Pagi itu cuaca cerah, sangat berbeda dengan hujan yang turun semalam. Matahari kekuningan merayap hati-hati di langit biru tanpa noda. Dara segera membantu menyelesaikan pekerjaan, suasana dapur terlihat lebih ramai dari biasanya, bahan makanan yang jumlahnya berkarung-karung dan berpeti-peti tampak baru diturunkan dari truk. Dara baru ingat, seharusnya ia menemui Sundari dan mengatakan pada wanita itu, kalau ia berhasil menemukan adiknya. Penginapan Sundari cukup jauh dari tempatnya saat ini, ia harus mencari cara. Saat Sidja terlihat hanya seorang diri, Dara menghampirinya."Aku harus mencari cara untuk bertemu kakakmu, Mbak. Dan mengabarkan tentang keberadaanmu di tempat ini." Dara pura-pura mengiris bawang seperti apa yang dilakukan Sidja agar tidak dicurigai."Kamu tenang saja, Dara. Aku sudah menyiapkan sebuah rencana," ucap Sidja dengan tersenyum simpul."Aku harap, rencanamu ini akan berhasil, Mbak. Sundari sangat menantikan kabar dariku, juga darimu." Dara dan Sidja berkata
Dara sudah putus asa saat acara pesta yang berlangsung hingga tengah malam itu, sudah usai hampir satu jam yang lalu. Para tamu undangan sudah pulang, dan beberapa pelayan membereskan bekas sisa-sisa keramaian. Dara menghadap wanita gemuk itu."Sudah kubilang jangang membuat kesalahan sekecil apa pun, tapi kau tuli dan bodoh," caci si pengawas."Pukul dua puluh kali di telapak tangannya!"Seorang gadis lain mengayunkan sebatang rotan dengan sepenuh tenaga pada telapak tangan Dara. Gadis itu meringis menahan sakit. Air matanya jatuh sekali saat pukulan yang kesepuluh, setelahnya tidak ada tangisan atau suara yang keluar dari mulut Dara.Ia menahan rasa sakit itu dalam diam. Luka itu lama-lama menjadi biru. Sesekali darah mengalir dari telapak tangannya yang terkena pukulan paling parah. Teman-teman Dara memandangnya dengan tatapan iba. Dara masih bisa tersenyum pada mereka, seakan lewat senyuman manis dari bibirnya, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Tidak seperti saat datang ke pest
Diah menerima bungkusan pemberian Xander dan terlihat begitu penasaran. Bahkan, Diah ingin segera membuka dan melihat isinya."Obat untuk gadis yang bermulut pedas itu. Ini dari klinik perkebunan.""Terima kasih, Tuan. Terima kasih banyak." Diah terlihat senang dan membungkuk beberapa kali.Pandangan Dara semakin kabur, kakinya tidak kuat lagi untuk berdiri terlalu lama, bajunya sudah basah dengan keringat dingin. Tiba-tiba semua yang dilihatnya menjadi gelap.Gadis itu pingsan tidak sadarkan diri. Sebelum ia benar-benar jatuh ke tanah, tangan kekar Xander dengan cepat meraih tubuh Dara dan menggendongnya ke kamar."Gadis ini selalu saja menyusahkan!" Xander membaringkan Dara ke dipan tanpa kasur. "Berikan obat-obatan dari klinik, ada obat penghilang nyeri dan juga salep. Aku akan mengurus ijinnya agar bisa beristirahat beberapa hari ke depan," ucap Xander seraya memperhatikan kondisi Dara. Beberapa orang yang satu tempat tinggal dengan gadis itu, terlihat berdiri di ambang kamar. A
Rumini memaksakan senyumnya dan menatap Ananta dengan pandangan yang rumit. Ia menghapus bulir bening di pipinya, dan mengelus perutnya yang datar. Ananta menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Hatinya begitu perih."Tidak! Kalau itu mau bapak, aku akan menuruti, aku akan mengambil keuntungan dari keinginannya. Apakah, Mas mau Maafkan aku kalau suatu hari nanti aku menjadi anak yang durhaka?" tanya Rumi dengan suara yang berat.Ananta menangis dan bersujud di kaki adiknya, sekali lagi ia merasa telah menjadi orang yang gagal. Gagal dalam melindungi orang-orang yang ia sayangi. Parahnya, musuhnya sendiri adalah ayah kandungnya. "Lakukan, Rum. Lakukan kalau itu bisa melegakan hatimu."Malam ini Ananta memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamarnya, ingin menjaga sang adik di rumah. Hasrat kepada minuman hilang begitu saja, untuk mengurangi kesedihannya karena ditinggal Dara, Ananta memilih mabuk-mabukan. Dan tidak memperhatikan adiknya yang tengah mengalami masalah.Keesok
Adu mulut anatara Dara dan teman serumahnya–Bena, menimbulkan keributan kecil. Beberapa pekerjaan sempat berhenti untuk sekedar melihat, Bena sengaja meninggikan suara dan berkata kasar guna mempermalukan Dara."Darimana aku tahu? Itu tidak penting! Sebaik-baiknya kau menyimpan bangkai, pasti tercium juga baunya!" sindir Bena."Jangan asal bicara kalau kau tidak tahu apa-apa!" balas Dara sengit, bagaimanapun ia memiliki sifat keras kepala dan harga diri, tidak terima jika asal dituduh, apalagi hubungan mereka tidaklah dekat. "Dara … Dara, kasihan sekali kau ini. Teman dekatmu yang menceritakan kepada kami. Lalu, bagaimana mungkin perkataanku mengada-ada!" Bena mendorong bahu Dara dengan jari telunjuknya."Teman dekat?" tanya Dara bingung, lalu ia menoleh pada Diah yang tampak pucat pasi. Beberapa kali gadis itu menghindari tatapan Dara."Apa yang dikatakan Bena benar. Kemarin Diah yang memberi tahu kami. Entah benar atau tidak, aku sendiri tidak peduli. Tapi, teman-teman kita yang la
Lembayang mencengkram dengan kuat kemeja yang dipakai Ananta, beberapa kali ia melayangkan pukulan ke wajah pria itu. Mereka kini sedang berada di sebuah rumah di tengah hutan—jauh dari mana pun."Katakan, atau kau akan mati!" Saat tangannya kembali terangkat dan mengepal kuat. Seseorang menepuk bahu lembayang sehingga ia menoleh ke belakang. "Paman!"Lelaki paruh baya itu berjongkok mengikuti posisi Lembayang. "Dia benar-benar akan mati kalau kamu memperlakukannya seperti ini, Nak. Lelaki sejati tidak menyiksa lawan yang sudah lemah! Kalau dia memang tidak tahu apa-apa. Maka kita harus menyuruhnya untuk mendapatkan informasi yang kita inginkan.""Bagaimana caranya, Paman? Sudah dipukuli berkali-kali saja dia tetap tutup mulut, apalagi kita suruh untuk mencari informasi?" tanya Lembayang bingung."Dengan membuka hati nuraninya, Nak!""Manusia-manusia seperti mereka sudah tidak punya hati nurani, Paman. Mereka semua sudah dibutakan!""Biarkan aku bicara padanya!" Bima memandang Lemba
"Tentu, aku akan membawamu hari ini juga! Sebelum itu makanlah, kau butuh tenaga untuk mendengar kenyataan yang sebenarnya. Walaupun nantinya kau akan percaya atau tidak."Setelah menghabiskan makanannya. Lembayang dan Bima serta dua orang lainnya mengantar Ananta ke tempat yang dituju. Perjalanan yang mereka tempuh membutuhkan waktu sekitar dua jam lamanya. Empat ekor kuda terus melaju melewati medan yang menanjak dan kadang menurun. Udara dingin dan lembab dapat Ananta rasakan walau pun matanya tertutup oleh kain hitam.Mbah Sarinah yang mendengar derap kuda, segera berjalan cepat ke halaman. Ia bisa melihat kedatangan Bima beserta rombongan. Namun, pandangannya tertuju pada orang yang seluruh kepalanya di tutupi oleh kain."Bima ... kau datang?" sapa mbah Sarinah setelah Bima mengikat tali kudanya di pohon sukun yang berbuah lebat."Aku datang, Mbah. Bersama teman-temanku, dua orang ini namanya Wasi dan Basit, mereka bekerja pada Aminah." Dua pemuda yang namanya disebut segera meny
Malam itu setelah Bima kembali ke rumah persembunyian, Ananta di tempatkan kembali di ruangan yang sama. Gundah gulana Ananta terdiam, gigi geliginya gemeretak, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian ia tertawa, seperti malam kemarin.Hatinya terasa diremas oleh sesuatu yang kasat mata, tulisan ibunya berkali-kali ia baca. Isi hati yang tidak bisa diungkapkan semasa hidup, tersimpan rapi berwujud curahan hati di sebuah buku dengan kertas yang menguning.Bima masuk membawakan beberapa batang linting romok. Ia duduk tepat di samping Ananta, menawarkan pada pemuda itu yang langsung diterimanya."Terkadang, hidup memukulmu dengan kenyataan yang berat. Dan membuat kita kehilangan keyakinan," ucap Bima."Hal yang paling sulit dari hidup ini adalah menerima kenyataan pahit. Apakah, Paman, pernah membaca buku ibuku?"Bima memandang Ananta sekilas setelah mendengar pemuda itu menyebutnya ibunya. "Tidak, menyentuh seujung jari pun aku tidak berani. Itu adalah raha