"Odyl?" Aku tersentak saat suara Jay yang semula lembut itu berubah menjadi sedikit lebih berat, serta mirip dengan ayah. Yang paling mengejutkannya lagi, sejak kapan pria tua itu ada di sana?Jelas-jelas, tadi aku melihat sosok Jay berdiri disebelahku seraya menengguk minuman kaleng. Yang sempat membuatku berpikir jika visualnya cocok menjadi bintang iklan minuman isotonik, seperti Pocari sweet misalnya. Karena terlihat menyegarkan mata serta bersih. Tapi, kenapa dalam sekejap parasnya berubah menjadi pria tua yang punya kerutan dikening serta kulit yang sedikit bergelambir? Masa iya, mataku rabun?Ragu dengan penglihatan mataku, aku pun mengerjapkannya beberapa kali. Kemudian melirik ke arah Jay yang wajahnya entah sejak kapan mirip sekali dengan ayahku, Ervano Adeswara."Kok muka Bang Jay jadi mirip sama ayah, kalian 'kan bukan anak kembar?" kataku bertanya yang langsung mendapat jitakan gratis didahi."Aowss, sakit!" ringisku spontan, dengan mata melotot tajam. "Lagian kamu, k
Glek!Aku menelan ludah berat, tatkala mendengar suara Jay yang berbisik tepat ditelingaku. Dengan rasa takut bercampur was-was, kuberanikan diri untuk menoleh ke arah belakang. Untuk melihat sosok Jay yang rupanya tengah menyeringai setan itu.Jelas saja, itu membuat kakiku tanpa sadar mundur beberapa langkah kebelakang, saat melihatnya yang kali ini menatap ke arahku tajam. Seperti seorang penjahat yang baru saja menangkap basah sang korban, karena berniat melarikan diri darinya.Apalagi saat kakak tiriku itu mulai berjalan lurus, dan berniat menghampiri aku yang masih berdiri dengan kedua mata menyorotinya penuh tanda tanya. Rasanya, ketakutanku semakin bertambah dari waktu ke waktu. Setiap kali, kakinya berhasil meninggalkan satu jejak di atas lantai keramik kamarnya yang dingin.Lalu jantungku? Aku bahkan tak bisa lagi membedakan debaran ini. Sensasinya seperti, adrenalinku terpacu tiap kali sosok Jay mendekat ataupun menatap kedua mataku sembari menyeringai penuh misteri. Dan ju
Kakiku berlari cepat menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Tatkala suara pekikan Roselin makin terdengar nyaring memenuhi seisi rumah.Entah apa yang baru saja terjadi, yang pasti saat aku sampai. Tubuh Roselin terlihat menggigil dalam dekapan Bi Siti. Tak hanya itu, kulihat tangis ibu tiriku begitu pecah, hingga membuat bahunya bergetar hebat dari arah belakang."Ada apa, Bi? Kenapa Mamah menangis histeris begini?" Dengan suara penuh keingintahuan, ku dekati mereka dengan langkah mantap. Hanya saja, keduanya seolah bungkam dan enggan menatap ke arahku. "Bi?" tanyaku lagi, makin penasaran.Aku masih menyoroti Bi Siti dan Roselin bergantian. Sampai, tiba dimana ibu tiriku yang semula membelakangi tubuhku itu. Mulai memalingkan wajahnya yang kacau, dengan kedua mata yang sudah bengkak, menatap ke arahku sendu."Ayah dibegal. Dan sekarang ..." "Bohong!" selaku cepat seraya tersenyum sinis."Jelas-jelas, belum lama Odyl ketemu ayah di atas. Terus bercanda berdua di balkon. Kenapa t
Aku masih termenung sembari menatap Jay dengan banyak sekali pertanyaan. Jujur, pikiranku penuh dan cukup bingung dengan mimpi buruk yang aku alami barusan. Jika itu memang benar mimpi buruk, tapi mengapa aku merasakannya begitu nyata? Entahlah, aku benar-benar kebingungan sampai kurasakan tatapan mata Jay yang tadi sore terlihat dingin. Sedikit berubah kali ini. Kedua pupil matanya yang berwarna hitam pekat, menatap netra cokelat milikku lurus. Dengan perasaan yang sulit sekali dijelaskan. Selain itu, sejak kapan jari-jemari tangannya yang ramping itu menangkup kedua pipiku penuh kehati-hatian. Yang kemudian, mengusap cairan bening yang masih tertinggal dibagian bawah mata ini tiba-tiba?Tunggu, dia sungguh Jay yang aku kenal, kan?Pletak!"Aowss!" ringisku pelan, setelah mendapat jitakan yang tak terduga. Tak lupa, ku tatap kedua bola matanya nyalang seketika. Sialan, aku hampir lupa. Mana mungkin, Jay yang suka seenak jidat bisa berubah lunak dan baik padaku? Cih, dasar kakak ti
"Kalian berdua ini memang senang sekali cari perkara sama adek kelas, yah?!" bentak Bu Gian galak. Kulihat matanya menatap tajam ke arah cewek bernama Cantika dan temannya Vivi. Yang baru saja kutahu setelah ditanyai nama masing-masing tadi. "Yaelah Bu, namanya juga becanda. Kayak nggak tahu aja, sama hobi kita-" "Ngeles terus!" Lagi, Bu Gian membentak. Kali ini sembari menjewer kedua telinganya Cantika sekaligus Vivi yang sedang dihukum berdiri dengan kaki terangkat satu tepat di depan ruang BK. Tentu, aku yang merasa senang melihat keduanya tersiksa tanpa sadar tertawa. Yang malah membuatku langsung mendapat plototan mata gratis dari Bu Gian setelahnya."Siapa yang nyuruh kamu ketawa? Kamu pikir, kamu nggak salah sama sekali, Dyl?" "Enggak, maksud saya itu ..." "Terserah kalian mau kasih saya alibi apa. Yang jelas, besok pagi, orang tua kalian harus datang ke sekolah buat bertemu dengan saya." Bak tersambar petir disiang bolong, aku yang mendengar itu. Buru-buru meminta maaf
Jay? Sejak kapan, dia ada di sini?Aku membatin tanpa sekalipun mengalihkan perhatianku dari balik punggung kakak tiriku. Yang entah sejak kapan, sudah berdiri menjulang tepat didepan wajahku, seolah sedang melindungiku dari Juni.Lain halnya denganku yang masih sedikit terkejut, karena kedatangan Jay yang mirip seperti jelangkung--datang tak diundang serta pulang tak diantar.Kulihat, wajah Juni semakin mengeras dengan pandangan mata tajam sekali, memelototi aku dan Jay bergantian."Lepas!" sentak cowok berkacamata itu kemudian. Yang malah membuat kakak tiriku itu terkekeh kecil ditempat. Tunggu! Kupikir tidak ada hal yang lucu. Tapi mengapa, Jay suka sekali menertawakan orang-orang? Seolah-olah dia menganggap, orang lain itu lebih bodoh dari dirinya, tak terkecuali aku."Lepas lo bilang?" tanya Jay balik, dengan wajahnya yang sangat menyebalkan itu. Sebuah ekspresi wajah, yang kupikir hanya Jay saja yang mampu menunjukkannya dengan sangat tampan tapi benar-benar membuat musuhnya
Entah hanya perasaanku saja, atau memang benar ini adanya. Kurasa, sikap Jay benar-benar berubah akhir-akhir ini. Dia, yang selalu melirik ke arahku sinis, serta berkata seenaknya sendiri, tanpa memikirkan apakah orang lain akan merasa sakit hati, akibat dari ucapannya itu. Tiba-tiba saja, berubah menjadi lebih posesif. Entahlah, mungkin itu hanya halusinasiku saja. Namun, jika ini hanya khayalanku, mengapa Jay mendadak bersikap begitu?Alih-alih merasa senang dengan hubungan kami yang kembali membaik. Aku justru ngeri sendiri. Sebenarnya ini bermula dari kejadian hari itu. Sesaat setelah Jay menarik pergelangan tanganku pergi, untuk mengekori langkahnya yang mirip orang kesetanan, menuju gudang lama yang letaknya ada dipojok paling belakang. Ralat, lebih tepatnya setelah kakak tiriku itu mengatakan dengan polosnya, jika tidak ada yang boleh menyentuh miliknya. Dan tentu saja, aku tahu kata-kata itu merujuk pada siapa. Gila!Jika aku bayangkan sekali lagi, untuk mengusut benang m
Aku menelan ludah kelu saat mendengar suara Jay yang berat itu. Apalagi tatapan matanya, tampak begitu dalam menatap ke arahku. Seolah sedang menyoroti semua bagian tubuhku tanpa terkecuali.Sungguh, kegugupan ini sangat melanda. Meskipun aku tahu, jika Roselin masih ada bersama kami. Tapi entah mengapa, aku justru merasakan hanya ada Jay dan aku di tempat ini. Saat aku mendongakan wajahku ke atas perlahan. Lagi-lagi aku melihat seringaian lebar milik kakak tiriku itu. Yang kini, terlihat lebih dekat daripada sebelumnya. Tunggu! Sejak kapan, Jay mendekatkan wajahnya? Tidak malukah dia, jika di sini masih ada Roselin?"Adik?" Bersamaan dengan panggilannya itu, Jay menjitak ujung dahiku dengan jari telunjuknya yang panjang serta ramping. Tak! "Ish, sakit!" gerutuku tanpa sadar, seraya melayangkan tatapan mata nyalang padanya. Tak lupa, kedua pipiku juga mengembung lucu, jika sedang marah. Yang malah membuat Roselin terkikik geli di samping kami."Kalian berdua terlihat sangat lucu,