(PoV Andra)“Ndra, kamu ngapain berdiri di sana? Kok Naira sama Fadil pergi lagi, kamu biarin, sih?” cerocos Mama sembari masuk ke dalam rumah.Rahangku mengeras. Mama benar-benar tak tahu, atau pura-pura pikun?“Menurut Mama kenapa, Ma? Coba Mama lihat kondisi rumah seperti apa? Bukannya tadi pagi Mama sudah janji sama Andra mau beres-beres?” cecarku.Mama menghempaskan kantong plastik bawaannya ke lantai dengan kasar.“Jadi kamu nyalahin Mama, Ndra? Iya Mama tau tadi pagi Mama janji sama kamu. Tapi, Mama pikir Naira kan mau pulang. Jadi biar dia dong, yang beresin rumah! Apa gunanya dia pulang kalau gak ngapa-ngapain!” balas Mama garang.“Ya Tuhaan, Mamaaaa!” Aku tak bisa berkata-kata lagi saking gemasnya.Dengan langkah cepat aku mendekati plastik belanjaan Mama yang tergeletak di lantai.“Ndra, mau ngapain kamu!” teriak Mama mendekat.Tanganku membongkar plastik-plastik itu. Baju, tas, sandal, bedak, lipstik, entah apa lagi yang Mama beli. Baru tadi pagi aku memberinya uang yang t
[Sukurlah kalau gitu, Nai. Oh ya, kamu kenapa belum tidur?] Aku mencoba basa-basi untuk mencairkan perasaannya.[Gimana mau tidur kalau kamu WA terus]Hatiku seketika membeku seperti kejatuhan balok es. Pupus sudah impianku untuk bermanis manja dengan Naira. Ia sudah berubah menjadi seperti orang asing.[Ya maaf, Nai. Mas kangen soalnya. Mas janji bakal cari pembantu secepatnya biar kita bisa kumpul lagi] janjiku.[Kamu gak cari pembantu pun gak apa-apa, Mas. Aku sama Fadil betah di rumah Abah]Kedutan terasa di mataku yang nanar membaca balasan dari Naira.[Jangan gitu, Nai. Kasih Mas kesempatan kedua untuk memperbaiki keadaan. Mas janji, kali ini pernikahan kita akan semakin harmonis][Terserah, Mas. Udah, gak usah WA lagi. Aku mau tidur]Kuurungkan niat untuk membalas pesannya lagi. Kalau nekat, bisa-bisa Naira malah marah dan memblokir nomorku. Nelangsa dan lelah pikiran, akhirnya aku paksakan memejamkan mata sampai tertidur.*Saat bangun dan menuju dapur, aku dapati suara Mama s
(PoV Andra)Perempuan itu tersenyum ke arahku. Seketika aku semakin terpesona. Wajahnya yang bening dan berlesung pipi terasa seperti menyihir. Bibirnya merekah walaupun tanpa olesan lipstik yang menor. Kami saling bertatapan untuk beberapa saat.“Ndra, ini Della, yang Mama ceritakan tadi pagi! Hari ini dia mulai kerja di rumah!” ucap Mama.Aku dan Della sama-sama terkejut. Kalau tidak mendengar ucapan Mama, entah sampai kapan kami akan terus saling berpandangan.“E-eh, i-iya, Ma! Salam kenal Mbak Della. Saya Andra!” ujarku sembari menganggukkan kepala ke arah perempuan yang aku taksir berumur belum sampai 30 tahun itu.“Salam kenal juga Pak Andra, makasih udah dikasih kerjaan di sini,” balasnya sopan.Aku tersipu dibuatnya, sementara pipi Della yang putih tampak sedikit memerah. Mataku terus-terusan melirik ke arahnya, seperti ada magnet yang menarik.“Makasihnya sama mama saya, soalnya dia yang ngasih tau kamu,” tegasku.Mama dan Della pun kemudian saling bertukar senyum. Tampaknya
Aku menghela napas panjang. Jadi di rumah sudah ada pembantu? Entah kenapa aku rasanya tak rela kalau harus kembali ke rumah itu. Berkumpul dengan Mas Andra dan juga Mama, sudah tak lagi menjadi prioritasku saat ini.Kira-kira seperti apa pembantu yang ada di rumah sekarang? Apakah rajin dan telaten? Apakah bisa dipercaya dan jujur? Huft. Kupandangi wajah Fadil yang sudah tertidur pulas. Dadanya naik turun dengan teratur. Untungnya dia tak lagi merasakan nyeri dada. Beberapa hari ke depan ia harus kontrol ulang serta melepas jahitan di kepala.Aku beranjak turun dari ranjang. Meskipun merasa lelah, mata tak ingin diajak kerjasama untuk terpejam. Terdengar suara Abah dan Umi masih mengobrol di ruang keluarga. Aku mendekat, lantas membaringkan kepala di pangkuan Umi.“Umi sama Abah ngomongin apa?” tanyaku sambil melihat ke arah TV.“Abah besok mau lihat-lihat sapi di tempat Juragan Toyib, Nai,” ujar Abah mantap.“Gak usah beli yang terlalu mahal, Bah. Soalnya Naira belum bisa bantu uang
Seekor sapi gemuk sudah tertambang di belakang rumah. Hewan itu dengan lahap memakan rumput yang tadi di sediakan Abah. Sekali-kali Fadil, ditemani Abah, menyodorkan dedaunan ke arahnya.Entah berapa uang yang sudah dihabiskan Abah untuk membeli sapi gemuk itu. Saat aku bertanya, Abah mengelak tak mau menjawab sama sekali. Aku yakin, harga hewan itu tak kurang dari 15 juta.Kadang ada rasa tak enak di hati. Di usianya yang sudah lanjut, Abah masih saja mengeluarkan uang untukku dan juga Fadil. Bukannya berbakti dan gantian memberi mereka, aku malah terus saja merepotkan.“Abah dapat harga berapa ya Mi, sama Juragan Toyib?” bisikku pada Umi.Umi mengangkat bahunya. “Umi juga gak tau, Nai. Sudah, kamu gak usah pikirin,” elak Umi.Aku mengamati mimik wajah Umi. “Hmm. Kayaknya gak mungkin sih, kalau Abah gak ngasih tau Umi,” sahutku santai.Umi terkekeh. “Memangnya kenapa kalau Umi tau? Kamu mau protes? Udah, sana. Kamu cepat catat bumbu sama bahan-bahan apa saja yang mau dibeli di pasar
Bersama Umi aku sudah berada di pasar tradisional. Sementara Umi mencari bahan-bahan makanan segar, aku mencari bahan di toko manisan. Entah kenapa rasanya kesialan selalu mengikutiku. Saat sedang mengambil beberapa kilo gula, tiba-tiba saja seseorang menepuk pundakku.“Ealah Mbak Naira beneran, to? Budhe kira tadi siapa!”Sosok Budhe Sri yang tambun berdiri di belakangku. Sejak kapan ia berada di sana? Kalau tahu dia akan datang ke sini, sudah pasti aku juga akan menghindar.“Eh, Budhe. Iya, ini aku, Budhe,” ucapku canggung, mengulurkan tangan padanya untuk bersalaman.Ia menyambut uluran tanganku. Mata Budhe Sri lalu menatap dari atas sampai bawah. Kemudian senyum sinisnya terlihat.“Cari apa kamu, Nai? Kok ada di sini? Lagi pulang ke rumahnya Sanusi?” tanyanya sambil mengambil beberapa bungkus tepung.“Iya, Budhe, aku sama Fadil lagi pulang ke rumah Abah.”“Hm, gitu toh. Kemarin Budhe denger Fadil ketabrak mobil? Gimana kabar anakmu, ndak cacat, kan?”Astaghfirullah. Aku langsung m
“Assalaku’alaikum semuanya!” seru Mama begitu sampai di depan pintu.Semua orang sontak menoleh ke arah tiga orang yang baru datang. Mama tersenyum sambil berjalan membusungkan dada. Beberapa orang menjawab salamnya, sementara yang lain berbisik-bisik.“Itu siapa? Mertuanya Mbak Naira, ya?” bisik tetanggaku yang duduk di sudut ruangan.“Iya. Wah, dateng telat gayanya kayak artis,” sahut tetangga yang satu lagi.“Lah, terus itu perempuan muda yang dateng sama mereka siapa,ya?”“Ga tau tuh, siapa. Mungkin saudaranya.”Aku berdehem sedikit kencang. Mulut-mulut yang tadi berbicara, seketika terdiam. Mama dan perempuan itu lantas menyalami para tamu wanita satu persatu, kemudian mendekat ke arahku. Tanpa ragu, Mama duduk di sampingku dan mengulurkan tangan. Sedikit kikuk aku menyambut dan mencium tangannya. Sementara perempuan yang sedari tadi mengekori Mama, melihatku dari atas sampai bawah, lalu melengos seperti tak suka.Di tempat duduk para tau laki-laki, kulihat Mas Andra duduk di sa
“Belum mau pulang? Maksud kamu apa, Nai? Bukannya kemarin kamu sendiri yang bilang kalau mau pulang selesai acara di rumah Abah? Kenapa sekarang berubah pikiran lagi?” protes Mas Andra.Merasa tak enak berdebat di depan Abah dan Umi, aku pun berinisiatif mengajak Mas Andra berbicara di kamar.“Kita ngomong berdua aja, Mas. Ayo,” ajakku kemudian.Tanpa berbicara, Mas Andra yang masih menggendong Fadil bangkit dan mengikutiku. Segera kututup pintu kamar agar tak ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.“Fadil gak kamu biarin di luar dulu, Mas?”“Gak usah. Biar dia sama aku. Aku kangen!” tolak Mas Andra, semakin mengeratkan dekapannya pada Fadil.Aku menghembuskan napas berat. “Aku belum mau pulang hari ini, Mas. Mungkin besok atau lusa,” jelasku tanpa basa-basi.“Kenapa lagi sih, Nai? Kamu terus aja mengulur waktu! Kamu sengaja mau bikin Mas marah?” Wajah Mas Andra mulai tak enak dilihat.Fadil berkali-kali melihat ke arahku dan Mas Andra bergantian. “Jaga nada bicaramu, Mas. Ada