Share

2. Lampu Hijau

        Brian memijat pelipisnya, semua yang di jelaskan Junior membuatnya keleyengan. Musuhnya harus menikah dengan kembarannya? Takdir macam apa ini, menggelikan!


"Pacar lo ga salah di sini_" Junior menghela nafas kasar."warga di sana aja yang ga ada kerjaan, nyudutin gue di saat paca_"


"Dia kembaran gue, pacar gue dia!" tunjuk Brian pada Biya dengan ogah - ogahan. Brian sungguh malas bersinggungan dengan Junior.


Junior mengerjap, kembaran?


"Jadi gimana, Bri? Hiks__" Amora mendekat, memeluk Brian lagi. Mencoba mencari perlindungan."takut, di seret tadi hiks.."


Junior menunduk, menghela nafas berat. Junior merasakan berat di kepalanya karena terlalu banyak pikiran.


"Gue telpon bunda atau ayah, lo istirahat, pake kamar tamu__" Brian melirik Junior penuh pertimbangan."dan lo, ambil kaos di lemari yang ada di kamar tamu, istirahat di sofa jangan di kamar sama adik gue!" tegasnya lalu berdiri.


Junior masih diam, tidak terganggu dengan aura permusuhan yang di lemparkan Brian. Junior masih tidak percaya kalau Amora kembaran Brian.


***


"Maaf ya, kalau aja gue ga mutusin buat masuk_"


Junior menempelkan telunjuknya pada bibir Amora. Tubuhnya yang membungkuk pada Amora yang duduk di ujung kasur itu kini menegak.


"Kita ga salah, mereka yang salah_" Junior membawa langkahnya pada lemari kecil itu, meraih kaos lalu memakainya.


Junior berlalu acuh keluar kamar, tanpa pamit ataupun melirik Amora yang terisak pelan di ujung kasur itu.


Sebenarnya Junior bukan laki - laki lembut yang akan menenangkan gadis yang tengah menangis. Di tambah fakta dia adik Brian membuat Junior hilang selera.


Junior mendudukan tubuhnya di sofa, mengedar liar mengamati tempat tinggal musuhnya itu. Junior tersenyum miring, merasa tidak percaya masuk ke dalam kawasan musuh.


"Lo di kamar aja_" Amora melangkah mendekati Junior."biar gue yang di sofa.." lanjutnya.


Junior melirik Amora sekilas."Gue laki, lo yang di kamar!" balasnya seraya merebahkan tubuh di sana.


Amora mendekat, melebarkan selimut yang di peluknya pada Junior. Mata sembabnya yang mengerikan itu di tatap Junior yang tidak bergerak atau menolak.


"Sekali lagi, maaf_" Amora membawa langkahnya ke kamar dengan lunglai.


Junior masih diam, dengan acuh dia memejamkan mata. Mencoba menenangkan diri.


***


Zela terisak pelan dalam rangkulan Jayden, penjelasan kepala penjaga komplek itu sungguh membuat Zela merasa terluka, bersalah dan sedih.


"Anak saya tidak akan melakukan itu! Dia bahkan jarang keluar rumah! Dia keluar pun hanya jajan, memberikan makanan ke para tetangga, itu pun karena suruhan istri saya!" Jayden menahan emosinya yang siap meledak itu.


Jayden maupun Zela jelas percaya pada anaknya!


"Pak, anak saya hanya mengantar kue, saya yang menyuruhnya.." Zela semakin berderai air mata.


Jayden semakin emosi saat melihat Zela kacau begitu."Saya akan menikahkan mereka, tapi tolong! Hilangkan pikiran tentang anak saya yang buruk! Sumpah demi apapun, dia anak baik!" suara Jayden bergetar, antara emosi dan merasa sedih.


"Sebaik apapun, tidak menjamin_"


"Saya jamin! Anak saya sangat baik, saya tahu, sangat tahu!" bentak Jayden dengan sangat emosi, dia tidak akan pernah tinggal diam kalau menyangkut keluarga.


Jayden mengepalkan tangannya, setelah menikahkan Amora. Dia akan meninggalkan rumah di sini. Jayden akan membawa semua pindah menjauhi lingkungan tidak baik ini.


Menyudutkan seseorang hanya karena satu bukti yang tidak pasti! Anaknya sedang di fitnah di sini.


Jayden bersumpah, akan memutuskan kerja sama dengan pemilik komplek ini. Jayden terlalu kecewa melihat mereka yang memandang Amora remeh.


***


3 minggu kemudian...


Junior melepaskan dasi di lehernya, pernikahan mewah namun privat itu membuatnya sungguh lelah.


Ibunya yang masih di rawat di rumah sakit pun terlihat datang dengan bahagianya. Bersama suami barunya. Junior masih saja tidak suka.


Junior menghela nafas berat, kini dia merasa kebebasannya akan terganggu. Junior bahkan tidak di izinkan untuk pisah rumah oleh kedua orang tua Amora.


"Lo dulu? Atau gue?" Junior membuka kancing kemejanya perlahan, tanpa melepaskan tatapannya dari Amora.


"Lo dulu, gue masih harus lepas hiasan kepala" suara Amora terdengar lemah, beban di pundaknya terlalu berat. Amora kehabisan tenaga.


Junior pun membawa langkahnya menuju kamar mandi, memutuskan untuk mengguyur diri di bawah air yang siapa tahu akan mengantarkan ketenangan.


Amora masih diam, melamunkan semuanya. Pernikahan yang di laksanakan 6 jam lalu itu sungguh tidak terasa. Apa karena dia terlalu larut dalam kesedihan?


Masih jelas di ingatan, Zela yang menangis di pelukan Jayden. Brian yang tampak diam tak seperti biasanya. Amora merasa mengecewakan mereka.


Amora merasa bersalah dengan kesalahan yang bukan salahnya. Semua salah paham. Fitnah. Amora bahkan merasa trauma saat merasakan tangannya di tarik.


Rasanya Amora masuk ke dalam masa di mana dia sedang di arak warga. Amora sungguh ketakutan.


"Sana mandi.."


Amora tersentak pelan, matanya menatap Junior sekilas lalu beranjak lunglai menuju kamar mandi.


"Bukannya mau lepas hiasan kepala? Kenapa masih ada?"


Amora berbalik, keduanya bertatapan sesaat sebelum Amora memutuskan berpaling."Di kamar mandi aja.." jawabnya pelan dan lirih.


"Nyesel? Lo nyesel jadi istri gue?"


Amora kembali menoleh."Lo? Apa lo nyesel jadi suami gue?" tanya balik Amora lalu berlalu tanpa menunggu jawabannya.


Junior hanya diam, memutuskan untuk merebahkan tubuhnya yang pegal tanpa berpikir apapun lagi.


***


Junior mengamati CD lagu dangdut yang berjajar di lemari dekat buku milik gadis itu. Alisnya terangkat satu. Gadis cantik yang selalu heboh di kantin itu memang sangat suka dangdut ternyata. Pantas di panggil biduan.


Junior tersenyum tipis dengan geli, selera yang unik untuk ukuran gadis dari orang kaya dan secantik model itu. Unik.


"Kita engga usah bareng, lo duluan aja ke sekolahnya.." Amora memakai ikat rambutnya dengan tidak bertenaga.


Junior hanya meliriknya sekilas lalu keluar dari kamar tanpa banyak kata.


Amora merasa dirinya berubah semenjak menikah. Bibirnya yang gatal dan selalu ingin bertingkah cerewet itu mendadak berbicara secukupnya.


Amora membawa tasnya lalu keluar dari kamar. Bisa Amora lihat, Junior sudah bisa beradaptasi dengan Jayden atau Zela. Padahal baru kemarin dia pindah.


"Bagus, ayah percaya sama kamu__" Jayden tersenyum tipis."insting laki - laki kadang manjur, di saat warga menyudutkan kamu waktu di gerebeg tahun lalu, ayah yakin kalau kumpulan di rumah kamu saat itu hanya anak - anak remaja biasa, tanpa ada obat - obatan atau wanita malam, makanya ayah tidak ikut.." lanjut Jayden.


Junior menghangat, sudah 10 tahun lamanya dia tidak pernah merasakan kehangatan seperti ini. Junior jadi rindu mendiang ayahnya.


"Pokoknya, jagain Amor ya, ayah udah kasih kamu kepercayaan penuh.."


Amora merengut bete."Jadi ayah udah cape jaga, Amor?" lirihnya dengan mengambil roti kasar.


"Udah ada suami, Junior suami kamu. Kamu harus lebih bergantung sama Junior__" Jayden melempar senyum tipis."ayah lebih tenang sekarang.." lanjutnya dengan penuh makna.


Jayden merasa sedih sekaligus bersyukur. Dia merasa sedih karena cara mereka menikah seperti itu, tapi di sisi lain dia bersyukur karena Amora jauh dari pergaulan seks bebas atau seks sebelum menikah.


"Kalian kalau mau 'main' pakai kondom, masih ada beberapa bulan sebelum lulus. Jangan hamil sebelum itu.." Jayden beranjak, mengecup kening Zela."berangkat ya, sayang.." pamitnya.


Jayden meraih kepala Amora, mengecup keningnya lalu memeluk Junior sekilas.


"Ayah kerja dulu.."


Junior merasakan gerah setelah Jayden berkata main. Rasanya Junior mendapat lampu hijau untuk lebih dari sekedar tidur.


"Kalian berangkat bareng, biar sopir yang antar.."


Junior ingin menolak namun Zela lebih dulu berlalu menyimpan piring kosong bekasnya sendiri dan bekas Jayden.


Junior menatap nasi gorengnya lalu melirik Amora yang tengah mengunyah roti. Pipinya samar terlihat merah.


Junior tersenyum tipis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status