Dinda menatap papan pengumuman di depannya. Wajahnya yang semula ceria, mendadak muram. Apa yang terpampang di depannya membuatnya kembali galau. Apa yang akan terjadi dengan sidangnya jika yang ditulis di sana benar adanya? Ingin rasanya ia langsung menuju ruangan Arya tapi mengingat Arya sedang mengajar di gedung dua, Dinda langsung mengurungkan niatnya. Ia mencari Mita, kalau saja sahabatnya itu berada di sekitarnya. Namun sayangnya, Mita tidak terlihat olehnya. "Mungkin langsung bertanya ke bagian pendidikan lebih baik," gumam Dinda. Ia langsung memutar tubuhnya kembali ke lorong administrasi kampus. Ia harus mengecek kebenaran pengumuman hari ini. Langkahnya ia buat selebar mungkin, khawatir jangan-jangan petugas sudah tidak berada di tempat. Benar saja. Kekhawatiran Dinda menjadi kenyataan. Ruang administrasi pendidikan lengang. Tidak tampak seorang pun di sana. 'Kemana orang-orang ini?' Dinda celingukan. Suara printer yang berasal dari ruang sebelah, mengganggunya. Dinda kel
Denny sedang asyik menonton film terbaru di ponselnya ketika sebuah ketukan cukup keras terdengar di pintu kamar kos-nya. Denny bangkit lalu membuka pintu kamarnya. "Ada apa?" tanyanya pada Aris, yang tinggal di kamar sebelah. "Dicariin tuh. Cewek. Spanyol. Katanya penting. Honornya gede." "Hah?!" Denny terperangah. Ia tidak merasa memiliki kenalan seorang gadis di kampus. Teman-teman seangkatannya sudah lama meninggalkannya sendiri di kampus itu. Ia adalah satu-satunya yang tersisa, yang terpaksa mengikuti semua perkembangan yang berlangsung di kampus ekonomi. "Cepetan! Dia buru-buru katanya." "Lu kira-kira dong! Ini gua baru aja bangun tidur. Bekas iler gua aja masih nempel,"gerutu Denny kesal. Pacar bukan tunangan apalagi, tapi tamu tak diundang itu sudah semena-mena terhadapnya. Menyuruhnya untuk segera menemuinya? Mimpi! "Udah. Buruan aja kenapa sih?" jawab Aris sebal. Ia jadi ikut terganggu. Beberapa menit waktunya terbuang percuma, untuk meladeni cewek seksi yang tiba-tiba
Dinda menunggu kedatangan Arya yang masih sibuk berdiskusi di ruangan Hasan. Telinganya berusaha mencuri dengar tapi tidak berhasil. Arya dengan gayannya yang suka sekali berdiskusi dengan suara pelan membuatnya kesulitan. Hasan yang mendengar kabar dari Arya sontak kaget. Ia juga tidak bisa terima dengan selebaran pengumuman itu. "Rapat terakhir belum juga di-follow-up, itu artinya keputusan belum final." "Tentu. Seharusnya ada rapat lanjutan lebih dulu baru pengumuman ini dibuat lalu ditempel. Bukan seperti ini." Wajah Arya tidak dapat menyembunyikan kekecewaan dan amarahnya. Hasan menggoyangkan kedua kakinya, hal biasa yang ia lakukan jika menemui masalah seperti ini. "Mungkinkah ini perbuatan Bu Mega?" Arya menegakkan kepalanya. Ia tidak terpikir sampai ke sana. "Atas dasar apa? Bukankah beliau juga tahu jika itu belum menjadi keputusan final?" Hasan mengedikkan kedua bahunya. "Sepertinya kecurigaan saya sama seperti yang dulu. Ada motif di balik ini semua. Sesuatu yang mun
Denny berhasil bangun lebih awal. Alarm ponselnya berjalan dengan baik, seolah paham jika pemiliknya memiliki agenda besar hari ini. Bangun lebih awal dari penghuni kos yang lain, Denny bebas memilih menggunakan kamar mandi manapun yang ia inginkan. Ia juga lebih santai karena tidak ada yang menggedor pintu kamar mandi dari luar. Jam enam pagi, Denny sudah berpakaian rapi. Ia mulai menata tasnya dengan beberapa buku dan satu skripsinya. Ia harus bisa memerankan perannya dengan baik hingga misinya berakhir dengan sempurna. Ia membawa vespa bututnya ke kampus melewati jalan pintas yang membelah kampus FISIP menjadi dua gedung. Membawa vespanya mengelilingi kampus ekonomi dan seni rupa sebelum akhirnya sampai di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Bangunan gedung yang baru saja selesai dicat dan direnovasi di beberapa bagian, membuat Denny ternganga dan berdecak kagum. Kampusnya sekarang lebih fresh dengan gaya milenialnya. "Kenapa gua baru tahu sekarang kalau ini kampus maki
Denny mengeluarkan bukunya yang kosong, lalu berdiri mengambil diktat sembarang yang berada di dekatnya. Karena niat sebenarnya bukan murni untuk belajar, alhasil Denny mengambil buku yang ada di dekatnya. "Dasar-dasar ilmu manajemen?" Dinda membaca buku diktat yang diberikan Denny kepadanya. "Mau belajar ini?" Dinda keheranan. Ini akan materi mudah? "Kurang berat?" tanya Denny asal. "Loh?"Dinda menjadi bingung. "Kok tanya saya? Sebenarnya, yang mau dipelajari apa sih?" Denny mengeluarkan skripsinya lalu menunjukkan daftar isi. Ia lalu menjelaskan tentang skripsinya mulai dari pengajuan proposal hingga bab kesimpulan. Dinda menyimak begitu serius. Keduanya tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam mengambil gambar tentang mereka. Ketika posisi Dinda dan Denny begitu dekat, sosok itu mengambil gambar dari jarak yang begitu dekat tanpa diketahui Dinda dan Denny. Seringai jahat terlihat jelas di wajah orang itu. "Misi ini pasti berhasil." Dua jam berlalu, hingga akhirnya Din
Arya menatap lekat Dinda yang tengah asyik menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Wajah Dinda yang semula, saat bertemu dengannya begitu tegang, kini sudah mulai rileks dan itu memancing pertanyaan dalam diri Arya. "Tadi kenapa?" "Kenapa gimana maksudnya?" Dinda masih terus menyendokkan es krim ke mulutnya. "Cemburu?" Arya memilih untuk meneruskan pertanyaannya daripada mengulang pertanyaannya. Dinda memilih diam. Malu jika harus mengakui perasaan cemburu yang tadi menghampirinya secara tiba-tiba, saat melihat Mega berdiri begitu dekat dengan Arya. Arya terkekeh. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi dia yang tiba-tiba menempel lebih dulu dari belakang." Dinda tetap diam. Geram rasanya mendengar cerita Arya. 'Mengapa wanita itu tidak punya malu? Menempelkan bagian tubuhnya ke pria secara sengaja? Murahan sekali!' "Kalau kamu tidak percaya .... " "Percaya." Jawaban cepat Dinda membuat Arya justru terheran-heran. "Mengapa percaya? Tidak curiga?" "Soal itu tidak akan curiga, h
Denny dengan enggan memarkirkan motor V*sp* bututnya. Wajahnya terlihata sangat suntuk. Jalannya pun tidak bersemangat seperti tadi pagi. Lunglai adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa Denny tengah berjuang keras membawa kedua kakinya untuk tetap melangkah ke ruangan Mega. "Seharusnya dia sudah tiba sekarang. Toleransiku sudah lebih dari cukup." Mega mengetuk jari-jemari ke atas meja saat sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk!" Mega menatap pintu yang perlahan membuka, dan menatap sosok yang menunduk permisi sebelum melangkah masuk ke dalam ruangannya. "Mengapa lama sekali? Kamu membuat saya menunggu hampir satu jam lamanya. Sebenarnya, yang butuh siapa?" tanya Mega sangat ketus. Ia tidak peduli dengan perasaan Denny yang sangat sensitif. "Hmm, Kalau Ibu keberatan untuk membimbing saya. Saya akan mencari dosen lain, yang bersedia untuk membimibing dan mengarahkan saya, yang tidak memiliki jam terbang setinggi Bu Mega dan Pak Arya." Denny memaksa ota
Netra Dinda secara otomatis, tanpa diperintah, membesar seketika. Mulutnya terbuka. Pikirannya kosong, demi mendengar kalimat Arya barusan. "Be-sok ki-ta i-jaab?" Sungguh, saat ini Dinda ingin menghilang seketika dari hadapan Arya. Arya mengangguk mantab. Giliran pria itu yang menjawab pertanyaan Dinda dengan sangat yakin. "Betul. Besok kita akan ijab kabul." "Jangan becanda deh, Pak- eh-Sayang..." Dinda tiba-tiba menjadi kikuk. "Serius. Aku tidak pernah bercanda untuk urusan penting dan sakral seperti ini. Besok kita akan ijab kabul di sini. Karena itu, mama datang kemari, mencari Mama Sari. Perencana pernikahan yang disewa mama sedang dalam perjalanan kemari." Dinda kembali terkejut. 'Apa-apaan ini?' "Jangan bercan ..." "Saya tidak sedang bercanda." Arya lantas mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah kotak kecil yang dibalut dengan kain beludru halus berwarna biru. "Di sini sudah ada cincin kawin kita. Kamu ingin melihatnya dulu?" "Cin-cin?" Dinda meragukan yan