Saat perjalanan pulang, aku dan Jay tak saling berbicara satu sama lain. Yang kami lakukan hanya termenung dengan isi kepala masing-masing seraya menatap ke arah pemandangan di luar jendela mobil.Entahlah, kenapa kami menjadi kaku begini. Padahal beberapa waktu lalu, kukira hubungan kami sudah jauh lebih dekat. Huft, memikirkannya membuatku kembali teringat dengan kejadian di UKS. Kejadian dimana Jay melontarkan kata-kata yang menurutku sangat menusuk hati, kepada Devan dan juga Nares. Ah, tidak bisakah dia bersikap sewajarnya? Layaknya seseorang penuh etika yang menjawab pertanyaan orang lain dengan baik? Jelas-jelas saat itu keduanya bertanya dengan kekhawatiran padaku. Tapi reaksi dari Jay yang seolah tak butuh itu, malah memperkeruh suasana. Memang salah yah, bertanya keadaan orang lain? Aku yakin, mereka berdua itu tulus kok. Lama berdiam diri dengan kepala yang masih menoleh ke arah jalanan. Membuat rasa kantuk tiba-tiba menyerangku. Terlebih semilir angin yang beberapa kali
"Apa kau baru saja merasa gugup, hanya karena aku tatap?" Terdengar suara Jay yang berat dan sedikit serak itu berada tepat didekat telingaku. Saking dekatnya, aku bahkan merasakan terpaan dari napasnya yang hangat itu, hingga membuat beberapa bulu kudukku meremang. Namun, aku masih saja diam dengan posisi tubuh membelakangi kakak tiriku itu. Tanpa ada niatan untuk membalikkan badan ke arahnya seperti tadi. Diam-diam aku memeriksa seluruh benda yang melekat disekujur tubuh ini. Dari pakaian luar maupun dalam, serta hal lainnya. Sampai karena hal ini juga, aku lagi-lagi dibully oleh Jay yang entah sejak kapan sudah beranjak dari posisi tidurannya tadi. Dan terlihat berjalan ke arah balkon kamar dimana, aku juga sedang menyamping menghadap ke arah sana. "Kau tidak berpikiran jika aku diam-diam melecehkanmu, kan?" ujarnya seraya memalingkan sedikit wajahnya yang sebelumnya mengarah lurus ke area taman bunga milik Roselin, menjadi berpaling ke arahku. Pose yang membuat Jay semakin ta
"Non, bibi mau bicara sebentar boleh?" ujar Bi Siti yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat kursiku. "Iya, Bi. Silakan." Alih-alih menjawabnya, Bi Siti justru bersujud di samping kursiku ini. Lantas memohon-mohon ampun dengan air mata yang sudah luruh begitu saja. Membuatku terheran saat melihat sikapnya yang tiba-tiba ini. Ayah dan Roselin juga, sempat kulihat dari ekor mata kalau keduanya langsung menolehkan kepala untuk melihat apa yang sedang terjadi ."Maaf ya Non, tadi siang Bibi benar-benar lupa. Lain kali Bibi pastikan kalau nggak bakal ceroboh lagi. Apalagi permasalahan celana dalam, Bibi benar-benar minta maaf," jelas Bi Siti yang membuatku malu sekaligus merasa tidak enak pada Jay.Reflek saat mendengar penjelasan Bi Siti barusan, mataku langsung melirik ke arah Jay yang tampak santai menikmati makan malamnya itu. Terlihat dari ekspresi wajahnya yang begitu sumringah dengan seringaian tipis yang muncul sekilas disudut bibirnya itu.Seolah-olah, jika kakak tiriku sud
"Odyl?" panggil Jay yang menatapku intens dengan salah satu alisnya yang terangkat itu. Tampak ekspresi wajah kakak tiriku itu bercampur curiga serta penuh tanda tanya saat melihatku yang malahan melamun tadi. Kupikir sih begitu, eum atau mungkin itu hanya pikiranku saja?"Y-yah?" Lucunya, aku malah menjawab ucapan Jay barusan dengan terbata-bata. Aih, bisa-bisanya begini. "Kau mau bilang apa, huh?" Aku yang tiba-tiba kehilangan topik pembicaraan, refleks mengangkat kedua tangan ini sejajar dengan dada. Kemudian menggerakkannya, dengan isyarat tidak jadi. "Tsk!" balas Jay mendecih yang kukira akan segera melayangkan jitakan keras di dahi ini. Seperti kebiasaan yang sering dia lakukan padaku jika merasa kesal. Tapi diluar dugaan, Jay yang kupikir akan marah karena tindakanku barusan. Justru malah menarik tangan kananku, sebelum dia genggam erat, pada detik berikutnya tepat dipergelangan tangan.Aku yang kaget dengan sikapnya ini, tanpa sadar melotot lebar dan langsung bertanya."
"Adik?" panggilnya tiba-tiba yang membuatku refleks menoleh ke arahnya."Yah?" Kulihat Jay menyeringai kecil ke arahku. Tak hanya itu tatapan matanya yang setajam belati itu, juga menghunus tepat pada netraku. Membuatku terpaku dan hanya bisa diam ditempat, saat kakak tiriku perlahan-lahan mulai mendekat. Untuk mengikis jarak diantara kita berdua.Detik itu juga aku merasakan waktu seolah melambat. Namun, yang membuatku bertanya-tanya, bagaimana bisa degup jantungku berdetak tak karuan begini? Sampai-sampai aku takut, debarannya yang menggebu bisa di dengar oleh Jay yang kini hanya berjarak beberapa centi saja dari wajahku."Aku bosan, bagaimana kalau kita bermain sesuatu. Seperti membuat anak?" katanya yang entah sejak kapan sudah mendekatkan wajahnya itu, tepat di depan wajahku.Aku yang kaget, reflek memundurkan kepalaku kebelakang dengan ekspresi muka yang tak bisa dikontrol lagi. Yakni, antara kaget, bingung serta tak habis pikir dengan ucapannya yang kadang diluar nalar."H-huh
'Jangan!' jeritku dalam hati, saking takutnya. Sampai-sampai, aku refleks mengigit tangan kanan milik Jay yang masih membekap mulutku ini, sekeras-kerasnya. Membuat Jay langsung melepas bekapan tangannya cepat, seraya menyeringai setan padaku. Sekaligus mengubah posisinya menjadi duduk di atas kasur."Aku tidak menduga kalau kau suka menggigit. Selain itu ..." Jay tampak menjeda ucapannya itu, kemudian menjilat bekas gigitan bibirku yang meninggalkan cekungan cukup dalam pada permukaan tangannya, pada detik berikutnya."Air liurmu, manis juga." Aku yang mendengar kata-katanya itu, langsung melemparkan guling didekatku. Tepat ke arah wajahnya yang sialan, masih saja tampan meskipun baru saja bangun tidur.'Mampus, headshot!' batinku berteriak heboh.Yang rupanya meleset, karena Jay memiliki refleks yang bagus. Jadi, membuat lemparan sayang dariku segera ditepiskan dengan mudahnya begitu saja olehnya. "Wah, kenapa kau jadi bertindak anarkis begini, Adik?" Aku menyipitkan mata curiga
"Dyl, gue suka sama lo!" Devan mengaku dengan kerasnya seraya berlutut dihadapan tubuhku. Dia yang kutahu selalu berpenampilan acak-acakan, kali ini terlihat rapi dan rupawan. Rambutnya yang biasanya disugar asal serta ditata seadanya itu, kini cukup mengkilap karena Gatsby. Wajahnya juga, yang biasanya penuh lebab bekas perkelahian. Untuk saat ini lumayan enak dipandang. Dan lagi, sejak kapan Devan suka pakai parfum yang wanginya ngalahin minyak nyong-nyong?Sumpah deh, ini bau banget. Lebih bau dari pada minyak pijat urut, punya Ayah kalau masuk angin dan pegal-pegal. Yang katanya resepnya udah turun-temurun dari nenek moyang."Jadi, lo mau kan, jadi cewek gue?" Demi Upin-Ipin yang nggak gede-gede, kenapa harus kalimat ini, sih? Sebab efeknya ituloh, buat semua orang langsung pecah. Apalagi barisan cewek-cewek famous angkatan Devan. Aku yakin, mereka tak akan tinggal diam saja, melihat ini. Terutama cewek dengan poni pagar yang sedari tadi menatap ke arahku nyalang dan menusuk.
"Ceweknya?!" teriakku spontan dengan kedua mata melotot tak percaya. Kulihat Hera yang melihat ekspresi wajahku begitu, langsung menganggukkan kepalanya santai. Menyetujui. "Ah, kayaknya Kaka salah orang deh, saya itu ..." Belum juga selesai bicara, ucapanku langsung diserobot oleh Nares yang baru saja muncul dari koridor samping dengan satu kresek Snack ringan ditangan kanannya. "Wih, dari siapa lagi, Dyl? Banyak banget perasaan yang ngasih lo bunga hari ini?" ujar Nares yang memilih berhenti disebelahku, kemudian meletakkan tangan kirinya yang bebas diatas bahuku tanpa permisi.Merangkulnya, seraya menarik tubuhku untuk lebih dekat padanya. Supaya tak ada jarak yang tersisa diantara kami. Aku yang sudah biasa dengan perlakuan sahabatku itu hanya bersikap santai tanpa beban. Toh, memang perasaan diantara aku dan Nares pure pertemanan semata. Tidak lebih dan tidak kurang."Tunggu, mawar pink?" ujar Nares yang terlihat begitu tertarik dengan buket bunga milikku."Menarik. Eum, ngom