Bram yang sedang bercumbu, harus berhenti oleh ketukan pintu. Ia melepaskan bibirnya dari bibir Amel, melangkah untuk membuka pintu. Sedangkan Amel bergegas ke kamar mandi."Pah, aku ingin bicara." Kata-kata itu menyambut Bram, saat pintu terbuka."Okay." Bram melangkah menuju ruang tamu yang terletak di lantai dua, dan diikuti oleh Bryan."Pah, aku tidak setuju wanita itu tinggal di rumah ini," ucap Bryan.Bram menghela napas, "Tapi itu sudah keputusan Papa," ucapnya."Pah, tolong jaga perasaan Mama," keluh Bryan."Yan, Papah sudah berusaha menjaga perasaan Mama. Tapi apa! Pernahkah Mama menjaga perasaan Papah? Tidak," ucap Bram dengan lembut."Iya, aku tahu Mama selalu sibuk dengan bisnisnya dan mengabaikan kita. Tapi bukan berarti Mama tidak menyayangi Papah." "Yan, Papah tidak marah dan Papah tidak kesal walupun Mama sibuk dengan bisnisnya. Tapi Papah kecewa saat Mama bermain gila di belakang Papah." Akhirnya kata-kata itu ke luar dari mulut Bram."Maksud Papah?" Bryan sangat ter
Tanpa terasa waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, keluarga Wijaya sedang berkumpul di meja makan. Bryan terlihat biasa saja, begitu juga dengan Amel, namun tidak dengan Tania. Wanita berambut pendek itu mulai melancarkan aksinya."Aduh..." Wajah Tania menunjukkan rasa sakit, sambil menekan perutnya dengan lembut."Mama kenapa?" Bryan bertanya, begitu juga dengan Bram."Kamu kenapa Tania?" tanya Bram."Aduh... perutku terasa sakit Bram," keluh Tania.Bram bangkit dari kursi, begitu juga dengan Bryan dan Amel. "Pa, bawa Mama ke kamar," desak Bryan.Bram menuntun Tania bangkit dari kursi, namun wanita yang tengah hamil satu bulan itu mengeluh tidak sanggup untuk berjalan. Bram mengangkat tubuh Tania dengan gaya bridal style, membawanya ke kamar dan membaringkannya di atas tempat tidur.Sementara Amel segera mencari Lukas, meminta pria paruh baya itu untuk menghubungi dokter keluarga Wijaya.Tidak lama menunggu, sang Dokter tiba di kediaman Wijaya. Ia segera memeriksa kondisi kandungan
Pikirannya yang kacau bagaikan benang kusut, membuat Amel tidak bisa tidur. Rasa bersalah menyelimuti hati dan perasaannya, setelah mendengar curahan hati Bryan."Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?" keluh Amel.Bibirnya bergerak, namun matanya menatap kosong ke arah taman bunga melalui kaca jendela."Sayang, kamu sudah bangun?" sapa Bram, yang baru muncul dari balik pintu.Ia melangkah menghampiri Amel, kedua tangan kekarnya melingkar di pinggang wanita cantik itu."Ow.." teriak Amel, "Sayang, kamu membuatku terkejut," lanjutnya.Bram tersenyum manis, dikecupnya kening Amel sekilas sambil berbisik, "Selamat pagi sayang."Keduanya menikmati sejuknya angin yang berhembus dari hutan lindung, dengan posisi Bram memeluk Amel dari belakang."Sayang, maafkan Papah ya?" ucap Bram dengan lembut."Maaf untuk apa, Pah?" Tentu Amel bertanya, sebab Bram tidak melakukan kesalahan."Karena tidak menemanimu tidur satu malam ini," jawab Bram.Amel memutar kepala, ditatapnya wajah tampan Bram yang j
"Bryan, tolong dengarkan aku.""Cukup Amel, kamu sudah cukup menghancurkan keluarga ini. Apa kamu belum puas?" sentak Bryan dengan nada tinggi, yang membuat Amel terdiam."Aku bingung melihat wanita seperti kamu. Tanpa rasa bersalah kamu memberiku harapan waktu itu, padahal kamu adalah simpanan Papah. Sekarang kamu merebut Papah seutuhnya dari Mama, padahal dia adalah kakakmu sendiri," lanjut Bryan.Amel mematung, butiran bening bercucuran membasahi kedua pipi mulusnya. Sungguh hal ini tidak pernah terlintas dalam benaknya. Permintaan Maria untuk menyelamatkan Bram dari rencana busuk Tania! Justru membuatnya terjebak dalam masalah dan cinta. Bahkan saat ini benih cinta Bram sudah tumbuh dan berkembang dalam rahimnya."Aku minta maaf," ucap Amel dengan lembut."Jika kamu ingin mendapat maaf dariku! Jauhi keluarga ini," tegas Bryan."Iya, tapi beri aku waktu," jawab Amel, "Satu lagi, jangan katakan kepada siapapun tentang kehamilanku, dan tetaplah tinggal di sini," lanjutnya."Oky, baik
Tanpa terasa 2 Minggu telah berlalu, Amel semakin sering melamun dan menyendiri. Hal itu membuat Bram bertanya-tanya dan curiga."Sayang, kamu di sini?" Bram melangkah menghampiri Amel yang duduk di balkon."Eh, Papah sudah pulang?" Amel mencium punggung tangan Bram."Mah, sebaiknya kita periksa ke rumah sakit. Soalnya wajah Mamah terlihat pucat, aku takut Mamah kenapa-kenapa!" ucap Bram dengan rasa khawatir."Papah, jangan berlebihan deh! Orang sehat kok dibawa ke rumah sakit?" bantah Amel.Tentu Amel menolak, jika Bram sampai membawanya ke rumah sakit! Pria tampan itu akan mengetahui tentang kehamilannya."Tapi wajah Mamah memang pucat. Tania aja yang lagi hamil gak pucat seperti Mamah, padahal Tania sering mual-mual setiap hari," bantah Bram dengan membandingkan wajah Tania dan Amel."Udah deh Pah, enggak usah bahas yang aneh-aneh. Lebih baik Papah mandi, biar aku buatkan kopi." Amel berusaha mengakhiri perbincangan mereka.Bram masuk ke kamar mandi, sedangkan Amel membuatkan satu
"Berusaha lah agar Om Bram tidak menceraikan kamu," sahut Amel."Hanya kamu yang bisa melakukan itu Amel, jika kamu ingin melihat keponakanmu mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya! Pergilah dari kehidupan Bram, izinkan bayi ini merasakan kehangatan dari ayahnya. Aku mohon kepadamu Amel." Tania mengatakan itu sambil berurai air mata."Baiklah, tapi berjanji lah! Kamu tidak akan mengecewakan Om Bram untuk kedua kalinya," ucap amel.Tania meraih tangan Amel, menggenggamnya dengan erat, "Aku berjanji," ucapnya dengan wajah meyakinkan."Aku percaya padamu," balas Amel.Tania memeluk Amel dengan erat, bibirnya tidak berhenti mengucapkan terima kasih kepada Amel."Kamu sudah membantuku, aku juga harus membantumu," ucap Tania setelah melepaskan pelukannya dari Amel."Terima kasih, kamu tidak perlu membantuku karena aku tidak butuh uang atau apapun itu. Kamu cukup menyayangi Om Bram dan tidak mengecewakannya, itu sudah cukup bagiku.""Itu sudah pasti kulakukan," jawab Tania, "Tapi aku
"Iya Bram, aku berpikir seperti itu. Bukankah Amel meninggalkan kediaman Wijaya setelah menjenguk Tania ke rumah sakit?" ucapnya seraya bertanya.Bram terdiam sambil berpikir, ia kembali membuka mulut setelah diam beberapa menit, "Iya, kenapa aku tidak berpikir ke sana ya?" ucapnya.Keduanya membuat kesepakatan untuk mencari Amel dan mencari tahu yang sebenarnya. Bahkan Bram sampai membuat berita tentang orang hilang. Di sana terpampang wajah cantik Amel dengan tulisan [Bagi siapa yang menemukannya, akan mendapat imbalan seratus juta rupiah, cash]Sedangkan di tempat lain, Amel sedang menagis melihat kondisi Ibu kandungnya. Wanita yang sudah melahirkannya 20 tahun yang lalu, mengalami stroke sehingga tidak bisa bergerak dan bicara.Wanita paruh baya itu hanya meneteskan air mata saat mengetahui Amel adalah putri kandungnya. Ini bukanlah pertama kalinya mereka bertemu, tetapi sudah kedua kalinya. Namun pertemuan pertama saat di rumah sakit waktu itu! Mereka tidak saling mengenal......
Setibanya di Jakarta, Amel bergegas menuju pemakaman. Ia mengikuti arah yang dikirimkan Bryan kepadanya. Amel berdiri di tengah keramaian agar Bram tidak melihatnya, ia mengenakan masker, kaca mata hitam, kerudung hitam dan cadar.Walaupun Amel tidak melihat wajah Maria, tetapi hatinya sedikit lega karena masih melihat kain putih yang membalut tubuh wanita malang itu."Selamat jalan Ibu, terima kasih telah merawat dan membesarkan aku dengan penuh kasih sayang. Walaupun aku tidak terlahir dari rahimmu, tetapi kamu memperlakukan aku sebagai anak kandung," ucap dalam hati Amel sambil berurai air mata.Seiring berjalannya waktu, pelayat satu persatu meninggalkan pemakaman. Mau tidak mau Amel juga harus segera pergi, sebelum ada yang mengenalinya.Dari balik kaca mata hitam, Amel tidak berhenti menatap wajah tampan Bram. Ingin rasanya memeluk pria tampan itu, melepaskan rindu yang sudah terpendam selama 3 bulan ini."Awas, ada batu Mbak." Seseorang mengingatkan Amel, yang membuat Bram terp