Rumini memaksakan senyumnya dan menatap Ananta dengan pandangan yang rumit. Ia menghapus bulir bening di pipinya, dan mengelus perutnya yang datar. Ananta menyaksikan semua itu dengan perasaan campur aduk. Hatinya begitu perih."Tidak! Kalau itu mau bapak, aku akan menuruti, aku akan mengambil keuntungan dari keinginannya. Apakah, Mas mau Maafkan aku kalau suatu hari nanti aku menjadi anak yang durhaka?" tanya Rumi dengan suara yang berat.Ananta menangis dan bersujud di kaki adiknya, sekali lagi ia merasa telah menjadi orang yang gagal. Gagal dalam melindungi orang-orang yang ia sayangi. Parahnya, musuhnya sendiri adalah ayah kandungnya. "Lakukan, Rum. Lakukan kalau itu bisa melegakan hatimu."Malam ini Ananta memutuskan untuk berdiam diri di dalam kamarnya, ingin menjaga sang adik di rumah. Hasrat kepada minuman hilang begitu saja, untuk mengurangi kesedihannya karena ditinggal Dara, Ananta memilih mabuk-mabukan. Dan tidak memperhatikan adiknya yang tengah mengalami masalah.Keesok
Adu mulut anatara Dara dan teman serumahnya–Bena, menimbulkan keributan kecil. Beberapa pekerjaan sempat berhenti untuk sekedar melihat, Bena sengaja meninggikan suara dan berkata kasar guna mempermalukan Dara."Darimana aku tahu? Itu tidak penting! Sebaik-baiknya kau menyimpan bangkai, pasti tercium juga baunya!" sindir Bena."Jangan asal bicara kalau kau tidak tahu apa-apa!" balas Dara sengit, bagaimanapun ia memiliki sifat keras kepala dan harga diri, tidak terima jika asal dituduh, apalagi hubungan mereka tidaklah dekat. "Dara … Dara, kasihan sekali kau ini. Teman dekatmu yang menceritakan kepada kami. Lalu, bagaimana mungkin perkataanku mengada-ada!" Bena mendorong bahu Dara dengan jari telunjuknya."Teman dekat?" tanya Dara bingung, lalu ia menoleh pada Diah yang tampak pucat pasi. Beberapa kali gadis itu menghindari tatapan Dara."Apa yang dikatakan Bena benar. Kemarin Diah yang memberi tahu kami. Entah benar atau tidak, aku sendiri tidak peduli. Tapi, teman-teman kita yang la
Lembayang mencengkram dengan kuat kemeja yang dipakai Ananta, beberapa kali ia melayangkan pukulan ke wajah pria itu. Mereka kini sedang berada di sebuah rumah di tengah hutan—jauh dari mana pun."Katakan, atau kau akan mati!" Saat tangannya kembali terangkat dan mengepal kuat. Seseorang menepuk bahu lembayang sehingga ia menoleh ke belakang. "Paman!"Lelaki paruh baya itu berjongkok mengikuti posisi Lembayang. "Dia benar-benar akan mati kalau kamu memperlakukannya seperti ini, Nak. Lelaki sejati tidak menyiksa lawan yang sudah lemah! Kalau dia memang tidak tahu apa-apa. Maka kita harus menyuruhnya untuk mendapatkan informasi yang kita inginkan.""Bagaimana caranya, Paman? Sudah dipukuli berkali-kali saja dia tetap tutup mulut, apalagi kita suruh untuk mencari informasi?" tanya Lembayang bingung."Dengan membuka hati nuraninya, Nak!""Manusia-manusia seperti mereka sudah tidak punya hati nurani, Paman. Mereka semua sudah dibutakan!""Biarkan aku bicara padanya!" Bima memandang Lemba
"Tentu, aku akan membawamu hari ini juga! Sebelum itu makanlah, kau butuh tenaga untuk mendengar kenyataan yang sebenarnya. Walaupun nantinya kau akan percaya atau tidak."Setelah menghabiskan makanannya. Lembayang dan Bima serta dua orang lainnya mengantar Ananta ke tempat yang dituju. Perjalanan yang mereka tempuh membutuhkan waktu sekitar dua jam lamanya. Empat ekor kuda terus melaju melewati medan yang menanjak dan kadang menurun. Udara dingin dan lembab dapat Ananta rasakan walau pun matanya tertutup oleh kain hitam.Mbah Sarinah yang mendengar derap kuda, segera berjalan cepat ke halaman. Ia bisa melihat kedatangan Bima beserta rombongan. Namun, pandangannya tertuju pada orang yang seluruh kepalanya di tutupi oleh kain."Bima ... kau datang?" sapa mbah Sarinah setelah Bima mengikat tali kudanya di pohon sukun yang berbuah lebat."Aku datang, Mbah. Bersama teman-temanku, dua orang ini namanya Wasi dan Basit, mereka bekerja pada Aminah." Dua pemuda yang namanya disebut segera meny
Malam itu setelah Bima kembali ke rumah persembunyian, Ananta di tempatkan kembali di ruangan yang sama. Gundah gulana Ananta terdiam, gigi geliginya gemeretak, dua sungai air mata yang hangat mengalir di pipinya. Sedetik kemudian ia tertawa, seperti malam kemarin.Hatinya terasa diremas oleh sesuatu yang kasat mata, tulisan ibunya berkali-kali ia baca. Isi hati yang tidak bisa diungkapkan semasa hidup, tersimpan rapi berwujud curahan hati di sebuah buku dengan kertas yang menguning.Bima masuk membawakan beberapa batang linting romok. Ia duduk tepat di samping Ananta, menawarkan pada pemuda itu yang langsung diterimanya."Terkadang, hidup memukulmu dengan kenyataan yang berat. Dan membuat kita kehilangan keyakinan," ucap Bima."Hal yang paling sulit dari hidup ini adalah menerima kenyataan pahit. Apakah, Paman, pernah membaca buku ibuku?"Bima memandang Ananta sekilas setelah mendengar pemuda itu menyebutnya ibunya. "Tidak, menyentuh seujung jari pun aku tidak berani. Itu adalah raha
Wasi mengetuk jendela kamar Ananta, pria itu sudah memastikan keamanan dirinya lebih dahulu sebelum menyelinap ke tempat ini. Ia memakai baju pangsi hitam, senada dengan kain penutup wajahnya agar tidak dikenali banyak orang."Siapa di sana?" Suara Ananta terdengar dari dalam, cahaya bulan yang masuk melalui selah ventilasi di atas jendela. Bayangan Ananta membuat siluet hitam."Wasi, bukalah jendelanya, aku ada pesan untukmu," pinta Wasi yang segera dituruti Ananta."Kau gila? Bagaimana kalau penjaga rumah ini melihatmu!" sentak Ananta, ia terkejut atas tindakan nekat yang Wasi lakukan dengan mendatanginya. Ia kira Bima dan yang lain sudah pulang ke rumah persembunyian setelah mengantar ia pulang."Aku hanya ingin menyampaikan pesan. Paman Bima berharap kau bisa mendapatkan informasi keberadaan Bumi. Apa ia masih hidup atau sudah mati."Mata Ananta tidak fokus, sibuk memperhatikan keadaan. "Aku akan berusaha, tapi di mana aku bisa menemui kalian kalau aku sudah mendapat informasi?"
Wasi meletakkan bakul dagangan tepat di samping saung. "Aku bahkan butuh seratus kali berpikir sebelum memutuskan penyamaran ini, Kang. Bisa saja anak ini malah melawan dan menangkap kita.""Sudah kukatakan kalau dia tidak akan berbuat seperti itu."Wasi hanya memandang Ananta dengan sengit sebelum ketiganya duduk di tengah saung. Bagaimanapun ia belum mempercayai lelaki yang saat ini tengah bersama mereka. Hati manusia tidak ada yang tahu. Apalagi orang yang sudah berkhianat kepada orang dari bangsanya sendiri."Kau sudah menemukannya?" Bima memulai pembicaraan mereka dan membakar sebatang rokok."Bumi saat ini berada di Stadhuis Batavia, tepatnya penjara bawah tanah Raad Van Justitie.""Kau yakin? Bukannya dia di bawa ke rumah tahanan Bantjeujweg?" tanya Bima memastikan."Tidak, mereka telah dipindahkan sebulan yang lalu ke Batavia, Paman.""Aku tidak mempercayainya, Kang! Bisa saja ini sebuah jebakan untuk menangkap kita semua!" sela Wasi.Ananta tidak kalah memandang Wasi dengan s
Letnan itu memberi kabar ke petugas yang berada di Raad Van Justitie melalui radio yang ada di truk mereka. "Kami memutar lewat hutan, jembatan penghubung kota rusak karena air sungai yang meluap."Rencana pertama Bumi berjalan dengan lancar, dua truk iring-iringan yang membawa Bumi memilih jalur melewati hutan. Gelapnya malam dan rapatnya pohon-pohon besar menghalangi sinar rembulan. Satu-satunya cahaya yang dapat menerangi jalan, berasal dari lampu sorot mobil truk yang mereka kendarai. Tanpa prajurit KNIL itu sadari, di balik rerimbunan pohon, beberapa pasang mata memfokuskan penglihatannya untuk membidik titik vital mereka. Orang-orang itu sudah terlatih menembak di minimnya pencahayaan.Salah satu pemuda mengangkat tangan sebagai tanda bahwa ia yakin bidikannya akan tepat sasaran, disusul dengan yang lainnya. Bima yang melihat anggotanya siap untuk menembak, memulai aksinya.Beberapa detik kemudian, suara letusan senjata api lantang terdengar. Bima melepaskan satu tembakan tepa