“Ada satu cara untuk menangkap pembunuh itu….”
Sejenak Ervan berpikir kalau Kuswan hendak menjadikannya tumbal. Namun Ervan tahu Adhira tidak akan peduli lagi dengan dirinya. Dia sudah mengganggap Ervan juga bagian dari aliansi yang menyebabkan orang tuanya mati. Jadi menggunakan dirinya sebagai tumbal bukan pilihan yang tepat.
“Tamara adalah keluarga Limawan. Dia tidak akan membiarkan orang yang dia pedulikan itu mati sia-sia demi dirinya.”
Profesor Alan terperangah. Wanita yang dia percaya sejak dulu itu memang sempat dia singkirkan dengan keluarga Ribes. Namun semua tahu kalau Ribes tidak benar-benar menikahinya. Itu hanya jalan agar orang-orang dari aliansi ini bersih dari sisa-sisa keluarga Limawan.
Tidak ada yang tahu dari mana Kuswan tahu tentang identitas Tamara. Semua terlalu murka dan hanya menerima informasi itu mentah-mentah. Jadi mereka tak punya pilihan lagi selain mengikuti arahan Kuswan.
Haris mengangg
Aku harus kembali. Sekilas keinginan tersebut menjadi abu-abu saat Adhira berpikir seluruh usahanya ini akan sirna jika dia jatuh ke tangan mereka. Sudah tidak ada yang bisa dia dapatkan lagi. Teodro telah dibunuh. Satu per satu dari ketua aliansi mati diperantarai dirinya. Terlepas mereka menganggap Adhira sebagai pembunuh atau itu hanya unsur ketidaksengajaan, Adhira tetap akan menjadi tumbal.Adhira tahu dia harus menyusun rencana yang kedua. Dia harus menghubungi Nahif sekarang. Kemarin dia yang membantunya mencari peledak rancangan mahasiswa elektro itu untuknya.Pagi yang mendung menyambut Adhira di luar sana. Bahkan hingga saat ini Adhira belum berhasil melacak keberadaan mantan narapidana itu. Dia menghilang setelah membawa Kiara keluar dari kediaman Refendra. Saat Adhira menelepon ke rumahnya, Willian yang menyambutnya. Kiara sudah pulang walau dalam keadaan setengah waras.Willian membentaknya di telepon, tapi Adhira hanya diam mendeng
“Ervan! Minggirlah! Apa yang kau lakukan? Melindungi jahanam seperti dia?” hardik Haris setelah mengacungkan tangannya agar para penjaga itu tak kembali memberikan pukulan lagi.Dengan susah payah Adhira mengatur napasnya. Dia masih bisa menggerakkan tubuhnya, tapi yang muncul hanya sengatan nyeri yang tak terperi.“Daffin, mengapa kamu selalu muncul di saat aku nyaris mati? Apa tidak bisa lebih cepat sedikit?” gurau Adhira dengan suara parau.Pertanyaan dari Adhira tadi membuat Kuswan mendengus geram. “Ervan, kamu kenapa kemari? Bukannya Profesor Alan memintamu introspeksi diri di Lavandula itu?”Ervan memejamkan matanya sambil mengusap darah yang sempat keluar dari kerongkongannya itu. Dia langsung melepas ikatan di tangan Adhira.“Ervan! Kamu mau membelanya?” Haris mulai memberang. “Hm… kamu sudah bisa membelot sekarang?”“Daffin, kumohon bantu aku! Hubungi Bu Tamara
"Adhira!”Adhira menjatuhkan batang kayunya dan langsung berlari ke arah wanita tersebut.Tamara berkata lirih, “Saya tidak apa-apa.”Adhira berusaha memastikan ini bukan lagi mimpi atau angan-angannya. Wanita itu memang benar-benar ada di hadapannya secara utuh. Tidak seperti yang diberitakan atau diancam mereka.“Apa yang mereka lakukan padamu?” tanya Adhira resah.Tamara menggeleng. “Adhira, Profesor Alan hanya memintaku menenangkanmu.”Kedua tangannya mengelus wajah Adhira yang penuh dengan luka pukulan. Wanita itu segera menarik Adhira ke belakang tubuhnya, seolah melindunginya dari Haris dan anggota aliansi yang lain. Lalu dia menjelit kepada Haris. “Haris, kamu apakan dia?”Haris berdiri sempoyongan. Dia membelalak ke arah Tamara dengan sekujur wajah yang sudah memar. “Dia mau membunuhku!”“Dia tidak membunuhmu!”“Dia sudah membunu
Kejadian itu sudah terjadi begitu lama, tapi sekuat apa pun mereka melupakannya, kenangan itu akan tetap muncul.Sinar matahari menyeruak masuk menimpa kelopak Adhira yang masih terkatup rapat. Dalam-dalam dia menghirup udara pagi yang menyegarkan itu. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya juga pelan-pelan memudar. Adhira bangkit di atas kasur empuk berlapis katun catra berwarna biru laut.Suara letupan dengan aroma daun pandan menguar dari balik pintu kamar, membuat Adhira segera merasa lapar. Dia mendapat Ervan dengan celemek putihnya itu tengah membubuhi panci rebusan dengan bumbu masakan. Adhira mendekati tanpa suara. Dia tahu dia tak pernah melihat Ervan memasak sebelumnya. Diam-diam ia mengambil gambar dengan ponselnya dari belakang.Ervan berbalik dan tersipu kedapatan tengah diperhatikan sedemikian lekat oleh Adhira yang berseri-seri itu. Dia meletakkan mangkok sup sayur di hadapan Adhira sebelum panas menjalari tangannya.“Kamu bisa masak j
“Ayo, ambil gambar di sini. Ombaknya lagi bagus nih!” Laila berlarian menyepak buih-buih air di kedua kakinya. “Iya, cepat ke sini,” seru Adhira ikut meramaikan suasana. Dia menyerahkan ponselnya pada Laila dan bergantian mengambil gambar. “Aduh, ini bagaimana kodenya?” Laila bertanya sambil melirik ke pola sentuh yang dibuat Adhira di layar hapenya itu. “Rumit amat sih bikin kode.” “Biarin. Biar tidak dibajak anak iseng sepertimu!” cela Adhira menjulurkan lidahnya ke gadis itu. Laila yang kesal justru malah menyipratkan air ke wajahnya. “Ervan, ayo kita ke sana!” ujar Adhira menunjuk ke bagian pantai berbatu dengan air yang lebih tenang. “Ajari aku berenang!” Kali ini permintaan Adhira langsung dibalas oleh Laila, “Om Gauhar tidak bisa berenang? Hahaha!” “Memang kenapa kalau tidak bisa berenang? Aku bukan dugong, yang mesti berenang untuk bisa tinggal di laut,” tukas Adhira tak senang. “Di laut juga ti
Brukk!Laila berhenti melangkah saat mendapati orang tua asuhnya dan teman yang baru dikenalnya itu dalam posisi sedemikian ganjil itu.Namun yang diperhatikan Ervan bukanlah ekspresi Laila yang terkejut itu. Walau tubuh Adhira mendarat langsung ke permukaan pasir berbatu, kepalanya yang terantuk bagian keras tadi sudah teralasi telapak tangan Ervan.Sontak Adhira menyingkirkan tubuh Ervan darinya saat mendapati Laila masih terpaku mencerna adegan yang berlangsung di hadapannya itu.Laila menggaruk kepalanya kikuk. Odin yang turut berlari dengan hasil koleksinya baru tiba beberapa detik kemudian. Mengerti akan situasi ini, Laila menarik anak laki-laki tersebut menjauhi Ervan dan Adhira. Usianya masih muda, tapi mendapati kondisi seperti ini otaknya kembali distimulasi oleh prasangka-prasangka yang membingungkan.Ervan mengamati dengan lebih saksama bagian belakang tempurung Adhira dari cedera serius.“Aku tidak apa-apa,”
Aroma rumah sakit yang menyengat membuat Adhira selalu pusing. Jadi dia bergegas menyelesaikan segala prosedur yang dimintakan Ervan dan mengendap di ruang konsultasinya yang bebas dari bau desinfektan itu. Sebelum ke rumah sakit, Adhira sudah membuat lupis dan cemilan ringan untuk Ervan. Dia tahu Ervan tak akan sudi membelinya di pasar atau pinggiran. Adhira membuatkan khusus untuknya.Saat Adhira mendatanginya, seorang perempuan duduk dengan bercucuran air mata di depan Ervan. Dari seragam yang dikenakannya, wanita itu bukanlah pasien.“Kamu sudah tahu konsekuensi yang telah kamu lakukan,” ucap Ervan datar. “Jika tidak ada urusan lagi, silakan tinggalkan ruangan ini.”“Dokter Ervan, saya betul-betul minta maaf. Saya tidak tahu kalau kecerobohan itu mengakibatkan pasienmu….”“Pergilah!” hardik Ervan dengan nada suara yang lebih keras.Baru kali ini Adhira melihat Ervan membentak seorang wanita
Saat jam istirahat Ali pun mendatangi meja Adhira dan Ervan. Dia masih mengenakan pakaian jaga dan topi OK. Berhubung Adhira tanpa sengaja mengajaknya ikut makan siang bersama, dengan semangat Ali pun turun ke ruang makan. Tempatnya tak jauh dari kantin rumah sakit, hanya lebih teduh karena ada pepohonan dan kolam ikan koi di sekelilingnya.“Wah, aku baru tahu kamu bisa memasak,” puji Ali dengan wajah lapar. “Jadi, mana jatahku?”Ervan sudah menarik kotak ketiga ke bawah kotak makanan pertamanya. Jadi wadah yang tersisa hanya nasi liwet yang tinggal separuh beserta lauk dan kuah opor.Ali agak kecewa, tapi karena gratis dia pun tak menolak.“Aku juga tidak menyangka Ervan bisa makan begitu banyak hari ini. Lain kali aku akan buat lebih banyak lagi.”“Tidak perlu,” ucap Ervan. “Aku akan pulang dan makan di apartemen jika kamu membuat makanan.”“Tapi apartemenmu kan jauh.”