Arya menatap lekat Dinda yang tengah asyik menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Wajah Dinda yang semula, saat bertemu dengannya begitu tegang, kini sudah mulai rileks dan itu memancing pertanyaan dalam diri Arya. "Tadi kenapa?" "Kenapa gimana maksudnya?" Dinda masih terus menyendokkan es krim ke mulutnya. "Cemburu?" Arya memilih untuk meneruskan pertanyaannya daripada mengulang pertanyaannya. Dinda memilih diam. Malu jika harus mengakui perasaan cemburu yang tadi menghampirinya secara tiba-tiba, saat melihat Mega berdiri begitu dekat dengan Arya. Arya terkekeh. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi dia yang tiba-tiba menempel lebih dulu dari belakang." Dinda tetap diam. Geram rasanya mendengar cerita Arya. 'Mengapa wanita itu tidak punya malu? Menempelkan bagian tubuhnya ke pria secara sengaja? Murahan sekali!' "Kalau kamu tidak percaya .... " "Percaya." Jawaban cepat Dinda membuat Arya justru terheran-heran. "Mengapa percaya? Tidak curiga?" "Soal itu tidak akan curiga, h
Denny dengan enggan memarkirkan motor V*sp* bututnya. Wajahnya terlihata sangat suntuk. Jalannya pun tidak bersemangat seperti tadi pagi. Lunglai adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa Denny tengah berjuang keras membawa kedua kakinya untuk tetap melangkah ke ruangan Mega. "Seharusnya dia sudah tiba sekarang. Toleransiku sudah lebih dari cukup." Mega mengetuk jari-jemari ke atas meja saat sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk!" Mega menatap pintu yang perlahan membuka, dan menatap sosok yang menunduk permisi sebelum melangkah masuk ke dalam ruangannya. "Mengapa lama sekali? Kamu membuat saya menunggu hampir satu jam lamanya. Sebenarnya, yang butuh siapa?" tanya Mega sangat ketus. Ia tidak peduli dengan perasaan Denny yang sangat sensitif. "Hmm, Kalau Ibu keberatan untuk membimbing saya. Saya akan mencari dosen lain, yang bersedia untuk membimibing dan mengarahkan saya, yang tidak memiliki jam terbang setinggi Bu Mega dan Pak Arya." Denny memaksa ota
Netra Dinda secara otomatis, tanpa diperintah, membesar seketika. Mulutnya terbuka. Pikirannya kosong, demi mendengar kalimat Arya barusan. "Be-sok ki-ta i-jaab?" Sungguh, saat ini Dinda ingin menghilang seketika dari hadapan Arya. Arya mengangguk mantab. Giliran pria itu yang menjawab pertanyaan Dinda dengan sangat yakin. "Betul. Besok kita akan ijab kabul." "Jangan becanda deh, Pak- eh-Sayang..." Dinda tiba-tiba menjadi kikuk. "Serius. Aku tidak pernah bercanda untuk urusan penting dan sakral seperti ini. Besok kita akan ijab kabul di sini. Karena itu, mama datang kemari, mencari Mama Sari. Perencana pernikahan yang disewa mama sedang dalam perjalanan kemari." Dinda kembali terkejut. 'Apa-apaan ini?' "Jangan bercan ..." "Saya tidak sedang bercanda." Arya lantas mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah kotak kecil yang dibalut dengan kain beludru halus berwarna biru. "Di sini sudah ada cincin kawin kita. Kamu ingin melihatnya dulu?" "Cin-cin?" Dinda meragukan yan
Fahri tidak bisa berlama-lama. Begitu ia selesai menerima kotak yang berisi selop untuk Arya, pria itu segera meninggalkan kamar rias Dinda meski hatinya masih ingin menatap wajah cantik di depannya. "Siapa?" tanya Dinda yang baru saja selesai mengenakan kain jarik dan kini tengah mengenakan sanggul. "Nggak tahu. Gua lupa namanya siapa?" Mita menatap Dinda takjub. "Sumpah! Lu cantik banget, Din." Tanpa sadar, Mita mengelilingi Dinda berulang. Ia dibuat terkesima dengan penampilan Dinda. Sahabatnya yang tidak pernah mengenakan make-up selain bedak dan lip tint itu, sungguh memesona. Dirinya yang notabene sama-sama perempuan saja dibuat kagum, bagaimana lagi dengan kaum adam? Mita menggelengkan kepalanya. "Gua yakin. Seratus ribu persen yakin, akan banyak pria patah hati ngeliat lu kek begini." Dinda semakin salah tingkah. Ini adalah pujian ke sekian kalinya yang ia dengar. Dari para perias, Anggun, Sari. Belum lagi, decakan kagum dari para petugas katering yang mengantarkan snack
"Apakah kalian yang akan saya nikahkan besok pagi?" tanya seorang pria yang mengenakan setelan jas warna abu-abu tua lengkap dengan peci hitamnya. Fahri dan Mita menoleh serentak ke arah pria itu. "Bapak pasti salah orang." Mita terkekeh. "Kita berdua sedang mengambil foto mempelai, Pak." "Kalau itu sangat jelas bagi saya, tapi saya diberitahu seseorang untuk mengingatkan kalian untuk bersiap besok pagi di sini." Secarik kertas diterima Fahri. "Pastikan kesehatan kalian. Saya akan datang ke rumah kamu dan kamu." Pria itu dengan tegas mengingatkan Fahri dan Mita yang masih bingung. Meski Fahri berharap untuk dapat secepatnya menyusul Arya, bukan berarti ia langsung menerima mentah-mentah perintah petugas KUA itu. "Dia bukan calon istri saya." "Lalu, yang mana calon istrimu?" Petugas KUA itu mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan sosok gadis yang sekiranya sesuai dengan kriteria pria seperti Fahri. "Belum ada, Pak." "Kalau belum ada, yang ada saja kamu jadikan istri." 'Hah?
Mita terperangah. Tangan kanannya terangkat ke atas hendak dilayangkan ke wajah Fahri. Namun, gerakannya terbaca oleh Fahri. "Ingin merasakan yang lebih hot lagi?" bisiknya dengan suara mendesah dengan sengaja. Sontak Mita melotot. Ia hempaskan tangannya ke samping hingga pegangan Fahri-pun terlepas dari tangannya. "Lu pikir gua cewek pinggir jalan yang mau aja diajak kawin sama orang asing? Gila lu ya!!!" Mita langsung berlari menuju Dinda, yang sedang duduk menikmati hidangan bersama Arya. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. Ia merasa dilecehkan dan dipermalukan. Ia ingin mengadukan perihal kelakuan Fahri pada Arya, yang sangat tidak etis dan tidak menghargainya. Dinda melihat Mita yang berjalan dengan tergesa dengan wajah merah khas Mita bila gadis itu menahan amarah. Dinda langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan menyambut Mita dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Di-Dia Jahat!!! Dia gila!!1" Mita menangis sesenggukan di bahu Dinda, membuat Dinda bingung, siapa yan
Dermawan menghela napasnya. Pertanyaan Dinda bukanlah pertanyaan sulit, tapi lumrah, karena kabar itu memang sangat mengejutkan semua orang, termasuk Anggun, istrinya sendiri. "Ayo dong, Pa! Jelaskan semua biar Mama nggak panik dan cemas sepert ini. Kalau memang Fahri harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka kita harus menyegerakannya. Jangan ditunda lagi!" Anggun sungguh tidak sabar. Dermawan menghela napasnya sejenak sebelum memulai ceritanya. Ia menceritakan bagaimana dirinya dihubungi oleh seseorang yang ternyata nasabahnya sendiri, Chandra Susanto. Mereka sudah menjalin hubungan baik sejak lama. Dua hari yang lalu, Chandra menghubungi dirinya. Pria itu menceritakan bagaimana dia sedang membutuhkan modal untuk memulai bisnis baru dengan seorang pengusaha muda. Namun, pengusaha muda itu menawarkan kerjasama dengan persyaratan yang cukup rumit, dengan hasil yang tidak main-main. Anehnya, ia langsung menyetujui persyaratan itu, karena melihat peluang yang cukup menjanjika
Mita keluar dari mobil Fahri. Membanting pintunya dengan kasar. Ia marah. Benar-benar marah. Ia berjalan dengan langkah lebar, mencari kedua orang tuanya untuk mengklarifikasi semuanya. "Tunggu aku !" Fahri dengan setengah berlari mengejar Mita. Sayang, permintaannya tidak dikabulkan Mita. Gadis itu terus saja berjalan cepat. "Mamaaaa!!" teriak Mita menahan emosi. "Paaaa!!" Kali ini ia meneriakkan papanya. Tidak ada jawaban yang ia dapat. Fahri yang berlari, akhirnya dapat menyusul Mita. "Pelan-pelan. Jangan seperti ini! Kita bicarakan semuanya dengan baik-baik." Langkah Mita terhenti. Ia membalikkan tubuhnya. "Bicarakan baik-baik kata lu? Kenapa tidak dari awal kalian begini, hah?! Kenapa kalian tidak menanyakan dulu soal ini ke gua? Lu kira gua apa??! Wanita murahan yang gampang diajak nikah lalu cerai?? Begitu menurut lu??!'' Mita menjadi kalap. Perasaannya sedih sekaligus sakit. Orang tuanya sendiri mengabaikan keberadaan dan perasaannya. "Lu semua sama saja! Tidak ada ya