Aku masih termenung sembari menatap Jay dengan banyak sekali pertanyaan. Jujur, pikiranku penuh dan cukup bingung dengan mimpi buruk yang aku alami barusan. Jika itu memang benar mimpi buruk, tapi mengapa aku merasakannya begitu nyata? Entahlah, aku benar-benar kebingungan sampai kurasakan tatapan mata Jay yang tadi sore terlihat dingin. Sedikit berubah kali ini. Kedua pupil matanya yang berwarna hitam pekat, menatap netra cokelat milikku lurus. Dengan perasaan yang sulit sekali dijelaskan. Selain itu, sejak kapan jari-jemari tangannya yang ramping itu menangkup kedua pipiku penuh kehati-hatian. Yang kemudian, mengusap cairan bening yang masih tertinggal dibagian bawah mata ini tiba-tiba?Tunggu, dia sungguh Jay yang aku kenal, kan?Pletak!"Aowss!" ringisku pelan, setelah mendapat jitakan yang tak terduga. Tak lupa, ku tatap kedua bola matanya nyalang seketika. Sialan, aku hampir lupa. Mana mungkin, Jay yang suka seenak jidat bisa berubah lunak dan baik padaku? Cih, dasar kakak ti
"Kalian berdua ini memang senang sekali cari perkara sama adek kelas, yah?!" bentak Bu Gian galak. Kulihat matanya menatap tajam ke arah cewek bernama Cantika dan temannya Vivi. Yang baru saja kutahu setelah ditanyai nama masing-masing tadi. "Yaelah Bu, namanya juga becanda. Kayak nggak tahu aja, sama hobi kita-" "Ngeles terus!" Lagi, Bu Gian membentak. Kali ini sembari menjewer kedua telinganya Cantika sekaligus Vivi yang sedang dihukum berdiri dengan kaki terangkat satu tepat di depan ruang BK. Tentu, aku yang merasa senang melihat keduanya tersiksa tanpa sadar tertawa. Yang malah membuatku langsung mendapat plototan mata gratis dari Bu Gian setelahnya."Siapa yang nyuruh kamu ketawa? Kamu pikir, kamu nggak salah sama sekali, Dyl?" "Enggak, maksud saya itu ..." "Terserah kalian mau kasih saya alibi apa. Yang jelas, besok pagi, orang tua kalian harus datang ke sekolah buat bertemu dengan saya." Bak tersambar petir disiang bolong, aku yang mendengar itu. Buru-buru meminta maaf
Jay? Sejak kapan, dia ada di sini?Aku membatin tanpa sekalipun mengalihkan perhatianku dari balik punggung kakak tiriku. Yang entah sejak kapan, sudah berdiri menjulang tepat didepan wajahku, seolah sedang melindungiku dari Juni.Lain halnya denganku yang masih sedikit terkejut, karena kedatangan Jay yang mirip seperti jelangkung--datang tak diundang serta pulang tak diantar.Kulihat, wajah Juni semakin mengeras dengan pandangan mata tajam sekali, memelototi aku dan Jay bergantian."Lepas!" sentak cowok berkacamata itu kemudian. Yang malah membuat kakak tiriku itu terkekeh kecil ditempat. Tunggu! Kupikir tidak ada hal yang lucu. Tapi mengapa, Jay suka sekali menertawakan orang-orang? Seolah-olah dia menganggap, orang lain itu lebih bodoh dari dirinya, tak terkecuali aku."Lepas lo bilang?" tanya Jay balik, dengan wajahnya yang sangat menyebalkan itu. Sebuah ekspresi wajah, yang kupikir hanya Jay saja yang mampu menunjukkannya dengan sangat tampan tapi benar-benar membuat musuhnya
Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar ini adanya. Kurasa, sikap Jay benar-benar berubah akhir-akhir ini. Dia, yang selalu melirik ke arahku sinis, serta berkata seenaknya sendiri, tanpa memikirkan apakah orang lain akan merasa sakit hati, akibat dari ucapannya itu. Tiba-tiba saja, berubah menjadi lebih posesif. Entahlah, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Namun, jika ini hanya khayalanku, mengapa Jay mendadak bersikap begitu?Alih-alih merasa senang dengan hubungan kami yang kembali membaik. Aku justru ngeri sendiri. Sebenarnya ini bermula dari kejadian hari itu. Sesaat setelah Jay menarik pergelangan tanganku pergi, untuk mengekori langkahnya yang mirip orang kesetanan, menuju gudang lama yang letaknya ada dipojok paling belakang. Ralat, lebih tepatnya setelah kakak tiriku itu mengatakan dengan polosnya, jika tidak ada yang boleh menyentuh miliknya. Dan tentu saja, aku tahu kata-kata itu merujuk pada siapa. Gila!Jika aku bayangkan sekali lagi, untuk mengusut benang m
Aku menelan ludah kelu saat mendengar suara Jay yang berat itu. Apalagi tatapan matanya, tampak begitu dalam menatap ke arahku. Seolah sedang menyoroti semua bagian tubuhku tanpa terkecuali.Sungguh, kegugupan ini sangat melanda. Meskipun aku tahu, jika Roselin masih ada bersama kami. Tapi entah mengapa, aku justru merasakan hanya ada Jay dan aku di tempat ini. Saat aku mendongakan wajahku ke atas perlahan. Lagi-lagi aku melihat seringaian lebar milik kakak tiriku itu. Yang kini, terlihat lebih dekat daripada sebelumnya. Tunggu! Sejak kapan, Jay mendekatkan wajahnya? Tidak malukah dia, jika di sini masih ada Roselin?"Adik?" Bersamaan dengan panggilannya itu, Jay menjitak ujung dahiku dengan jari telunjuknya yang panjang serta ramping. Tak! "Ish, sakit!" gerutuku tanpa sadar, seraya melayangkan tatapan mata nyalang padanya. Tak lupa, kedua pipiku juga mengembung lucu, jika sedang marah. Yang malah membuat Roselin terkikik geli di samping kami."Kalian berdua terlihat sangat lucu,
Aku dan Jay akhirnya masuk ke dalam kamar milikku untuk mengerjakan tugas dari sekolah. Yang mulanya, hanya alibiku saja pada Roselin. Namun tak ku sangka, hal itu malah membuatku harus berduaan begini, dengan kakak tiriku yang mirip iblis berparas malaikat itu.Huh, tahu begitu, aku cari alasan lain saja tadi. Meskipun bersama dengan cowok tampan tidaklah buruk. Tapi itu akan berbeda sekali, jika cowok itu adalah Jay.Lihat saja dia, belum apa-apa sudah mengambil penggaris milikku untuk dipegangnya. Lalu, diketuk-ketukkan secara teratur di atas permukaan telapak tangan kirinya yang kosong. Jangan lupa, tatapan matanya yang mirip guru fisika jika sedang serius mengajar, menatap ke arahku tajam. Benar-benar deh, selain menyebalkan, kakak tiriku itu juga jago dalam seni peran."Mana soal yang susah?" tanyanya tiba-tiba, membuatku kontan menyipitkan mata. Serius, Jay mau membantuku untuk ini? batinku curiga."Odyl?" Oke, jika dia sudah memanggil namaku begitu. Aku yakin, jika itu betul
Keesokan harinya, aku kembali menjalani rutinitasku sebagai seorang siswi biasa. Hanya saja yang membedakannya kali ini, dengan hari-hariku yang lalu adalah kehadiran Narestu, serta Devan si biang ricuh. Entahlah, yang jelas si makhluk Tuhan tak kalah menyebalkan itu selalu saja muncul. Meskipun sudah berkali-kali kutolak. Fyi, tampaknya Devan bukan tipikal cowok yang gampang sekali menyerah. Itu terbukti dari berbagai hal konyol yang masih sering dia lakukan hanya untuk bertemu atau bisa dekat denganku. Seperti sekarang ini misalnya, bisa-bisanya dia yang seorang senior kelas 12 mengajukan diri untuk bergabung dengan camping angkatan anak-anak kelas 11? Awalnya aku cukup bingung dengan kelakuannya tersebut. Tapi, setelah melihat Jay ikut berpartisipasi juga Kebingunganku itu, seketika menguap. Hm, kalau ada Jay sih, sudah lain cerita. "Odyl! Odyl, sini!" teriak Devan sembari menunjuk-nunjuk wajahnya sendiri dengan kedua jari telunjuknya. Seolah sedang memberikan tanda padaku, u
Terlihat Nares menatap ke arahku menuntut penjelasan, setelah cowok itu berhasil melepaskan kepalanya sendiri dari apitan lenganku beberapa menit yang lalu. Sorot matanya tampak begitu serius saat melihat ke arah pupil mataku ini. Dan tentu, itu benar-benar sangat menganggu."Dyl, bukannya lo anak semata wayang?" tanyanya tiba-tiba, meminta penjelasan.Nares bahkan memegang kedua tanganku tanpa permisi, yang kemudian dia remas sangat lembut dengan jari-jemari tangannya yang terasa hangat dikulit. Aku yang melihat reaksi wajah sahabatku begitu, menjadi tidak enak. Rasanya, aku juga ingin menjelaskan semua hal padanya. Salah satunya, tentang status hubunganku dengan Jay. Akan tetapi, mulutku begitu sulit hanya untuk menjelaskan beberapa patah kata padanya. Entah karena aku yang khawatir dengan hal-hal yang akan terjadi dimasa depan nanti, atau karena alasan lain? Eum tapi, bagaimana pun juga aku sudah berjanji pada kakak tiriku. Perihal tentang status hubungan kami yang notebene kaka