Tiga tahun kemudian,“Ampun Baby, ampun! Tolong jangan marah-marah dong!!” seru seorang pemuda berambut pirang yang diikat asal. Penampilannya sangat berantakan. Kemejanya yang dikenakannya sudah kusut masai.Beberapa kali ia menghindari lemparan bantal cushion yang dilempar secara babi buta oleh istrinya.“Baby!! Jangan marah-marah dong! Nanti baby kita mau jadi pemarah,”“Au ah, aku sebel sama Mas Daniel,” Sang istri menghentakan kakinya kesal. Ia berjalan meninggalkan suaminya yang mematung di bibir pintu penghubung ruang tamu.“Ah, Sayang, jangan jalan cepat-cepat! Kau lupa sedang hamil muda,”Daniel terus mengekori istrinya yang masih menyimpan amarah hanya karena masalah sepele.“Aduh, ada apa ribut-ribut??”Kinanti menghampiri mereka yang terlihat seperti seekor kucing dan anjing.“Mami, Mas Daniel …” imbuh Salwa mengadu pada mama mertua dengan rengekan kecil persis seperti anak bungsu Kinan.Kinan merangkul menantunya lalu mengusap lengannya. “Ada apa? Coba ceritakan ke Mami?
Seketika Salwa mengusap perutnya dengan perasaan pilu ketika melihat sosok gadis mungil bernama Shakira. Ia seharusnya lebih bersabar dalam hal apapun. Saat ini Kania tengah terguncang karena putrinya tak sesuai harapannya.Salwa baru sadar mengapa Kania menamai putrinya dengan Shakira yang berarti rasa syukur. Melalui Syakira, semua orang bersyukur. Salwa mengayunkan kakinya mendekati gadis kecil berusia tiga tahun itu lalu berjongkok seraya berkata, “Kira, ini boneka untukmu.”Salwa memeluk Shakira meskipun gadis cantik itu tak meresponnya. Namun justru yang merespon wanita yang tengah hamil muda itu adik bungsunya.“Teteh, makasih bonekanya!” imbuh Shafea memeluk sang kakak, mewakili Shakira. Shafea terlihat lebih dewasa ketimbang umurnya. Bahkan ia mengasuh keponakannya-Shakira yang berusia tak jauh beda dengannya.“Sama-sama, bungsu!!”Salwa pun memeluk adiknya dengan erat dan menghujani wajahnya dengan ciuman rindu.Salwa dan Daniel hanya akan pulang ke Bogor akhir pekan atau sa
“Marmot!! Suracep! Selamat ya! Barokallahu laka wabaroka ala’ika wajama’a bainakuma pi khoir! Samawa!!”Dari jarak satu meter, Salwa Salsabila sudah merentangkan ke duanya tangannya lebar untuk sang pengantin wanita. Ia sudah tak sabar ingin sekali memeluk sahabat seiya sekatanya.Di sisi lain, Neng Mas yang kini menjadi ratu dalam hari itu langsung berbinar manakala melihat sahabatnya yang sudah sangat dinantikannya tiba di sana.“Wawa!! Pendekar silat!!” sahutnya tak kalah heboh.Kini ke dua wanita itu berpelukan dengan erat dan hangat. Mereka menangis sesenggukan karena rasa rindu yang membuncah. Semenjak Salwa menikah dan lebih dulu menyelesaikan kuliahnya, mereka tak lagi bersama. Masing-masing menjalani aktifitas yang berbeda. Mereka berjuang dengan versi masing-masing agar meraih gelar dokter umum.Tingkah ke duanya cukup menarik perhatian semua orang yang berada di sana.Mereka pun ikut terharu melihat kedekatan mereka. Baik dari keluarga Neng Mas maupun Acep di mana mereka m
Pagi itu gadis remaja mengenakan seragam putih-hijau daun itu tengah berlari terbirit-birit menuju sekolah karena jarum pendek di arlojinya sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Itu pertanda gerbang sekolah sudah ditutup oleh security bertubuh tinggi besar dan akan dibuka kembali saat upacara bendera selesai.Sial, hari senin anak remaja berusia tiga belas tahun itu datang kesiangan ke sekolah.“Aduh, kenapa mobilnya pake acara mogok segala sih,” gerutunya dengan bibir yang mencebik. Gadis itu terlambat datang ke sekolah karena mobil yang mengantarnya mogok di tengah jalan. Memberanikan diri gadis itu mendekati security yang berdiri dengan wajah sangar di hadapannya.“Permisi! Assalamualaikum! Pak, saya terlambat sepuluh menit, boleh masuk ya please!! Soalnya mobil yang mengantar saya mogok. Jadi, yang salah supir saya. Dia tidak memeriksa kendaraan sebelum ke sini.”Gadis itu tak kehabisan akal. Ia memasang wajah imut di depan security itu dengan mengerjapkan matanya be
Season 3| Bab 2Sudah menginjak pertengahan semester kelas sembilan, Farah belajar di salah satu sekolah elit kota Bogor. Gadis itu mengikuti jalur akselerasi saat SMP karena memiliki kecerdasan seperti halnya saudara kembarnya Asyraf. Hanya saja mereka berbeda kelas.Farah dan Asyraf sama-sama pandai dalam bidang exact. Beberapa kali mereka menjuarai olimpiade exact baik tingkat nasional maupun internasional. Farah menjuarai Matematika dan Kimia sedangkan Asyraf menjuarai Fisika dan mahir membuat robot.Selain itu, gadis itu mengikuti ekskul olahraga beladiri yaitu karate. Tak tanggung gadis itu pula meraih juara dalam bidang karate mewakili sekolah di tingkat provinsi.Karena kesibukannya gadis itu seringkali tak bisa mengatur waktunya dengan baik. Akhir-akhir ini ia sering datang ke sekolah kesiangan. Bahkan ia seringkali diantar belakangan oleh supir lain. Sebab saudara-saudaranya seringkali berangkat lebih dulu. Mereka tidak ingin menunggu Farah yang ‘lelet.Farah dan Asyraf kini
“Farah ikut jalur akselerasi ya? MasyaAllah hebat Nak!” seru Attar berbasa-basi pada anak gadis yang kini menumpang di dalam kendaraan mewahnya. Gadis itu duduk di belakang bangku ke dua dengan memalingkan wajahnya pada jendela kaca.Attar mengajaknya berbincang sebab gadis berusia tiga belas tahun namun bertubuh bongsor itu terlihat canggung berada di antara mereka. Mungkin di depan Yusuf ia tidak jaim namun di depan ayahnya Yusuf ia merasa canggung.Setelah Farah berpikir keras, akhirnya ia bersedia diantar oleh Attar kebetulan jalan yang mereka lewati akan melewati komplek perumahannya. Selain itu awan yang berarak di langit terlihat mendung sehingga membuatnya tak menolak tawaran mereka.“Hum, iya, Om,” jawab Farah singkat. Gadis itu hanya menjawab seperlunya.“Rah, kok diam sih? Biasanya cerewet,” cetus Yusuf menoleh ke arah Farah yang berada di belakangnya.Farah langsung menajamkan matanya menatap Yusuf. Yusuf hanya tersenyum melihat gadis itu yang sedikit pemarah.“Jadi kalia
“Om Raka, udah beli tiketnya?” tanya Farah pada Raka yang selalu setia mengawalnya. “Sudah dong, Nona muda!” Raka mengibaskan beberapa lembar tiket nonton bioskop dengan tangannya ke arah gadis remaja itu. “Tujuh tiket ya Mbak!”“Hum, Om Raka, tapi lain kali jangan ngikutin aku terus. Aku malu tau, sudah besar terus saja diikuti. Aku juga butuh privacy.”Farah mengomeli Raka tanpa canggung. Ia sebetulnya marah pada ayahnya-yang selalu meminta Raka menemaninya. Ia merasa tak nyaman.Seharusnya Farah marah dan protes kepada ke dua orang tuanya, namun ia tak berani. Mana bisa ia memiliki keberanian untuk membantah perintah ayahnya yang over protektif. Oleh karena itu ia hanya mengomeli Raka-yang sudah dianggap omnya.Raka hanya mendesah pelan mendengar keluh kesah gadis itu. Telinganya sudah cukup tebal mendengar segala muntahan kalimat demi kalimat yang dilontarkannya. Ia tidak peduli. Ia hanya menjalankan amanatnya menjaga putri sang majikan.“Sudah?” tanya Raka dengan tenang.Pria
Semua orang tampak panik saat ada seorang siswi tak sadarkan diri di lapangan. Siswi itu tengah berlatih karate bersama kawannya, namun tiba-tiba ketika ia baru saja memulai pemanasan tubuhnya langsung ambruk ke atas lapangan.“Siapa yang pingsan?” tanya remaja tampan mengurai kerumunan yang menyemut di dekat lapangan. “Si Bule pingsan.”Salah satu siswa mengadu pada remaja itu. Mendengar nama panggilan yang terkesan rasis, remaja itu mendengus kasar. Ia buru-buru berlari menuju kerumunan lalu menyelipkan tubuh jangkungnya di antara mereka.Dadanya bergemuruh hebat tatkala menyaksikan pemandangan yang menyesakkan dada. Sahabatnya ternyata yang pingsan. Dan, di antara kerumunan itu hanya terlihat satu orang berusaha menyadarkannya. Entah berusaha mengangkat tubuhnya. Sisanya, hanya menjadikan insiden siang hari itu sebagai tontonan semata.“Farah!” gumamnya panik. Anak lelaki itu langsung menurunkan tubuhnya dan membantu seorang teman perempuan Farah yang tengah bersusah payah mengang