Share

Gadis Milik Tuan Mafia [Bab 2]

"Papa … menjual aku?" Akiko menatap tidak percaya pada papanya yang kini duduk berhadapan. Pria paruh baya itu mengangguk, kedua tangannya melipat di dada, pertanda sedang serius. 

"Kau hanya akan menjadi jaminan, Akiko. Aku tidak benar-benar menjualmu begitu saja. Setelah aku mendapatkan saham kembali, maka aku akan menjemputmu," papar Mr. Eloise. 

"Aku bukan barang, Papa. Kau tidak bisa membuang, lalu mengambilku begitu saja," Akiko menatap dalam, berharap papanya bisa berubah pikiran. 

"Bukankah Papa sudah berjanji tidak akan menyiksaku lagi?" janji itu sangat Akiko ingat. Katanya, dia akan dibiarkan hidup bebas setelah masuk kuliah. Tapi, nyatanya janji itu langsung runtuh begitu saja. 

Beberapa menit lalu, Akiko baru saja sampai di rumah mewahnya yang dulu. Rumah ini menyimpan banyak sekali kenangan menyakitkan baginya, sampai dia enggan untuk datang karena bisa teringat masa lalu. Rasanya, hal buruk selalu terjadi di rumah ini. Dan benar saja, kini dia harus menuruti keegoisan papanya kembali. 

"Ini satu-satunya cara, pria itu menginginkan Kakakmu. Tapi, aku akan memberikanmu saja agar Kakakmu tetap aman," ucap Mr. Eloise. 

Akiko mengerutkan alis bingung. "Pria?" tanyanya. 

"Dia punya perusahaan yang menjalin kerja sama dengan perusahaan Papa. Dan…," Mr. Eloise menghela nafas panjang sambil memijat kepalanya sembari menatap Akiko lama. 

"Dan Papa punya hutang besar padanya," Akiko terdiam mendengar jawaban itu. Sudah menduga alasan yang sangat classic bagi dirinya. Dia merasa tidak berharga karena bisa diberikan pada orang asing semudah itu. 

"Selama ini Papa bekerja terus, bahkan tidak bisa meluangkan waktu untuk keluarga. Lalu, Papa kemanakan uang-uang itu?" pertanyaan Akiko membuat sang papa langsung menatap tajam. 

"Kemana? Aku memberikan uang bulanan dengan nominal besar untukmu, tapi kau masih bertanya, aku kemanakan uang itu?" bukan begitu maksud pertanyaan Akiko. Dia hanya ingin tahu, bukankah Papanya itu menabung? Kenapa bekerja keras selama ini tidak ada tabungan sama sekali? Apakah masa menyakitkan yang Akiko lewati sendirian waktu kecil, hanya berbuah seperti ini? Ujung-ujungnya, dia lah yang akan mendapat getah dari semua masalah. 

"Harusnya aku yang bertanya, kau kemanakan uang yang aku kirim setiap bulan? Kau menghabiskan uang sebanyak itu dengan bebasnya, hah!" 

Akiko menunduk. "Aku berobat," lirihnya pelan. 

"Berobat untuk apa? Sejak kecil, kau memang sudah penyakitan. Tidak perlu banyak gaya dengan berobat segala. Kau pasti akan mati, sama seperti mama–mu itu! Dasar tidak tau diri," desis Mr. Eloise. 

"Kejam … kenapa orang bisa berkata sekejam itu, ya? Papa bahkan tidak tau aku ini sakit apa. Papa tidak tau apa yang aku lewati selama ini. Apakah dia lupa, kalau aku ini juga manusia?" gumam Akiko dalam hati. 

"Aku akan berhenti berobat, Papa pakai saja uangku," Akiko membuka tas kecilnya, lalu meletakkan kartunya di atas meja. 

"Akiko Eloise, kau pikir uang ini cukup?" Mr. Eloise melempar kartu itu ke arah Akiko. Padahal, Akiko yakin isinya masih ada banyak. 

"Hutang antar perusahaan itu bukan main-main banyaknya. Masih beruntung dia hanya menginginkanmu, bukan ingin menghancurkan perusahaan Papa." Tentu, perusahaan jauh lebih penting dari nyawa anaknya sendiri. 

"Aku tau, selama ini Papa memang tidak menginginkan aku. Jadi, Papa menerima tawaran pria itu dengan mudahnya agar aku bisa pergi. Iya, 'kan?" tanya Akiko dengan tatapan kosong. Papanya tak kunjung menjawab selama beberapa saat, ia memilih untuk menghisap rokoknya dengan santai. 

"Jika kau memang sayang pada Kakakmu, maka pergilah. Masa depan Kakakmu juga akan buruk kalau pria itu sampai bertindak lebih jauh. Cepat, temui pria itu di belakang," titah Mr. Eloise. 

Akhirnya, Akiko hanya bisa mengangguk pasrah. Sejak dulu, dia selalu tidak bisa menentukan kemauan sendiri. Selalu dikekang dan dipaksa melakukan kemauan papanya. Semua orang menuntutnya untuk sempurna, tanpa perduli batasan hidup Akiko. Padahal aslinya dia sangat lemah, tapi selalu berhasil menyembunyikan lukanya dari orang lain. 

Namun, masalah kali ini menyangkut soal Kakaknya. Dia tidak ingin Kakaknya juga menjadi korban keegoisan sang Papa. Alhasil, Akiko berjalan menuju ruangan, di mana pria yang papanya maksud sedang menunggu. Ia mengetuk pintu, menunggu beberapa saat tapi tidak ada sahutan dari dalam. Jadi, Akiko memutuskan untuk langsung membuka pintu saja. Berpikir, mungkin pria itu tidak mendengar suara ketukan pintu. 

"Excuse me," gadis itu mengedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan yang digunakan sebagai perpustakaan pribadi rumah. Ia berjalan pelan, mencari keberadaan pria itu 

"Ngghh…," suara wanita terdengar. Alangkah terkejutnya, saat dia melihat seorang pria sedang melakukan hubungan intim dengan salah satu staff perusahaan papanya. Dengan wajah tak bersalah, mereka justru menatap Akiko sambil terus menikmati suasana. 

"Wanna join us?" tawar pria itu tanpa wajah bersalah sedikitpun. Dia justru tersenyum menyeringai, menatap Akiko yang masih membeku di tempat. 

Akiko yang sadar, segera memalingkan wajah. Tidak mau matanya ternoda tubuh-tubuh telanjang di depan sana. Namun, pria itu tidak merasa terganggu dengan keberadaan Akiko. Dia lanjut mencumbu tubuh wanitanya. Lalu tanpa bicara lagi, dia segera pergi keluar ruangan karena tidak tahan dengan suasana canggung itu. 

Setelah menutup pintu, Akiko menghela nafas gusar. Bingung saja kenapa ada orang se frontal itu di dunia ini. Entah mereka letakkan di mana rasa malu mereka. Dengan percaya diri berhubungan intim, di tempat yang bukan milik mereka. 

"Pria itukah yang papa maksud?" tanya Akiko pada dirinya sendiri. Gawat, jika benar benar pria itu yang papanya maksud. 

Akhirnya, dia memutuskan untuk pulang. Jika papanya memang benar ingin menyerahkannya pada pria itu, pasti dia akan dihubungi lagi cepat atau lambat. Yang penting, sekarang Akiko ingin melupakan sejenak masalahnya. Sebelum pulang, dia pergi ke toko ice cream yang selalu dikunjungi akhir-akhir ini. 

"Vanilla, please," pesan Akiko sambil mengeluarkan kartu miliknya. 

"Seperti biasa," ucap penjaga toko menerima kartu Akiko. 

"Bagaimana hari ini?" tanyanya basa-basi karena merasa sudah lama kenal dengan Akiko. Apalagi mereka sama-sama perempuan dan seumuran, tidak heran kalau dia ingin akrab dengan Akiko. 

"Tidak begitu baik," jawab Akiko sambil tersenyum tipis, lalu menyelipkan helaian rambut pendeknya di daun telinga. 

"Kau baik-baik saja?" tanya penjaga toko sambil memberikan ice cream. 

"Kenapa?" tanya Akiko balik. 

"Kau terlihat pucat, apa kau kedinginan?" Akiko menggelengkan kepala, menyahuti pertanyaan itu. 

"Mungkin, lebih baik kau minum coklat panas saja," ujarnya. 

"Tidak, terimakasih atas perhatianmu. Aku akan pulang," pamit Akiko. 

"Baguslah, tidak baik gadis muda sepertimu berkeliaran sendiri malam-malam. Sampai jumpa lain waktu," ucapnya ramah, membuat Akiko tersenyum manis. Kemudian, ia memesan taksi untuk pulang. Setelah Akiko masuk ke taksi dan melesat pergi, sebuah mobil hitam datang. Mengamati kepergian Akiko dalam diam. 

"Mr. Eloise pikir, aku bodoh. Aku tau, sebenarnya dia punya dua putri. Aku menginginkan putri pertamanya, tapi dia malah memberikan putri keduanya yang lugu itu," pria di dalam mobil mengetuk-ngetukkan jarinya di ponsel. 

"Apa menurut Tuan, kita ambil saja putri pertama Mr. Eloise dengan paksa? Mungkin, dia menyembunyikan putri pertamanya di suatu tempat karena tidak pernah terlihat selama ini," kata asisten pribadinya. 

Pria bertubuh kekar itu menatap taksi yang Akiko naiki dengan tajam, lalu tersenyum menyeringai. "Tidak, biarkan saja. Aku ingin tau tentang putri kedua Mr. Eloise. Dia terlihat … menarik."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status