Aku membersihkan kamarku sebelum Pak Ardi merebahkan diri di kasur sempit dan kempes itu. Ia menaruh tangan kiri di keningnya untuk menutup sebagian wajahnya."Apa kesukaan ibumu, Ann?" tanyanya sambil menguap.Aku mengeluarkan vitamin dan obat dari pouch. "Tidak ada. Ibu sama denganku, memandang segalanya dengan biasa-biasa saja. Kecuali..., laki-laki." "Laki-laki?" Pak Ardi bergumam dengan mimik sebal. "Ayahmu, maaf." Aku tersenyum. "Gak masalah, dia sudah pergi mas." aku mendudukkan diri di tikar. "Lagian aku dan ibu sebenarnya sudah terlatih menghadapi laki-laki brengsek sepertimu. Jadi mungkin ibu shock aja, kenapa aku justru memilih jalan ini untuk masa depanku---atau mungkin ibu tak pernah sembuh dari lukanya, ibu mungkin takut aku mengalami hal yang sama." Aku mengendikkan bahu. Aku melempar tiga butir obat dan vitamin ke dalam mulutku seraya menenggak segelas air putih. "Luka batin?" Pak Ardi merangkul leherku karena kasur ini memang ada dipannya, setinggi aku duduk sekara
Mendatangi rumah ketua desa ternyata tak segampang yang aku pikirkan. Sepanjang kami menyusuri jalan kampung, banyak orang menaruh atensinya kepada kami. Gosip nampaknya sudah menyebar, terdengar mereka kembali bisik-bisik lagi.Aku tersenyum rikuh tapi suamiku dengan santai berjalan sambil tersenyum, tadi pun ia sempat menendang keritil dan bersiul-siul menirukan suara burung gereja. "Kata ibu-ibu tadi rumahnya cat merah dekat masjid yang ada pohon rambutannya mas." ucapku sambil memandang sekeliling, merantau membuatku tidak tahu apapun yang terjadi di kampung ini. Sebagian nama orang-orangnya pun sudah luput dari ingatanku. "Mas ingat siapa namanya tadi?" "Pak Rohmadi, Anna." Pak Ardi mengangguk serius.Aku langsung tersenyum. "Jika ingatan ku tidak salah, Pak Rohmadi itu guru SD mas, aku yakin sekarang dia sudah sepuh.""Semoga saja dia tidak mengajar, Anna. Kalau iya, pastinya kita akan mengulur waktu lagi." Aku setuju, tapi rumah itu sudah ada di depan mata. Kurang lima puluh
Pak Ardi langsung menaikkan kedua tangannya. Wajahnya pura-pura terkesiap ketika ibu menghadangnya. Aku ikut terkesiap juga penasaran sidang apa yang ibu katakan."Baik, ibu. Sidang saya sesuka hati ibu. Saya akan pasrah." ucapnya dengan nada bercanda.Tak pernah aku lihat wajah jenaka Pak Ardi itu. Mungkin jika bukan ibu, pasti pria ini akan tertawa atau malah membentaknya.Aku bertanya, "Ibu mau menyidang dengan cara apa? "Anna, ibu melakukannya untuk kamu. Bukan untuk ibu." kata ibu diselimuti oleh rasa marah dan kecewa.Aku mengangguk. "Iya, tapi apa? Anna pasti mendukung ibu kalau itu kebaikan bersama. Aku, ibu, pak Ardi."Ibu menyuruh pak Ardi mematung sementara ibu masuk ke dalam kamarnya. Aku mengendikkan bahu saat pak Ardi bertanya dengan sorot matanya."Saya penasaran Anna. Gak sabaran ingin lekas tau." ungkapnya tanpa ada beban sedikitpun, bahkan masih sempat tersenyum."Paling-paling surat perjanjian." jawabku. Tak lama, barang cuma semenit saja, jawabanku langsung terj
Setengah jam berlalu, namun Pak Ardi tak kunjung datang. Aku berdiri gelisah di teras rumah. Si plontos menyeletuk dari kursi bambu. "Cari bos?" Aku mengangguk sambil maju ke jalan dan celingukan. Pak Ardi terlihat dari kejauhan, melambaikan tangannya. Aku semringah. Sorot mataku pasti setingkat lebih hidup melihatnya dengan cepat menuruni jalan mengikuti tarikan gravitasi. "Anna wohaaa ... Saya berhasil." serunya, sama sepertiku sorot matanya lebih hidup dan bersemangat. Dia menyerahkan bukunya padaku. "Kamu menyukai usaha saya hari ini?" "Janji sucimu sudah terbagi, tapi kamu suka. Dasar..." aku menggulung buku seraya memukul dadanya dengan itu. "Aku gak tau harus bilang apa selain cuma bilang terima kasih, mas." ucapku di pelukannya."Jadi kapan kita akan memutuskan untuk ke luar negeri, Ann?"Aku mendongkak dengan skeptis. "Nanti dulu mas, masa iya kita langsung meninggalkan ibu." "Ibu kita ajak, semudah itu!" tanggapnya santai. "Dua hari kita disini lagi mas, kita masih ha
Aku menatap ibu sambil tersenyum hangat. Satu yang aku tahu, aku merindukan dekapannya. Namun ia tahu, jika aku memasang wajah merajuk. Aku rindu.Ibu memutus jarak. Dengan wajah menanti, tangan menengadah, ku kira dia ingin memelukku. Tapi ternyata, dia mengunci pintu kamar seraya menyembunyikan kuncinya ke dalam kantong celana. Aku mendesis."Sampai segitunya, Bu." ucapku seraya naik ke kasur busa dan merebahkan diri. Kembalinya aku di kamar ini, dua pasang mata pernah menatapku nanar, marah, sedih dan acuh. Tapi entah mengapa, di saat aku mengumpulkan sisa-sisa kenangan buruk itu, tak ada rasa yang begitu menyiksa hatiku."Biar Ardi bisa berpikir jernih, biar dia bisa ngerasain bagaimana tidur di rumah biasa!" jawab ibu sarkas ke, duduk di tepi ranjang. "Kamu sudah bertemu mertuamu, Na?" tanya ibu menoleh kepadaku.Aku mengangguk, ekspresi ibu sempat terpana lalu menyipitkan mata."Bagaimana mereka memperlakukanmu? Apa seperti Susanti dulu?" "Enggak, ibu tenang aja. Keluarga mas A
Keesokan harinya di rumah sederhana yang berudara dingin dan kabut masih tersebar dimana-mana. Aku terbangun tanpa ada ibu di sebelahku. Wanita perkasa itu pasti sudah ke kebun untuk memanen sayuran.Aku mengusap wajah seraya beranjak, suamiku pasti ngambek karena semalam dia tidur sendiri. Hmm, harusnya tidak, bukannya dia biasa tidur tanpa aku? Dia sudah biasa merasakan kesendirian saat keluar kota."Mas..." panggilku sambil membuka pintu kamar, kosong dengan jendela yang sudah terbuka menambah dingin suasana."Mas..." panggilku terus sambil mencarinya di seluruh rumah ini. Tak ada siapapun yang menjawab. Kemana mereka, kenapa tak ada satupun yang tinggal untuk bersamaku.Aku berjalan cepat keluar rumah. Mobil Pak Ardi juga tak ada, dengan wajah bingung dan tanpa alas kaki aku menemui tetangga yang hendak berangkat ke kebun."Mak - Mak." aku mencegahnya. "Mak tau mobil disini pergi jam berapa?" kataku sambil menunjuk tanah bekas jejak ban mobil."Subuh tadi sudah pergi, An. Kenapa p
Setibanya kami di rumah persembunyian kami, Pak Ardi mencium keningku sebelum mencium punggung tangan musuh bebuyutannya yang baru---ibu. "Saya harus kembali ke rumah utama. Kalian istirahat dulu, besok malam baru ke rumah orang tua saya." katanya memberitahu.Kami semua mengangguk karena tak ingin berdebat lagi setelah perjalanan tadi diisi dengan obrolan tidak santai antara pak Ardi dan ibu. Kami semua lelah dan cepat-cepat ingin rebahan."Terima kasih mas untuk hari-hari kemarin. Aku bahagia, mas juga?""Slalu Anna." Pak Ardi tersenyum, "jangan lupa check up, saya tunggu kabarnya dan tolong pastikan aman untuk melakukan penerbangan." Aku mengiyakan dan ganti mencium punggung tangan. "Hati-hati mas."Pak Ardi mengiyakan, dia masuk ke mobil dan berlalu. Aku yang sudah tak kaget lagi dengan pengawal lagi yang sudah ada di rumah ini langsung mengangkat barang bawaanku ke dalam.Tapi ibu mengernyit, mungkin bingung dengan rumah ini. "Rumah Anna ada dua, Bu. Disini dan di apartemen.
Aku mengusap tanganku dengan gugup setibanya di halaman rumah mertuaku. Aku heran. Ada dua cinta yang menerangi jalan kehidupan Pak Ardi, tapi kenapa masih saja jalan yang bergelombang yang ia pilih untuk setiap keputusan yang mendebarkan ini. Apa cinta kami kurang menerangi cara berpikirnya dan malah membuat keruh otaknya? Astaga. Aku mengembuskan napas sembari memandangi teras rumah dengan jantung yang semakin deg-degan. "Kenapa diam saja, Ann? Ayo turun!" ajak ibu. Aku mengangguk ragu. "Ibu yakin sanggup mengatur semuanya? Gak emosi dan bisa menerima Kenzo dan Naufal?" "Ibu jauh lebih dewasa dari kamu, Ann! Sudah ayo kita bertamu dengan sopan dan terlihat tenang." kata ibu menekan kalimat paling akhir. "Jangan sampai keluarga suamimu tau kegugupanmu, mengerti." Ibu melotot. Aku mengatur napas sembari menanggalkan gelagat yang tidak beres dari diriku sebelum turun dari mobil. Sementara ibu berjalan dengan santai menentang barang bawaannya. Ekspresinya melihat ke semua arah tanpa