"Sebenarnya kita mau ke mana sih, Nan?"Aku bertanya setelah melalui belokan ke kanan pada simpang tiga di depan mal besar. Sepanjang jalan dipenuhi jejeran pertokoan bermerek, tempat karaoke, bahkan kafe-kafe besar. Melalui jalan dua arah lurus dengan kecepatan rata-rata menggodaku untuk menekan pedal gas di bawah sepatu dalam-dalam kalau saja Nanda tidak melarang.Katanya, "Aturan berkendara di sini sangat ketat.Alhasil, kakiku seolah menggantung pada pedal nanggung. Jari-jariku hanya bisa mengetuk pinggiran roda kemudi seiring lagu yang mengalun dari saluran radio.Sesekali Nanda mengikuti lirik lagu sampai terpejam ketika bergoyang di bangkunya, seperti, "Than a moment, than a moment, love."Kebanyakan bahasa asing yang enggak kumengerti. Apalagi kata-kata yang mengiringinya."Lurus aja sampai ketemu lapangan, Pak." Nanda masih mengarahkan setiap aku kedapatan bertemu tatap dengannya.Kesan yang kutangkap darinya?Ceria.Bergejolak.Perawat dengan gelar ahli muda di usia dua puluh
"Bapak yakin bisa ngalahin aku?"***Kesepakatan itu akhirnya menjadi bumerang tersendiri. Meski hanya permainan, permintaannya untuk hubungan yang lebih jelas selain teman tidur justru harus kusetujui. Bermandikan keringat karena berlomba mengendarai sepeda sewaan di sepanjang jalan terusan menuju Melawai, gairah masih belum mampu dibendung. Sosok Nanda terlampau menggoda dalam pakaian yang dialiri peluh dan air minum karena kami sempat saling menyiram air mineral yang dibeli.Baru menutup pintu dari dalam kamar hotel yang kusewa, Nanda langsung menyambar pinggangku dari belakang. Jari-jari lentiknya seolah berusaha menjelajah dan menemukan tegangan yang semakin mengeras karena sentuhannya."Sabar, Nan." Kutarik kedua tangan Nanda keluar, berbalik dan menghadapinya dengan menawarkan sekali ciuman singkat. "Aku masih bau.""Keringatmu malah bikin keliatan menggoda, Pak." Desahannya seolah menggaung dalam kepala. Berulang-ulang. Sejak kapan Nanda yang polos berubah menjadi singa betina
Aku belum bisa berhenti tersenyum karena tingkah kekanakan Nanda dalam berbicara atau berlaku di luar profesi nakes.Dia membisikkan sesuatu."Charmander? Yang benar aja!" Bukan enggak tahu, hanya enggak habis mikir alasannya menggunakan karakter animasi asal Jepang itu. Aku kira hanya angkatan 90-an yang masih doyan sama kartun lawas itu."Jin maunya kalau pacaran pakai panggilan itu."Siapa lagi itu? "Jin? Jin ifrit?""Jin BTS, Pak. Abra." Cubitannya kembali disarangkan pada pinggangku.Kalau dipikir lagi selera musik Nanda sepanjang berada di mobilku setiap disambungkan dengan ponselnya, jangan bilang ...."Idol Korea. Boyband." Bibirnya merengut maju saat aku memutar, menghadapinya sambil menekuk lutut biar sejajar dan memegangi kedua bahunya. "Kamu enggak tau?"Aku menggeleng, merasa enggak pernah kenal nama yang disebutkannya. Aku cuma tahu kalau cowok asal negara ginseng itu punya karakter wajah yang mirip. Susah dihafal."Kalau Charmander?""Tapi itu karakter anime, Nan!""Pak
Aku baru keluar dari kamar mandi ketika melihat Aya membongkar isi koper. Perasaan enggak nyembunyiin apa-apa di sana, tapi kok jantungku berdebar-debar?Kulepaskan belitan handuk di pinggang setelah mengambil kaus dan celana kargo selutut dari lemari. Kalau memperhatikan pergerakan Aya dari pantulan cermin, sepertinya ada yang berubah dari bentuk tubuhnya. Semakin kentara dibanding terakhir kali kusentuh. Mungkin ukuran dalamannya naik beberapa nomor. Kenapa malah mikir ke itu?“Bra? Ini punya siapa?” Atensiku terdistraksi dengan pertanyaannya saat berkacak pinggang dan memperlihatkan botol kaca langsing berlogo salah satu merek impor yang enggak mungkin dibeli murah.Kuhampiri Aya dan merangkul pinggangnya sambil memperhatikan botol yang dipegang. Sepertinya bukan barang palsu. Aku pernah lihat salah satu parfum serupa milik Caca, tapi enggak mungkin itu dari dalam koperku.Bisa jadi ..., “Punyaku.” Aku tertegun mengingat kemungkinan yang bisa terjadi.“Sejak kapan pakai parfum gini?
Baru kembali dari ruang rawat inap tempat salah satu pasienku dipindahkan, langkahku di koridor terpaksa dihentikan kemudian berpindah ke belakang tiang beton yang cukup melindungi diri. Aku mengintip dua sosok wanita yang belakangan mewarnai hidupku sedang bertemu di persimpangan. Aya istriku, dan Nanda yang menjadi pacarku.Wait, pacar?Sebelum bersama Nanda, siapa yang kuakui sebagai pacar? Aya saja kusebut sebagai calon istri.Aku belum pernah berminat berpacaran selain menjadikan seseorang teman kencan. Kebanyakan dari kaum venus memilih memutus hubungan dariku jika keinginan mahal mereka tidak dipenuhi. Yah, seperti kencan di tempat mewah terus menerus atau harus makanan mahal.Nanda enggak seperti itu. Pertemuan kami hanya sebatas urusan gairah yang harus dipuaskan.Kudengar suara Nanda bertanya, “Istrinya Pak Abra?”“Iya.”“Pak Abra-nya masih ada pasien. Perlu diantar ke ruangan?”“Ah, iya. Terima kasih. Saya duluan saja.”Bisa kudengar langkah sepatu kets Aya yang familier mel
"Abra!" Caca langsung menanggapi pelukan yang kuberikan. Sepertinya dia mengusap wajah di bagian dada jasku sampai enggak sadar riasannya berantakan. Kentara dominasi kelabu menodai sepanjang bagian kiri.Hufh ..., kayaknya harus buang jas lagi. Napasku sampai perlu diembuskan melalui mulut sebelum mengambil inisiatif mengusap belakang kepalanya sampai isakan yang terdengar benar-benar reda."Randy, Bra." Caca menyebutkan nama penghuni brankar yang baru ditarik ke dalam ruang tindakan."Iya. Aku tahu." Ya, keadaannya enggak termasuk dalam daftar mengenaskan kalau dilihat secara kasat mata. Kudorong bahu Caca menjauhi jasku. "Kayaknya kamu perlu cuci muka deh, Ca.""Luntur, ya?" Gadis dari pemilik salah satu perusahaan konstruksi raksasa yang sebenarnya bersaing dengan Ayah itu lebih memilih mengambil cermin dari tas tangan yang dibawanya daripada mengasihani jasku. "Ya Tuhan! Kacaunya! Punya sabun cuci muka, Bra? Atau pembersih riasan?"Selalu. Para wanita sepertinya memang punya hal-h
Sepatuku mengetuk lantai sepanjang koridor menuju ruang dokter. Sedikit dipercepat, aku jadi enggak sabar bertemu seseorang yang menunggu di sana. Namun, ternyata ada seseorang yang mengikuti, bahkan sepertinya berusaha menyejajari langkah di sisi."Pulang, Pak?" Suaranya masih terdengar manis meski menggunakan sapaan formal. Dia masih mengikuti perjanjian kami untuk tetap menggunakan percakapan seperti biasa selama berada di rumah sakit."Iya.""Pak Abra kapan punya waktu lagi?""Maaf, Nan." Aku enggak berniat menyediakan kesempatan berpaling lagi. Jujur, aku juga ngerasa jahat karena menjadikan Nanda pelarian selama Aya sulit didekati.Padahal sebelum bertemu dengan Aya, aku enggak perlu merasa bersalah pada siapa pun jika ingin mendua, tiga, atau bahkan mengumpulkan para kekasih dalam satu ranjang sekaligus.Siapa yang menolak?Tergantung. Apa yang mereka mau dariku? Enggak mau, yah tinggal pergi."Maaf?" Langkah Nanda berhenti di belakangku. Lebih tepatnya menghentakkan dasar sepat
Kudorong pintu masuk salah satu ruang paviliun di bagian gedung VIP dan langsung disambut keadaan yang sangat jauh berbeda dengan ruangan biasa di bagian umum. Ruangan didominasi warna jingga pada dindingnya menampilkan susunan sofa dan meja makan. Ah, belum masuk kamar pasien. Hanya ada Caca yang masih berbaring menghadap sandaran sofa sambil menggeser layar ponsel."Gimana keadaan Randy?" Aku menarik kursi dari meja makan dan membuka salah satu stoples camilan dari sana."Sudah baikan." Bisa terdengar helaan berat saat Caca bangkit menyandarkan punggungnya pada sofa putih itu."Dia bakal dipindahin ke rehabilitasi?""Mau gimana lagi? Salahnya sendiri make dosis tinggi."Kuraih segenggam kacang goreng dari dalam stoples, memasukkan satu per satu dalam mulut untuk dikunyah sambil mendekati sosok gadis yang masih saja fokus dengan layar ponselnya. "Aku enggak lihat ada bekas suntikan kemarin?""Bisa aja dia pakai bong atau obat oral."Ah, benda yang digunakan untuk mengubah serbuk menja