakinkan Zen buat nendang lu dari sisinya. Paham lu?!" ucapku panjang lebar, menghentikan gerakan tangannya yang sudah mengapung di udara. Wajah Dina beg
"Awas kau!" desis Dina yang masih bisa ku dengar, walaupun suaranya cukup pelan. Aku melenggang pergi dengan senyum kemenangan. Meskipun Aku tak tahu seperti apa Zen sebenarnya, tapi saat Ia memelukku penuh rasa takut kehilangan seperti barusan, Aki menjadi cukup percaya diri. Aku mulai berharap ada masa depan untukku dan Zen. "Huh, mikir apa sih?" rutukku seraya memukul pelan kepalaku sendiri. "Masih sekolah udah mikir yang aneh-aneh," ucapku tanpa sadar. "Aneh apanya?" tanya Ibu mengagetkanku. Sejenak Aku merasa linglung dan salah arah. Namun, setelah kupandangi setiap sudut ruangan, Aku baru menyadari bahwa Aku baru saja tiba di dapur. "Apanya yang aneh?" tanya Ibu sekali lagi. Mungkin, karena Aku tak langsung menjawab pertanyaannya tadi. "Ah, aneh. Itu, Bu. Aku tiba-tiba menikah, jadi merasa aneh," kilahku beralasan. Tentu saja Aku tak mau Ibu sampai tahu kalau Aku sudah menghardik anak perempuan kesayangannya. Bis