"Abra?" Aya menatap penuh harap padaku untuk mendekat.Kuacak kedua sisi rambut sebelum menghampirinya, mengambil tangan renta Bapak yang lain dari samping ranjang yang dikosongkan para petugas medis untukku.Aku bahkan sudah enggak ingat ke mana sandal sebelah kanan ketika mulai menjejak lantai keramik di ruangan. Alhasil, aku benar-benar biarkan kaki tanpa alas. Nanggung.Sambil melihat Aya, aku menanggapi panggilan Pak Raden dengan bertanya, "Ya, Bapak?"Tampaknya selang bantu pernapasan Bapak baru dilepas. Beliau terlihat sulit berbicara bahkan aku sampai perlu mendekatkan telinga ke dekat bibirnya.Suara serak terputus itu seolah bilang, "Bapak mau melihat kalian menikah sebelum Bapak pergi."Syukurnya Mas Anan tidak melakukan trakeostomi, prosedur melubangi leher untuk memasukkan selang melalui trakea agar bisa tetap bernapas. Kalau iya, mungkin suara Bapak benar-benar hilang.Apa tadi kata Bapak? Menikah? Pergi?Kami bahkan sempat menyatakan ingin pisah, tapi para orang tua sepe
Jemari Aya masih dalam peganganku setelah cincin yang Mama bawakan tersemat. Cincin emas putih sebagai pengganti cincin sebelumnya. Tidak ada ciuman atau sapa setelah pemberkatan, melainkan kepanikan petugas medis ketika harus memeriksa helaan napas yang tersisa dari senyuman Bapak.Ini akibat ide gila dari Mas Anan yang memindahkan brankar Bapak ke koridor transit hanya untuk menyaksikan pernikahan kilat aku dan Aya. Kemudian Mama datang membawakan perlengkapan komuni dan kain selendang untuk menutup puncak kepala Aya saat pengucapan janji penyerahan diri di depan pastor yang tiba. Aku sendiri hanya bermodalkan kemeja lengan panjang dan celana drill hasil minjam Mas Agus yang kebetulan bertemu di koridor.Soal Mas Anan, orang yang dulunya kupikir selalu mengencani mantanku, ternyata mau memberi jalan untuk hubungan yang baik. Dia bahkan langsung memeriksa keadaan Bapak yang menutup mata perlahan setelah sakramen pernikahan, lalu menyatakan waktu, tanggal dan jam, wafatnya Pak Raden.B
Kubelokkan setang motor Aya memasuki area parkir tanpa pagar di depan rumah dominasi putih. Rumah dua lantai yang kutempati bersama Mama sejak bisa menghasilkan uang sendiri. Sejak usia dua puluh dua rasanya, ketika aku mulai ikut magang di beberapa rumah sakit karena rekomendasi salah satu dosen.Aku memarkir motor sport hitam milik Aya dekat dinding dan sempat berpikir lagi mengenai pemberian yang Elzar bahas sebelumnya. Siapa yang berbohong? Aya atau Elzar?"Masuk duluan," pintaku saat membuka helm dan menoleh ke Aya yang sepertinya masih betah terdiam memegangi jasku. Ralat, jasnya Mas Agus yang masih kupinjam.Bisa kulihat Mama membuka pintu rumah dan menunggu menantunya di ambang pintu. Ini ternyata jauh lebih mudah daripada menerima perjodohan dari Ayah. Melihat Mama mendapatkan pilihannya, itu terasa jauh lebih berharga.Ya, aku mengangguk sesaat sebelum turun. Kedua mataku berkedip saat mendongak, menahan panas yang memenuhi kelopak. Sepintas, melihat langit semakin gelap bers
"Perlu kusiapkan sesuatu?" Aya mengusapkan kain handuk di kepalaku setelah aku keluar dari kamar mandi dan duduk di kasur menghadapinya.Kemejaku ternyata masih lebar di tubuh Aya yang memiliki tinggi hampir menyamaiku dan mampu menutupi dirinya yang belum mengenakan apa pun di balik itu dengan baik.Tampak kamar tidak lagi seberantakan beberapa menit sebelumnya. Seenggaknya pakaian tidak lagi bertebaran meski seprai sudah tidak karuan bentuknya."Enggak perlu."Kutelisik perubahan raut wajahnya dari diam hingga memaksakan senyum yang berkesan datar ketika merasa diperhatikan. Sembab di kelopak mata Aya sangat terlihat.Punggung tanganku dipeganginya hingga menyentuh rahang. Dia terpejam, lalu menghidu setiap jari yang menjauh.Aroma percintaan masih begitu kuat menguar di permukaan kasur yang basah karena pakaianku setelah hujan."Ada yang salah, Bra?"Ada. Kamu. Kenapa aku harus merasa sakit karenamu?Urung kuucap. Sebelum Aya menarikku mendekatinya, membuka bibir untuk sambutan yang
Aku masih belum tenang menunggu Aya di depan kamar mandi. Dia berkeras untuk menggunakannya pagi ini juga setelah bangun tidur.Semalam?Enggak ada pengulangan kejadian kemarin. Pemaksaan sebelumnya saja membuatku ingat tudingan para aktivis yang menyebutkan pemerkosaan pada istri sendiri sebagai bentuk kekerasan seksual.Aku memilih berjaga dekat peti mati yang diletakkan di ruang depan. Bapaknya Aya yang terlihat tenang dari penutup peti yang sengaja dibuka sebagian menemaniku di sepanjang malam meski tak membalas setiap kisah yang kubicarakan. Tentang Aya di masa SMA yang cenderung taat aturan dan fokus belajar hingga tak peduli dengan pergaulan di sekitarnya.Aku jadi mencerna setiap interaksi canggung masa remaja bersama Aya dulu ketika harus menghadapi Bapak yang membisu dalam peti semalam.Serem?Enggak. Sudah sering ketemu jenazah waktu awal koas dan dapet tugas memeriksa beberapa korban pembunuhan yang telah membusuk."Bagaimana hasilnya?"Pertanyaanku keluar begitu saja setel
"Ayo pulang, Ya!" Ajakanku ternyata diabaikan. Aya masih betah menebar bunga di sepanjang gundukan tanah di hadapannya, mengacak, lalu menebar ulang.Kupikir, menggodanya sebelum turun menemui peti mati Bapak bisa mengurangi kesedihannya. Namun, jiwa histerisnya kembali mencuat di tengah para tamu yang bisa dihitung dengan jari. Aku sampai perlu memeganginya di sepanjang upacara pemakaman.Kebanyakan yang datang hanya mengucap belasungkawa, lalu pergi.Kematian ....Orang sebaik Bapak enggak terlalu dikenal. Atau mungkin karena kebaikannya hanya untuk orang terdekat? Yang kuingat hanya para penggosip di tukang sayur dekat rumah Aya dan pemuda tetangga Aya yang menegur saat aku ke sana dulu."Manusia hanya mengingat kebaikan ketika seseorang berada dalam puncak kejayaan, Bra. Enggak banyak yang bakal ingat kebaikannya setelah terpuruk," kata Aya, menjawab pertanyaan dalam pikiranku setelah semua pelayat pergi dari kompleks pemakaman.Ada benarnya. Mati ketika sedang jaya pun bukan hanya
Dentum musik elektro dari mesin di panggung terus menghentak, tapi aku belum tergoda bergerak mengikuti, hanya melintasi keramaian para manusia nokturnal yang terus meliuk. Keberadaanku di tempat bising dan penuh ini hanya untuk memenuhi janji jumpa pada seseorang.Kulihat gadis yang aku tuju melambaikan tangan dari meja dilingkari sofa kulit tebal yang warnanya sudah enggak jelas di bawah paduan banyak lampu. Terusan sepaha yang dikenakannya tampak jatuh membentuk lekuk tubuh, tali bahunya menegaskan garis dari tulang selangka dan bahu yang sempurna. Siapa yang tidak akan tergoda dengan pergerakan Caca?"Hai, Ca!" balasku terhadap sapaannya tanpa menyentuh sama sekali. Aku menolak salaman apalagi pelukan seperti biasa, cenderung menghindarinya setelah insiden terakhir di pulau seberang. Jujur, aku ngerasa salah karena sempat melewati batas dan kepergok Aya."Istrimu enggak dibawa, Bra?"Tunggu. Aku cukup terkejut saat baru mencapai keempukan sofa. "Kamu sudah tau kalau aku sama Ay—""
"Kenapa enggak dibawa ke puskesmas dulu, Bu?" tanyaku saat menemukan pasien balita masuk ruang IGD di akhir minggu karena masalah batuk, pilek, dan demam lebih dari tiga hari.Kebanyakan masalah kayak gini alasannya enggak jauh-jauh dari orang tua pekerja atau antrian di fasilitas umum yang membawahi jaminan kesehatan dari pemerintah terlalu penuh. Cara tercepat mendapatkan pelayanan kesehatan emang bisanya datang ke IGD di luar jam pelayanan fasilitas kesehatan pertama.Sayangnya, karena alasan itu, bisa jadi pasien yang benar-benar mengalami masalah gawat dan darurat mengalami ketertundaan. Atau bisa jadi pasien mengeluhkan penanganan IGD yang lamban karena harus mengurus urgensi lebih dulu.Serba salah, ya.Si ibu enggak jawab pertanyaanku. Dia terus menggoyang anak perempuan yang terus menangis dalam gendongannya. Aku tahu si balita bergender perempuan dari simbol keagamaan yang menutupi kepalanya. Udah lumrah lihat seperti itu dikenakan rekan sejawat di rumah sakit."Sudah berapa