Denny berhasil bangun lebih awal. Alarm ponselnya berjalan dengan baik, seolah paham jika pemiliknya memiliki agenda besar hari ini. Bangun lebih awal dari penghuni kos yang lain, Denny bebas memilih menggunakan kamar mandi manapun yang ia inginkan. Ia juga lebih santai karena tidak ada yang menggedor pintu kamar mandi dari luar. Jam enam pagi, Denny sudah berpakaian rapi. Ia mulai menata tasnya dengan beberapa buku dan satu skripsinya. Ia harus bisa memerankan perannya dengan baik hingga misinya berakhir dengan sempurna. Ia membawa vespa bututnya ke kampus melewati jalan pintas yang membelah kampus FISIP menjadi dua gedung. Membawa vespanya mengelilingi kampus ekonomi dan seni rupa sebelum akhirnya sampai di pelataran parkir depan kampus ekonomi. Bangunan gedung yang baru saja selesai dicat dan direnovasi di beberapa bagian, membuat Denny ternganga dan berdecak kagum. Kampusnya sekarang lebih fresh dengan gaya milenialnya. "Kenapa gua baru tahu sekarang kalau ini kampus maki
Denny mengeluarkan bukunya yang kosong, lalu berdiri mengambil diktat sembarang yang berada di dekatnya. Karena niat sebenarnya bukan murni untuk belajar, alhasil Denny mengambil buku yang ada di dekatnya. "Dasar-dasar ilmu manajemen?" Dinda membaca buku diktat yang diberikan Denny kepadanya. "Mau belajar ini?" Dinda keheranan. Ini akan materi mudah? "Kurang berat?" tanya Denny asal. "Loh?"Dinda menjadi bingung. "Kok tanya saya? Sebenarnya, yang mau dipelajari apa sih?" Denny mengeluarkan skripsinya lalu menunjukkan daftar isi. Ia lalu menjelaskan tentang skripsinya mulai dari pengajuan proposal hingga bab kesimpulan. Dinda menyimak begitu serius. Keduanya tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam mengambil gambar tentang mereka. Ketika posisi Dinda dan Denny begitu dekat, sosok itu mengambil gambar dari jarak yang begitu dekat tanpa diketahui Dinda dan Denny. Seringai jahat terlihat jelas di wajah orang itu. "Misi ini pasti berhasil." Dua jam berlalu, hingga akhirnya Din
Arya menatap lekat Dinda yang tengah asyik menyendokkan es krim ke dalam mulutnya. Wajah Dinda yang semula, saat bertemu dengannya begitu tegang, kini sudah mulai rileks dan itu memancing pertanyaan dalam diri Arya. "Tadi kenapa?" "Kenapa gimana maksudnya?" Dinda masih terus menyendokkan es krim ke mulutnya. "Cemburu?" Arya memilih untuk meneruskan pertanyaannya daripada mengulang pertanyaannya. Dinda memilih diam. Malu jika harus mengakui perasaan cemburu yang tadi menghampirinya secara tiba-tiba, saat melihat Mega berdiri begitu dekat dengan Arya. Arya terkekeh. "Bukan aku yang mulai duluan, tapi dia yang tiba-tiba menempel lebih dulu dari belakang." Dinda tetap diam. Geram rasanya mendengar cerita Arya. 'Mengapa wanita itu tidak punya malu? Menempelkan bagian tubuhnya ke pria secara sengaja? Murahan sekali!' "Kalau kamu tidak percaya .... " "Percaya." Jawaban cepat Dinda membuat Arya justru terheran-heran. "Mengapa percaya? Tidak curiga?" "Soal itu tidak akan curiga, h
Denny dengan enggan memarkirkan motor V*sp* bututnya. Wajahnya terlihata sangat suntuk. Jalannya pun tidak bersemangat seperti tadi pagi. Lunglai adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan betapa Denny tengah berjuang keras membawa kedua kakinya untuk tetap melangkah ke ruangan Mega. "Seharusnya dia sudah tiba sekarang. Toleransiku sudah lebih dari cukup." Mega mengetuk jari-jemari ke atas meja saat sebuah ketukan terdengar di pintu ruangannya. "Masuk!" Mega menatap pintu yang perlahan membuka, dan menatap sosok yang menunduk permisi sebelum melangkah masuk ke dalam ruangannya. "Mengapa lama sekali? Kamu membuat saya menunggu hampir satu jam lamanya. Sebenarnya, yang butuh siapa?" tanya Mega sangat ketus. Ia tidak peduli dengan perasaan Denny yang sangat sensitif. "Hmm, Kalau Ibu keberatan untuk membimbing saya. Saya akan mencari dosen lain, yang bersedia untuk membimibing dan mengarahkan saya, yang tidak memiliki jam terbang setinggi Bu Mega dan Pak Arya." Denny memaksa ota
Netra Dinda secara otomatis, tanpa diperintah, membesar seketika. Mulutnya terbuka. Pikirannya kosong, demi mendengar kalimat Arya barusan. "Be-sok ki-ta i-jaab?" Sungguh, saat ini Dinda ingin menghilang seketika dari hadapan Arya. Arya mengangguk mantab. Giliran pria itu yang menjawab pertanyaan Dinda dengan sangat yakin. "Betul. Besok kita akan ijab kabul." "Jangan becanda deh, Pak- eh-Sayang..." Dinda tiba-tiba menjadi kikuk. "Serius. Aku tidak pernah bercanda untuk urusan penting dan sakral seperti ini. Besok kita akan ijab kabul di sini. Karena itu, mama datang kemari, mencari Mama Sari. Perencana pernikahan yang disewa mama sedang dalam perjalanan kemari." Dinda kembali terkejut. 'Apa-apaan ini?' "Jangan bercan ..." "Saya tidak sedang bercanda." Arya lantas mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya. Sebuah kotak kecil yang dibalut dengan kain beludru halus berwarna biru. "Di sini sudah ada cincin kawin kita. Kamu ingin melihatnya dulu?" "Cin-cin?" Dinda meragukan yan
Fahri tidak bisa berlama-lama. Begitu ia selesai menerima kotak yang berisi selop untuk Arya, pria itu segera meninggalkan kamar rias Dinda meski hatinya masih ingin menatap wajah cantik di depannya. "Siapa?" tanya Dinda yang baru saja selesai mengenakan kain jarik dan kini tengah mengenakan sanggul. "Nggak tahu. Gua lupa namanya siapa?" Mita menatap Dinda takjub. "Sumpah! Lu cantik banget, Din." Tanpa sadar, Mita mengelilingi Dinda berulang. Ia dibuat terkesima dengan penampilan Dinda. Sahabatnya yang tidak pernah mengenakan make-up selain bedak dan lip tint itu, sungguh memesona. Dirinya yang notabene sama-sama perempuan saja dibuat kagum, bagaimana lagi dengan kaum adam? Mita menggelengkan kepalanya. "Gua yakin. Seratus ribu persen yakin, akan banyak pria patah hati ngeliat lu kek begini." Dinda semakin salah tingkah. Ini adalah pujian ke sekian kalinya yang ia dengar. Dari para perias, Anggun, Sari. Belum lagi, decakan kagum dari para petugas katering yang mengantarkan snack
"Apakah kalian yang akan saya nikahkan besok pagi?" tanya seorang pria yang mengenakan setelan jas warna abu-abu tua lengkap dengan peci hitamnya. Fahri dan Mita menoleh serentak ke arah pria itu. "Bapak pasti salah orang." Mita terkekeh. "Kita berdua sedang mengambil foto mempelai, Pak." "Kalau itu sangat jelas bagi saya, tapi saya diberitahu seseorang untuk mengingatkan kalian untuk bersiap besok pagi di sini." Secarik kertas diterima Fahri. "Pastikan kesehatan kalian. Saya akan datang ke rumah kamu dan kamu." Pria itu dengan tegas mengingatkan Fahri dan Mita yang masih bingung. Meski Fahri berharap untuk dapat secepatnya menyusul Arya, bukan berarti ia langsung menerima mentah-mentah perintah petugas KUA itu. "Dia bukan calon istri saya." "Lalu, yang mana calon istrimu?" Petugas KUA itu mengedarkan pandangannya, berusaha menemukan sosok gadis yang sekiranya sesuai dengan kriteria pria seperti Fahri. "Belum ada, Pak." "Kalau belum ada, yang ada saja kamu jadikan istri." 'Hah?
Mita terperangah. Tangan kanannya terangkat ke atas hendak dilayangkan ke wajah Fahri. Namun, gerakannya terbaca oleh Fahri. "Ingin merasakan yang lebih hot lagi?" bisiknya dengan suara mendesah dengan sengaja. Sontak Mita melotot. Ia hempaskan tangannya ke samping hingga pegangan Fahri-pun terlepas dari tangannya. "Lu pikir gua cewek pinggir jalan yang mau aja diajak kawin sama orang asing? Gila lu ya!!!" Mita langsung berlari menuju Dinda, yang sedang duduk menikmati hidangan bersama Arya. Wajahnya memerah menahan malu dan marah. Ia merasa dilecehkan dan dipermalukan. Ia ingin mengadukan perihal kelakuan Fahri pada Arya, yang sangat tidak etis dan tidak menghargainya. Dinda melihat Mita yang berjalan dengan tergesa dengan wajah merah khas Mita bila gadis itu menahan amarah. Dinda langsung berdiri dari duduknya. Ia berjalan menyambut Mita dan langsung memeluk sahabatnya itu. "Di-Dia Jahat!!! Dia gila!!1" Mita menangis sesenggukan di bahu Dinda, membuat Dinda bingung, siapa yan