Usia kandungan Arina sudah memasuki tujuh bulan, esok akan diadakan pengajian tujuh bulanan di rumah mertuanya. Bapak dan ibu sudah datang dari kemarin, juga Davian. Keinginan Arina dan Damar untuk mengajak putra pertamanya tinggal bersama terhalang oleh sang kakek dan nenek. Nanti sepi di rumah kata mereka. Lagian Davian juga sudah mulai ikut play group. “Nanti saja bila sudah SD, baru kamu ajak tinggal di kota, Rin!” pinta Mbak Eva, tentu kakak sepupunya juga akan kesepian bila Davian tinggal di kota. Lagian dengan kehamilan dan kelahiran yang tak lama lagi tentu akan membuat Arina repot sendiri.Damar mendengarkan dengan khidmat ceramah dari seorang ustad yang diundang hari itu. setelah pengajian tadi, ada ceramah atau tausiyah yang dibawakan oleh Ustad dari masjid kompleks yang diundang. Ceramah tentang pentingnya peran seorang suami dalam rumah tangga, mencukupi kebutuhan istri, dan membahagiakan keluarga adalah tanggung jawab besar bagi seorang laki-laki. “Bila hanya mampu beris
Damar mengusap peluh yang bercucuran di dahi Arina. Nampak raut sendu itu menahan sakit. Tadi perawat mengatakan bila sudah bukaan tujuh. Namun saat ini sakitnya makin menjadi dan sering – sering. “Operasi aja ya, Sayang! Mas enggak tega lihat Sayang kaya gini.” Netra Damar berkaca, melihat kesakitan yang dialami Arina demi melahirkan anak keduanya. Begini dulu Arina. Sesakit ini dulu yang dirasakan, bahkan mungkin lebih sakit, sebab tak ada suami di sampingnya, belum lagi harus menanggung rasa sakit dengan omongan tetangga. Karna saat itu dirinya melahirkan tanpa suami. Tentu tak luput dari pergunjingan tetangga disekitar. Kaca yang tadi mengaburkan pandangan Damar, akhirnya luruh. Mengingat semua kesakitan yang dialami Arina, yang disebabkan dirinya dulu.“Enggak apa-apa, Mas. Mungkin karna ditunggui, jadinya agak manja dia.” Ucap Arina, mengernyit. Kembali rasa sakit itu datang.“Maafin mas, Sayang!” Damar mengecup pipi putih yang telah berubah kemerahan, bersamaan dengan masukny
Rambut basah Arina belum disisir saat bayi kecilnya menangis haus. Kelelahan setelah melayani suaminya, membuat dirinya tak sempat membangunkan si kecil untuk disusui. Sementara Damar yang kelelahan sebab pengejaran cinta yang berulang tadi membuatnya tidur dengan pulas setelah membersihkan diri. Tak tega juga Arina membangunannya. Lelah bekerja dan lelah bercinta membuat suaminya itu tak mendengar tangisan si kecil. Biasanya bila malam begini, Damar akan terbangun bila mendengar tangisan si kecil. Bahkan biasanya dirinya lebih sigap dari Arina, duluan bangun menggendong sikecil, kemudian akan membangunkan istrinya dengan kecupan berulang.“Haus ya anak, mama?” Arina menimang sayang si kecil Davina sebelum memberinya ASI. Menyusui putri kecilnya ini, membuat dirinya merindukan pula putranya di desa sana. Ingin rasanya menyambangi namun orang tua dan mertuanya belum membolehkan dirinya membawa si kecil naik mobil dengan jarak yang cukup jauh. Davian yang sudah terbiasa hidup dengan kak
Nampak dua orang pria yang berbeda generasi berbincang serius di gazebo yang terletak di halaman belakang.Arina yang baru selesai mandi tadi melihat papa mertua dan suaminya saat menjemur handuk biru miliknya.Mungkin ini pembicaraan yang benar-benar serius. Biasanya kalau hanya hal yang berhubungan dengan perusahaan, pak Mahmud akan memanggil dirinya juga, sebab nanti dirinya akan mendampingi suaminya yang akan memimpin perusahaan.“Kenapa, Papa baru kasi tahu, saya tentang hal ini?” Damar nampak resah juga merasa bersalah.“Papa, juga baru tahu dari pak Adnan kemarin. Ternyata selama ini orang tua Sofyan dan Yasmin ditipu oleh kepala sales mereka. Salah juga pak Sutomo ini, sebab percaya saja pada pekerja memegang tagihan pelanggan yang bayar secara cash. Jadilah uang patungan papa sama beliau, digunakan untuk membayar gaji dan THR karyawan mereka saat itu. Dan ayahnya Yasmin ini tak mau memberitahu papa. Keterangan pak Adnan kemarin nanti akan diganti, namun keburu meninggal bersa
“Ya harus jawab apa Mas?, aku enggak apa-apa koq. Lagian mbak Yasmin kan sudah nikah juga, atau...Mas masih sering ingat mantan?”“Astagfirullah, Arin! Mas salah terus sih? Dikasi tahu salah, nggak dikasi tahu mas tetap salah.” Damar ngenes sendiri.“Hahaha. Habisnya Mas kaya takut begitu, mana mungkin aku marah Mas, kalau itu masalah kerja. Kecuali, Mas macem-macem.” Ancam Arina sambil mencubit hidung bangir suaminya lalu memberi kecupan di pipi yang ditumbuhi cambang tipis itu.“Terus gimana dengan Davi ini. Mama sama papa maunya dia tetap sekolah di desa saja. Biar mama sama Ibu yang gantian jaga. Sebab nanti kesepian bila Davi kita bawa kesini sekolah.” Tanya Damar sambil membelai rambut legam Arina.Arina dibuat sedih saja mendengar itu. Dulu sebelum menikah, Davian harus terpisah dari orang tuanya, Arina hanya hari libur saja baru bisa mengunjungi putranya. Lalu sekarang mereka sudah menikah kembali, tetap harus terpisah juga. Bukankah salah satu alasan mereka menikah kembali ke
Yasmin terhenyak sesaat, saat melihat siapa yang berdiri di depan lift. Membuang pandang dengan wajah yang terlihat menahan marah pada Damar dan Arina, lalu ia eratkan genggaman di tangan suaminya. Seperti sedang menahan dendam dan...luka.“Hati-hati, Sayang!” Arzan menahan tubuh Yasmin yang hampir terjatuh sebab tersandung di depan lift tadi, tak sengaja saat tatapannya bersirobok dengan mata bening milik Arina. Dua wanita yang pernah mengisi satu hati milik pria yang sama.“Maaf, Mas, aku nggak lihat.” Yasmin tarik dan kibaskan ujung gamis hijau mint bermotif bunga lilac yang di pakaianya. Belum berhijab, namun sebisa mungkin bila keluar rumah Yasmin menggunakan pakaian panjang, bahkan lebih senang menggunakan dress lengan panjang sekarang atau gamis, buat penampilannya nampak anggun, semakin feminim. Rambut panjang hitam sebawah punggungnya yang diberi jepit di bagian poni, semakin menambah aura feminimnya. Sungguh tingkahnya sekarang jauh berbeda dari yang dulu.“Ayo, jangan perha
Arina masih menyusui Davina saat Damar telah selesai mandi, tak sempat menyiapkan baju kerja suaminya sebab si kecil sedikit rewel. “Maaf, Mas. Aku belum siapin pakaian kamu. Vina rewel nih.” Keluh Arina sedikit lelah.Cup!Damar berikan satu kecupan.“Tak apa, Sayang. Mungkin dia mau tumbuh gigi.” Damar mencium tangan mungil putrinya, lalu mulai mengambil pakaian.“Lho koq nggak pakai baju kerja, Mas?” Heran Arina.“Ini kan hari sabtu, Sayang.” Damar mengambil handuk untuk di jemur di balkon kamar, lalu mendekati Arina setelah melihat istrinya itu menidurkan baby Davina yang nampak sudah lelap. Sangat lelap di pagi jam tujuh ini, sebab semalam dia rewel dengan tidur terganggu.Arina yang tadi subuh juga bangun mandi, ingi lelap kembali walau sejenak.“Capek, ya?” Damar memeluk Arina yang terlihat siap naik ke tempat tidur.“Ngantuk, Mas. Mau tidur dikit. Mas di rumah kan, makannya ada di lemari makanan sayang.”“Iya habis ini Arin istirahat aja, biar Mas yang jagain baby girl.” Ari
“Ini Damar putra saya,” Pak Mahmud memperkenalkan Damar pada Arzan. Bukan Arzan tak tahu siapa pria yang sedang menjabat tangannya ini. Arzan tahu betul, pria ini mantan pacar Yasmin. Pria ini juga turut andil dalam mempertemukan Arzan dan Yasmin, bila tak diputuskan secara tak patut, tentu Yasmin tak jadi istrinya sekaranzg. Arzan yang dewasa, pergaulan yang buruk maupu yang baik telah banyak di laluinya, menghadapi orang dengan berbagai karakter di luar sana , sudah menempa mental pria dewasa ini dalam menyikapi setiap pribadi yang ditemui. Tentu penguasaan diri dimiliki dengan baik, maka tak ia sungguh berhasil menyembunyikan keterkejutannya saat bertemu dengan Damar. “Arzan.” Suara bariton pria ini mampu membuat Damar tak berkutik sesaat. Terdengar sangat berwibawa.“Damar.” Suami Arina mencoba menghalau rasa gugup. “Ini, Damar putra saya, nak Arzan, setelah saya pensiun tahun depan, dia yang akan meneruskan perusahaan ini, mungkin kedepannya kalian berdua ada peluang untuk bek