ZELINEMas Javas hanya tersenyum sambil mengusap pelan kepala Bjorka.Kami kemudian menuju parking area. Tadi Mas Javas sempat mengobrol dengan Dimas saat aku baru sampai.“Onti, ayo duduk di sini beldua sama Kaka,” celetuk Bjorka saat aku berniat duduk di jok belakang sendiri.“Boleh emangnya Onti duduk di depan? Nanti Kaka nggak bakal sempit?” “Boleh dong. Kaka kangen mau duduk beldua sama Onti.”Ucapan keponakanku itu membuatku terharu. Aku mengurungkan niat semula lalu membuka pintu bagian depan, duduk berdua dengannya. Alih-alih akan duduk di sebelahku Bjorka malah naik ke pangkuanku lalu memelukku manja. Aku membalas dekapannya. Kuciumi anak itu sepuas hati. Dan sial, saat aku mengecup puncak kepala Bjorka aku kepikiran celetukannya mengenai Jevin tadi.Aku menatap Mas Javas. Ingin bertanya mengenai keberadaan Jevin. Tapi saat melihat Mas Javas begitu berkonsentrasi menyetir aku terpaksa mengurungkan niat tersebut. Lagi pula untuk apa aku menanyakannya? Memang kenapa kalau J
ZELINEBjorka sudah tidur di sebelahku sejak dua jam yang lalu. Setelah puas mempromosikan Jevin padaku—yang hanya kudengarkan dengan wajah datar, anak itu kelelahan sendiri hingga akhirnya ketiduran. Sedangkan aku hingga detik ini tidak bisa memejamkan mata. Kantukku menguap entah ke mana. Dan semua gara-gara informasi yang aku terima. Semua tentang Jevin.Seharusnya aku nggak boleh begini. Semestinya apapun yang kudengar dari Bjorka mengenai omnya tidak akan berpengaruh apa-apa. Nyatanya aku tidak bisa tidur. Padahal tubuhku benar-benar lelah dan butuh beristirahat.Pintu kamarku diketuk. Bersamaan dengan itu aku mendengar suara Mbak Zoi memanggil namaku.“Zel! Kaka ada di sana?”Aku terpaksa turun dari tempat tidur untuk langsung membuka pintu. Khawatir jika menyahut maka suaraku akan membuat Bjorka terbangun.“Ada, Mbak, ketiduran setelah tadi cerita banyak sama aku.”Mbak Zoi melongokkan kepala. Senyum terbit di bibirnya melihat Bjorka terlelap dengan pulas. Kemudian Mbak Zoi mel
JEVINAku, Niken, dan Zoia serentak memandang ke arah itu. Pada perempuan yang saat ini sedang menggendong Arimbi. Perempuan itu adalah …Otakku belum berhasil memetakan apa pun. Napasku tiba-tiba menderu, berhasil membuat dadaku sesak seketika.Kejadian sekitar satu dekade yang lalu berputar-putar di kepalaku. Saat pertama bertemu dengan Zeline, menghabiskan tujuh hari penuh bersamanya.Zeline yang selama ini kucari dan tidak pernah pergi dari hatiku saat ini berada tepat di hadapanku.Refleks aku berdiri, membuat pandangan Zoia dan Niken tertuju padaku. Aku akan melangkah mendekati Zeline lalu memeluknya yang sudah sangat lama kurindukan. Aku akan memeluknya seerat mungkin. Kali ini dia tidak akan kulepaskan. Dia tidak boleh pergi. Aku tidak mau kehilangan dia lagi. Sudah cukup penderitaanku karena cinta ini.Namun, sebelum aku benar-benar melangkah, sebuah fakta menamparku. Zeline sudah menikah. Dia sudah menjadi istri orang. Dia bukan milikku lagi. ***ZELINETanpa perlu berkaca
JEVINAroma Zeline masih seperti dulu. Persis saat pertama kali aku membenamkan muka di ceruk lehernya. Perpaduan dari bunga dan buah-buahan yang segar, yang menggambarkan kepribadian Zeline yang ceria dan enerjik dengan sangat tepat.Sama seperti dulu, saat ini aku juga menenggelamkan wajahku di lehernya. Sementara tanganku mengusap punggungnya lembut di dalam pelukanku yang erat. Aku tidak akan melepaskannya lagi. Aku tidak akan membiarkan Zeline pergi. Tapi kemudian kesadaran menamparku. Zeline adalah istri orang. Untuk apa aku memeluk istri orang? Suaminya akan menghajarku kalau tahu apa yang kulakukan pada istrinya.“Maaf,” ucapku sambil mengurai dekapan kami.“Aku juga,” jawab Zeline pelan.“Aku nggak tahu kalau kamu di kamar ini. Tadi aku hanya mau ngeliat Kaka,” kataku menyampaikan alasan.Zeline mengangguk.Selanjutnya kami kembali terdiam dan saling menatap tanpa kata. Begitu banyak hal yang ingin kukatakan, tapi suaraku tercekat di tenggorokan sehingga tidak sepatah kata p
JEVINAku melihat Zeline duduk berdua dengan seorang laki-laki di beranda. Apa mungkin suami Zeline? Bagaimana ya cara menjabarkannya? Dari wajahnya lelaki itu terlihat gagah. Dari caranya berpakaian yang rapi seakan menyimbolkan tingkat intelegensinya. Dia memang pantas untuk Zeline.Tidak ingin menduga-duga, aku berbisik di telinga Bjorka. “Ka, itu siapa yang sama Onti?”Tanpa melihat sosok yang kumaksud, Bjorka langsung saja menjawab, “Itu Om Dimas.”Oh, jadi memang itu suami Zeline. Seharusnya setelah tahu Zeline sudah berkeluarga aku mundur pelan-pelan. Tapi kakiku malah melangkah maju mendekati beranda.“Pagi ...,” sapaku menyapa keduanya.Zeline dan Dimas serentak memandang padaku.“Pagi.” Dimas yang menjawab.Lalu aku dengan tidak tahu diri duduk di salah satu kursi yang berada di sana.Zeline tampak tidak nyaman, tapi aku tak peduli. Sedangkan Dimas menatapku lekat seakan sedang memulihkan ingatan atau mencari tahu siapa aku.Apa aku pernah bertemu dengannya sebelum hari i
ZELINE“Turunin aku di sini aja, Dim. Buka pintunya!” Aku menyentuh handle pintu mobil dan meminta agar Dimas agar membukanya. Aku sudah tidak tahan lagi mendengar penghinaan Dimas untukku dan Jevin.“Kamu mau ke mana?” “Aku mau turun di sini. Aku nggak jadi ketemu sama keluarga kamu. Lebih baik kita batalin.”Dimas mencetak senyum miring di bibirnya. Senyum yang baru kali ini aku lihat. Dia benar-benar sudah berubah. Begitu drastis dan tidak terduga.“Kita sudah sejauh ini dan kamu bilang mau batal? Terlambat, Zel.”“Belum terlambat,” sanggahku. “Hubungan kita masih baru dan belum ada apa-apanya. Lebih baik kita akhiri semua sekarang dari pada nanti saat semua sudah jauh.”Alih-alih akan menerima saranku, Dimas menekan pedal gas lebih dalam, meningkatkan kecepatan mobil yang dikendarainya. Caranya melampiaskan emosi membuatku kaget. Tindakan Dimas jauh di luar prediksiku.“Dan sekarang kamu bisa bilang begitu karena sudah ketemu dia. Jujur aja, Zel. Kamu ingin kita putus lalu kamu k
JEVINZeline masih berada di dalam dekapanku. Air matanya yang banjir membasahi dadaku. Aku membiarkannya menangis selama yang dia mau. Walau mungkin jika suaminya tahu pria itu berkemungkinan membakarku hidup-hidup. Untung nggak ada Kaka, jadi aku bisa dengan leluasa memeluk Zeline.Tadi setelah Zeline dan Dimas meninggalkan rumah, aku juga pergi membuntuti mereka. Untungnya lagi Kaka bisa dibujuk sehingga tetap tinggal di rumah.Cinta membuatku menjadi penguntit yang andal.Aku tiba di rumah Dimas lalu menunggu di seberang jalan. Menanti puluhan menit, akhirnya pasangan itu keluar dari rumah. Namun yang mengejutkanku adalah saat melihat Dimas menyeret Zeline dengan kasar. Bahkan aku bisa melihat ringisan di wajah Zeline. Demi apapun aku nggak rela Zeline disakiti. Dan sekarang tangisan Zeline memberiku keyakinan yang kuat bahwa hubungan keduanya tidak baik-baik saja. Mereka bermasalah.Kuusap punggung Zeline lembut. Lalu kucium puncak kepalanya dengan hangat.“Dia nyakitin kamu?” ta
JEVINDimas tak kuasa menyembunyikan rasa kejutnya saat melihat aku merangkul Zeline. Dari rahangnya yang mengetat aku tahu kalau dia marah. Salah sendiri. Siapa suruh kasar pada perempuan. “Siang, Mas Javas,” sapanya pada Javas.“Siang, Dim.” Javas tersenyum hangat.“Aku minta izin sebentar mau bicara sama Zeline, Mas. Boleh kan?"Sungguh dia begitu sopan. Kata-kata yang keluar dari mulutnya sangatlah santun. Sampai-sampai kalau bukan melihat sendiri perlakuannya pada Zeline tadi rasanya aku nggak akan bisa percaya kalau dia mampu bersikap kasar.“Tentu boleh. Serius amat ngomongnya. Silakan, Dim.” Javas menjawab lalu melirik Zeline. Matanya nyalang melihat tanganku yang dikait Zeline.Zeline tidak bergerak. Dia masih membisu di sebelahku. Ya, aku tahu kelemahan Zeline. Dia memang paling nggak bisa dikasari. Sikap dan tindakan kasar yang melukai hatinya akan membuatnya trauma. Javas kemudian mengirim sinyal dengan tatapannya yang tajam agar aku bergerak.Tahu diri, aku melepas tang